Belajar Kepada Apa
Apapun dapat kita jadikan sebagai media belajar. Perjalanan hidup orang lain, pengalaman diri, buku, fenomena lingkungan, dan guru. Memperoleh khasanah ilmu dapat kepada siapa saja dan di mana saja. Sesungguhnya hamparan alam ini terkandung banyak ilmu tuhan, hanya saja tidak semuanya mampu menjangkuanya, itu terserah tuhan, niat kita, kemauan kita, dan tentunya petunjuk tuhan atas kita.
Sekolahan, kampus atau institusi pendidikan resmi lainnya secara umum kita ketahui hanyalah sebagai fasilitator, manager distribusi pelajaran kepada siswa, dan penerbit bukti penguasaan ilmu pengetahuan kepada siswanya. Institusi pendidikan, terutama kampus, merupakan tempat yang paling efektif untuk mengetahui kluster ilmu pengetahuan yang memungkinkan siswa untuk dapat mengkonsep atau membuat flowchart ilmu pengetahuan sehingga siswa menjadi sadar dan paham apa yang harus dilakukan dalam menjalani studinya. Keuntungan lain yang mungkin didapat dari siswa ketika mejalani studi di intitusi pendidikan, terutama kampus, karena kebanyakan kampus didukung dengan adanya guru yang kompeten di bidangnya. Siswa mendapat arahan, bimbingan, dan pendampingan yang intensif dari guru yang terafiliasi dengan kampus yang bersangkutan. Secara tidak langsung siswa peserta didik memperoleh pengalaman gurunya.
Namun sayangnya mekanisme peradaban saat ini telah men-setup wilayah pendidikan yang hadir di dalamnya. Prilaku dunia pendidikan dipaksa secara total berjalan di ranah ekonomi dan industri dengan instrumen pendukungnya berupa istilah profesionalitas dan SDM. Dua hal itulah telah berfungsi sebagai mahnet yang menarik makna intelektual, cendekiawan, dan ahli masuk kedalam kubangan proses industri. Sangat mudah "dititeni", hanya kalangan-kalangan yang berorientasi industri dan berhasil karenanya yang kebanyakan berhasil masuk ke pelayanan pendidikan resmi di peradaban ini. Mereka dengan lancar masuk pelayanan ini karena tertolong modal kapital yang dimilikinya tanpa menghiraukan orientasi masa depan keluhuran penerapan keilmuannya kelak. Alih-alih memperoleh strata terpandang di masyarakat, mereka memilih cara ini sambil bersusah payah melatih retorikanya agar tampak ahli di bidang keilmuan yang digelutinya. Sayangnya masyarkat masih mengiyakan bahwa mereka kaum intelektual, padahal tidak semuanya. Sedikit melebar dari inti paragraf ini, Ini sudah bukan kaum intelektual era 90an ke bawah yang benar-benar berjuang merasakan pait getirnya perjuangan mencari ilmu. Produk era 90 ke bawah masih belum terbalik yang tidak memaksakan dirinya agar dipahami maksudnya oleh orang bodoh. Mereka masih rela membuka pintu bagi orang bodoh untuk hadir dalam musyawarah bahasan keilmuannya. Mereka masih menyadari pentingnya kehadiran orang bodoh sebagai bahan perbaikan bug-bug yang ada dari masalah yang dihadapi bersama.
Sangat memprihatinkan. Haruskah kita lunglai dengan keaadaan ini yang menurut saya ini fakta. Tidak, mari kita tengok peristiwa 3000 - 6000 tahun yang lalu, adegan peristiwa mahluk ciptaan tuhan yang satu ini. Cerita ini tertuang dalam cerita pewayangan, kisah dari Bambang Ekalaya. Singkatnya, Bambang Ekalaya berasal dari kaum Nisada, kaum yang dianggap rendah dalam ekosistem cerita pewayangan Mahabarata. Suatu ketika Bambang Ekalaya hendak belajar suatu ilmu. Ia pun menuju negeri Hastinapura untuk menemui Resi Druno agar berkenan mengajari ilmu. Namun Harapannya sirna dengan penolakan Druna menjadi gurunya karena ilmu itu khusus untuk para Pondowo. Tidak berhenti sampai di sini, si Bambang tetap bersih keras untuk belajar kepada Resi Druno walupun si Resi Druno enggan mengajari ilmu itu. Inilah cara yang dilakukan Bambang Ekalaya, dengan membuat patung tiruan Resi Druno, Si Ekalaya belajar dengan tekun ilmu Danuweda (ilmu memanah) di hadapan patung Resi Druno hingga Bambang Ekalaya menguasai ilmu itu dengan baik bahkan membuat terkejut Resi Drono dan para Pondowo akan penguasaan ilmu Danuweda oleh Bambang Ekalaya.
Entahlah, kenapa terjadi seperti ini. Apa kita telah meremehkan, meninggalkan, bahkan formulasi pola pendidikan masa lalu, peninggalan nenek moyang kita. Apa kita terlalu angkuh karena cenderung bangga menggunakan suguhan hal-hal impor. Apakah kita sudah didoktrin bahkan didogma bahwa sistem kemarin sore ini sudah dianggap yang terbaik dari sistem-sistem yang ada sebelumnya. Kompatibelkah dengan tempelate orang-orang kita. Terlalu komplek untuk dijawab, biarkan alam bawah sadar kita yang masih murni untuk memahaminya. Saya sendiri masih menyadarinya bahwa pikiran ini dipenuhi puing-puing pemikiran yang aneh dan banyak macamnya. Biarlah tuhan yang memberi petunjuk untuk merangkai semuanya. Harapan kita hanya kepada generasi berikutnya, generasi milenial, generasi yang melihat tingkah pola generasi kita dan generasi sebelumnya, generasi yang terpaksa mewarisi banyak keburukan dan kebaikan kita. Semoga tuhan menyertai mereka, menyelamatkan mereka, mengiringi mereka, dan memberi petunjuk mereka. Dan semoga tuhan menjadi pendidik langsung dan utama mereka.