PUISI GAGAL SUKMAWATI, Menafsirkan Sesuai Ilmu Sastra

in #puisi7 years ago (edited)

Suatu usaha yang diperlukan guna mencapai tafsir puisi memang diperlukan ketahanan pemikiran secara bahasa sastra. Untuk memasuki labirin diksi, jangan bawa muatan pribadi penulis apresiasi/kritiknya.

Saran saya buat para pengkaji-seni-sastra puisi, alamatkan kemampuan menemukan pemahaman intrinsikalitas dan ekstrinsikalitas yang memadai pada setiap teks sastra yang dikaji. Termasuk juga terhadap upaya menafsirkan puisi "Ibu Indonesia" milik Sukmawati yang mencelat ke hadapan publik Indonesia awal April 2018.

Sebagai ahli sastra, kewajiban sarjana sastra termasuk mampu mengungkapkan fenomenologi bahasa, nada, suasana maupun interteks puisi. Melalui pengkajian yang lengkap, juga diperoleh penafsiran yang lengkap pula sebagai wacana apresiasi ataupun wacana kritik.

Lahirnya sebuah puisi juga memiliki alasan budaya, adat juga agama yang mendukungnya, kita bisa menganggapnya sebagai peranan Intuisi dan sikap juga gaya penuturan penulis puisi.

Demikian pula terhadap lahirnya puisi Sukmawati yang mustahil nihil dari latar yang membelakanginya, penciptaan puisi tersebut tentu bukan proses instan dan frontalitas, artinya sudah ia persiapkan sebelum dibacakan di hadapan publik penonton. Ini dibuktikan dengan secarik kertas yang dibawa.

Saya kurang meminati mengkaji sastra dan memperbandingkan nilai-nilai dari sebuah puisi yang gagal seperti ini. Sebab puisi Ibu Indonesia karangan Sukmawati tidak bisa dibandingkan dengan puisi mana pun yang juga gagal 'tayang' sebagai karya seni sastra yang utuh dan berhasil.

Meskipun ada juga upaya perlawanan puisi terhadap puisi tersebut, tetap saja puisi telah kehilangan peranannya sebagai pencerahan yang alami, tidak tendensius apalagi dimaksud untuk menciptakan kerusuhan anti atau pro kepada puisi semula yang lebih dahulu muncul.

IMG_20180404_144626.jpg

Puisi "Ibu Indonesia" bukanlah karya seni. Hanya curhatan alibi seorang perempuan yang sakit historis, kesumat dendam atas kekuasaan yang pernah terhempas, ini persis suara si buruk jiwa.

Artinya, penulisnya (Sukmawati) bukan seniman atau sastrawan, sebab kepentingan karya telah bergeser kepada kepentingan nafsu dan perlawanan atas sikap masyarakat di sekitar kehidupan bangsa dan bernegara, persis desis ular yang semakin diteliti semakinlah meracuni pemikiran bangsa ini.

Yang pantas bagi puisi ini adalah dilarang bicara terhadap hal yang tidak dikuasai, baik oleh penulis puisi maupun oleh pengkaji puisi agar sastra puisi tetap dihormati tidak untuk dicacimaki.