Poligami (I) : Mungkin, kalau.., padahal..

in #poligami7 years ago

Bila sudah bersinggungan dengan satu kata 8 huruf ini : poligami, biasanya seketika bahasan menjadi seru. Pro kontra, saling menantang, mengemukakan alasan, saling ejek, segala macam meriuhkan satu ruangan. Kalau di kantor kami, ruangan yang paling riuh membahas ini ya ruangan kami, kepaniteraan 😅

Apa pasal?

Tersebutlah seorang kawan yang sangat getol membahas isu poligami, terutama tentang betapa 8 huruf itu menjadi cita-cita perkawinannya. Perkawinannya baru seumur jagung, belum sampai 10 tahun. Baru setengahnya. Konon, dia & istri sudah membahas tuntas tentang hal ini sedari awal pernikahan. Bahkan istrinya yang memulai duluan.

Nyaris tiada hari kerja yang kami lewati tanpa menyinggung tema 8 huruf tersebut. Mencandai si kawan dengan "Ayo buktikan, jangan ngomong-ngomong aja." Atau "Alah, mana berani dia. Memang istrinya aja yang dihadapi? Lolos di istri, ga lolos di mertua. Memang siap diblokade aliran dana dari mertua?" Hahaha.

Sadis ya?

Sebelum si kawan, ada satu suami rekan kerja senior yang sering ditantang berpoligami oleh senior laki-laki yang lain. Setiap si suami menjemput istri, di balik ruang dengar si istri, rekan kerja laki-laki senior sering mengompori. "Apalagi ditunggu? Sudah bisa tambah satu lagi. Buka cabang terus."

Sekian waktu berselang, tiba-tiba kami tersentak dengan masuknya perkara cerai rekan kerja tersebut. Ternyata suaminya sudah menikah lagi secara sirri, dan rekan kerja kami tidak sudi dimadu.

Lalu menjadilah masa-masa perkara itu bergulir sebagai masa-masa kerja dan hidup yang sungguh suram bagi si ibu. Penuh gejolak. Berat badannya turun drastis. Dia menjadi sering meminta pendapat ke sana ke mari, kecuali kepada kami yang masih anak bawang ini. Kesuramannya sedikit banyak mempengaruhi suasana hati kami juga. Efek empati barangkali. Kami, para anak bawang ini, sampai-sampai meluahkan kesal pada senior laki-laki yang biasa mencandai suami senior perempuan tersebut.

"Ini semua salah Bapak. Setiap hari pancing-pancing bapak tu cari satu lagi, tambah satu lagi. Sekarang sampai kejadian begini, tanggung jawab Bapak gimana?"

Si senior laki-laki itu hanya tertawa miris, lalu mengelak dengan kalimat, "Hanya soal waktu. Suaminya itu memang suka perempuan. Tanya aja sama siapapun yang kenal dia. Buktinya sekali poligami bukan satu, gandeng banyak sekaligus. Kalau ga suka, gimana pun kita ganggu, ga akan terpancing dia." 😎

Balik ke rekan sebaya tadi. Saban hari, dia menebar propaganda. Untuk yang laki-laki, lebih kurang : "Ikut sunnah nabi jangan setengah-setengah. Buktikan kita bisa dan berani. Jangan kayak suaminya (menunjuk seorang kawan), ga berani, takut istri, hahaha." Untuk yang perempuan, "Hahaha, takut dia suaminya poligami. Poligami itu bukan berbagi, tapi sama-sama memiliki."

Suka-sukamulah! Ga penting juga melayani debat tentang itu. Toh sampai sekarang poligami bagimu baru sebatas angan. Entah kapan akan jadi kenyataan.

Dari sekian banyak bahasan riuh kami tentang poligami, ada satu cetusan dari seorang senior yang paling membekas di memori saya. Awalnya dia -sebagai pegawai yang baru mutasi saat itu- lebih banyak diam mendengarkan, senyum-senyum, memperhatikan ke kawan sebaya yang mengumbar impian poligami ini, memperhatikan celotehan kawan-kawan lain tentang beratnya izin istri, dan seterusnya, dan sebagainya, baru kemudian berkomentar, "Tapi kalau istrinya orang PKS, besar kemungkinan bisa poligami."

Eeeaaa... Kenapa bisa begitu?

"Karena perempuan PKS itu terdidik dia. Panjang kajiannya."

Ups! Kesimpulan yang prematur menurut saya. Banyak saya temui ummahat yang goncang jiwanya karena dipoligami sepihak oleh suami shalih mereka. Poligami sepihak maksudnya istri pertama baru mengetahui setelah pernikahan kedua terjadi. Banyak juga yang tidak rela, tidak sanggup membayangkan bahkan. Adapula yang mengambil jalan belok halus lewat ungkapan : kalau suami kita tidak siap, jangan sampai kita jerumuskan (ke poligami).

Saya pernah berhadapan dengan seorang ummahat yang terceplos bahwa suaminya terindikasi dekat dengan perempuan lain. Lalu saya komentari lepas begitu saja, "Kenapa tidak berpoligami aja, Kak?"

Deg! Si ummahat menatapku begitu tajam. Lalu dengan lemah ia menjawab, "Kakak nggak sanggup, Dek. Ga terbayang ada perempuan lain berjalan di samping suami Kakak."

Spontan, masih lepas dan tanpa rasa bersalah, saya komentari lagi, "Bukankah lebih baik bila perempuan itu berjalan secara sah dan terang-terangan di samping suami kakak? Sekarang sama aja kan, suami kakak menyimpan seseorang di hatinya, bisa jadi sering jalan berdua, tapi sesungguhnya mereka menapaki jalan dosa. Mereka tidak sah. Ilegal secara aturan negara, apalagi agama."

Si ummahat lagi-lagi menatap saya yang saat itu baru punya satu anak. Mungkin dalam hatinya terbersit lintasan pikiran : dia ini tidak paham bagaimana cinta harus dipertahankan. Dia tidak paham bagaimana cinta tidak sanggup dibagi. Dia masih sangat muda, belum banyak merasa
Barangkali memang tiada muncul cinta dalam rumah tangganya, makanya santai saja dia dan suami tinggal berpisah kota, ketemu jarang-jarang.

Lintasan pikiran ini murni dugaan saya. Si ummahat tidak pernah menyatakan. Si ummahat hanya menjawab lemah lagi waktu itu, "Nggak sanggup Kakak, Dek."

Saya sendiri, saat mengingat kejadian ini di kemudian hari, sungguh-sungguh merasa sangat lancang. Bukannya berempati, malah seakan menantang jiwanya yang sedang terguncang. Istighfar, Hefa!

Padahal, si ummahat ini perempuan PKS tulen luar dalam. Tapi ia menutup rapat-rapat celah poligami dalam keluarganya. Bagaimana bisa?

Ya bisalah. Bukankah setiap kita punya pilihan. Dan setiap kita mengetahui kadar kemampuan. Kemampuan kedua belah pihak, kita dan suami. Kemampuan kita menerima dan kemampuan suami dalam urusan nafkah serta keharusan berlaku adil. Yang terakhir sungguh sulit pelaksanaan dan pertanggung jawabannya. Kecuali semua pihak benar-benar ikhlash.

Wallaahu a'lam.

Screenshot_2018-02-02-22-52-16_1.jpg

Sort:  

Jadi juga tulisannya. :)