Catatan untuk teman PMI: tahapan radikalis #2
Sumber sebagai ilustrasi
Tentang radikalisme lagi. Ah, ini jadi buka rahasia betapa sudah tuir-nya sayah. Noted, radikalis-ekstrimist sampai terorist itu ada di sebagian umat setiap agama, dan pastinya juga ada di sebagian sodara-sodara seiman Islam kita. Dan terorist sodara seiman kita, juga berimbas ke kita, maka kita mencoba mencerahkan agar ga jadi beban semua. Begitu ya..
Kita mulai dengan situasi. Jika ada teman2 yang sudah melek sekitar pertengahan 80-an atau awal 90-an, saat itu gencar sekali spanduk-spanduk dengan kata kunci generasi rabbani, perang pemikiran (ghazwul fikr), meluruskan niat hidup (tazkiyatun nufus). Biasanya spanduk tersebut bertebaran seiring penyambutan mahasiswa baru. Kegiatannya juga keren; pendalaman materi keislaman. Eh tepatnya koreksi, bukan pendalaman. I love it, kalo sampai disitu saja mah. Terus apa hubungannya dengan radikalisme, terorisme? Ga ada!! Kan saya bilang, sampai disitu saja mah kerreenn.
Pendalaman/koreksi materi keislaman biasanya akan dimulai dari hal yang sangat mendasar. Kira-kira begini, kapan sih elo2 masuk islam? Sejak lahir lah, biasa begitu jawabnya..ah elo masuk islam kan karena ortu loe islam. Coba kalo ortu lu kristen, kristen lah loe..ortu lu hindu ya hindu lah loe. Jadi loe loe itu muslim karena kebetulan. Jadi, ayuk kita jadi muslim yang bukan kebetulan, setujuuu? Biasanya setuju aje, maka dimulailah uplekutek mendetil-detilkan syahadatain sebagai gerbangnya seorang muslim.
Jika sudah setuju belajar ulang, maka mulailah membongkar syahadat kita, memantapkan ulang bahwa bahwa satu-satunya yang layak jadi sumber segala sumber nafas aktivitas kehidupan kita adalah Allah, dengan rasulnya Muhammad saw. Maka perintah Allah adalah yang tertinggi dari segala tuntutan atas diri kita—siapa berani membantah kalimat itu coba! Selanjutnya, jangan ikuti kajian yang lain sebelum kita tuntaskan kajian-kajian kita yak, begitu kira-kira pintu pertama dibuka (nanti ada pintu kedua, ketiga dst).
Selanjutnya semua aktivitasmu diawasi, dipepet dan dikontrol. Tapi itu mah biasa, namanya juga menjaga jamaah maka seorang pemimpin (amir) harus peduli dengan jamaahnya. Kalau sudah begitu biasanya ada yang lucu; mengatakan orang lain taklid dan ashobiyah, tapi dia lebih taklid kepada gurunya. Kalo pelajar PhD hanya taklid pada satu literatur, matilah awak. Apakah kita sudah teroris pada tahapan ini? blass enggaklah, justru wawasan kita tambah.
Saat jadi jamaah, saya mah ga peduli, masuk kemane dan siape aje. Jadi saya adalah kader yang ga pernah tuntas dari satu perguruan; ada inkai, ada merpati putih, ada panji wulung, ada godot karuhun. Saya suka betako-nya. Cuma saya ga suka pas merapal tenaga dalam, kelamaan! Kalo berantem beneran, pas ngolah nafas untuk narik tenaga dalam, kepala dikepruk pake batu yo tetap klenger.
Setiap aktivitas kita, usahakan pake prinsip; kritis, rasional dan kreatif untuk memilah opini-opini yang bertentangan. Kata simbah, mengenal Allah (ma’rifatullah) pada level tertinggi itu adalah berbuat baik karena Allah tanpa peduli apa pahalanya. Sholat, puasa dll juga karena kita butuh bukan karena takut...
Sampai ketemu di pintu dua.
Check out https://steemit.com/@a-a-a