“ Impian Lara, Rumah Panggung di Bibir Pantai “ ( Karya : Er. A. Gussanda. M )

in #rumah7 years ago

Impian lara.png
SINOPSIS
“ Impian Lara, Rumah Panggung di Bibir Pantai “

Lara adalah sosok yang sebenarnya lunglai, ibarat camar yang tetap ingin berkepak meskipun sayapnya tinggal sebelah dan patah. Suatu saat menemukan cinta pada seorang yang disebutnya si pemilik mata teduh, menjadi lembaran diarynya. Meskipun rasa dan cinta seorang lara tidak berbalas, namun Lara tetap menjadikannya sebagai semangat hidupnya hingga maut menjemputnya. Satu asa dan impian yang sempat tersampaikan adalah sebuah rumah panggung di bibir pantai yang hanya ada dalam khayalan Lara, karena Lara tidak sempat menghuni rumah panggung tersebut.

“ Impian Lara, Rumah Panggung di Bibir Pantai “
( Karya : Er. A. Gussanda. M )

Aku melihatnya beda, lain dari yang lain. Dari tempat dudukku, aku bisa membaca ketenangan di wajahnya. Sekali-terlihat gadis itu mengalihkan pandangannya dari laptop yang berada di depannya, dan tersenyum dengan beberapa teman yang melewati mejanya. Sesekali kulihat gadis itu berbicara dengan teman yang duduk di depannya, kemudian kembali fokus pada laptopnya. Gadis itu menggerak-gerakkan tangannya seperti sedang bercerita, mengungkapkan sesuatu. Kali ini kulihat wajahnya tertengadah dan matanya terpejam, seperti menghafal sesuatu. Hhmm.. bisa kunikmati keteduhan wajahnya dari jauh. Dan tanpa kusadari, gadis itu telah membuka matanya dan seperti agak tertegun melihatku yang masih memandangnya. Hanya sekilas dan kulihat gadis itu tersenyum ke arahku kemudian kembali fokus ke laptopnya. Aku memutuskan, mendekatinya, masih ada satu sofa tersisa untukku. Gadis itu menatapku, agak lama dan aku balas menatapnya. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.
“ Mau presentasi?” aku mencairkan suasana. Gadis itu tampak agak gugup, berusaha tersenyum.
“ iya,” kudengar suaranya, lembut. “ kamu udah presentasi?” lanjutnya ramah. “ sudah, tadi malam,” jawabku spontan. Gadis ini terlihat ramah.
“ gimana hasilnya? Sukses? “ gadis itu bicara lagi. Aku tersenyum menatapnya agak lama. Gadis ini agak kikuk.
“ gimana hasilnya, sukses?” tanya gadis itu lagi, seperti mencoba menghilangkan rasa kikuknya. “ lumayanlah,” jawabku singkat masih tersenyum. Gadis itu mengacungkan kedua jempolnya sambil tersenyum. Kuakui senyumnya memang sangat manis.
“ doakan aku ya,” gadis ini bicara lagi, seperti sudah lama mengenalku. Aku menyukai sikap akrabnya.
“ iya,” jawabku. “ kamu pasti bisa?” lanjutku.
“ makasih ya. Ni mau giliranku.” jawab gadis itu, seperti mengharapkan dukungan. Aku kembali tersenyum, menatapnya.
Gadis itu diam sejenak, memandangku sekilas dan aku masih menatapnya, kami saling tersenyum.“ sekali lagi, kamu pasti bisa,” tegasku.
“ yup, dan sekali lagi makasih ya,” jawab gadis itu sambil bangkit dari duduknya.
“ aku berjuang dulu ya. Doakan proposal aku diterima dan aku bisa menangkan tender ini,” lanjutnya sambil tertawa.“ Pasti,” jawabku cepat, menyemangatinya, ikut berdiri dan mengiringi gadis itu menuju ruangan presentasi. Entah kenapa aku sangat ingin menemaninya. Aku ingin menunggu hasil presentasinya, ingin mengetahui lebih banyak tentang gadis itu. Kami berasal dari perusahaan yang berbeda. Sama sama berjuang memenangkan sebuah tender besar. Kami sama sama mempunyai profesi sebagai konsultan pada sebuah perusahaan. Ada proyek pemerintah yang bergerak dibidang pengadaan barang dan jasa yang akan dilelang dengan nilai nominal yang menggiurkan. Tentu saja aku berharap dapat memenangkan tender ini, dan sepertinya strategi yang kutawarkan pada presentasiku tadi malam mendapat sambutan sangat antusias.
Aku memilih tetap duduk di lobby, menunggu gadis yang kemudian kutahu namanya Lara, menyelesaikan presentasinya. Tiga puluh menit berlalu dan aku melihat Lara keluar dari ruangan, dengan langkah yang agak lunglai dan ekspresi wajahnya lesu. Dia menatapku agak lama, dan memberikan senyumnya padaku.
“ gagal habis,” dia mengucapkan kalimat itu sambil menghempaskan tubuhnya di sofa. Aku mamandanginya. “kenapa,?” tanyaku. Gadis itu diam sejenak, memejamkan matanya dan tarik nafas panjang. Sepertinya sedang berusaha menenangkan diri dengan caranya.
“ konsep aku mengambang, argumenku tidak diterima, ada beberapa hal yang rancu, luput dari pemikiranku, duuuhhh,” gadis itu sepertinya sangat kalut.
“ baiklah, baik, lihat kesini,” aku mencoba alihkan gadis itu. Dan benar, gadis itu menatapku. “ lihat aku, dan dengar, okey. Semua akan baik baik saja,” aku berikan dia keyakinan dengan caraku. Aku bicara sambil mentap lurus ke matanya, sangat pasti dan gadis itu seperti terhipnotis. Dia memandangku lama, tidak berkedip, seperti menunggu.
“ jangan pikirkan itu lagi. Aku janji, jika aku yang menang, kita akan kerjasama, okey,” lanjutku pasti. Aku juga heran, kenapa aku sangat ingin menghilangkan kekalutan gadis ini, padahal aku baru mengenalnya.
“ yup, aku baik baik aja kok,” jawab gadis itu seperti agak heran, tapi mulai tersenyum. “ makasih ya,” lanjutnya lirih.

   Dan sore itu menjadi sore yang bermakna lain bagiku. Seketika kami menjadi sangat akrab. Ada kecocokan yang unik  ketika kami ngobrol langsung atau melalui chatingan. Sisa kebersamaan di sebuah kegiatan yang aku ikuti saat itu, menjadi hari hari yang menyenangkan. Komunikasi aku dengan Lara tetap berlanjut hingga kami kembali ke kota masing masing. Seperti ada magnet yang selalu menarik bayangannya menari nari di hari-hariku seterusnya. Hingga aku mengenal sosok Lara hampir sepenuhnya. Tanpa sungkan di setiap ada kesempatan, Lara bercerita tentang apa saja, aktifitasnya, masa lalunya, dan aku terpana sesaat…. ketika di suatu waktu aku mendengar pengakuannya.

“ aku tidak bisa bertahan lagi. Sudah kucoba menepisnya diam-diam, tapi tetap tidak bisa. Aku hanya ingin jujur, dan tidak inginkan apa-apa darimu… hanya ingin kamu tahu… jika aku mencintaimu….. rasa ini sangat bermakna… kuresapi perlahan…. dan makin aku sadar …. I love you..i love you so much,” itu kalimat yang di tulis Lara di lembaran whatsappku. Ada puisi di akhir pengakuan Lara. “ Andai rasa bisa beralih kemana saja...
Tentu aku secepatnya..... jauh menghindarimu... Tapi tidak seperti itu nyatanya....
Rasa masih kokoh cengkeram sisi lemahku.. Hingga berikan sayat perih tanpa ampun....”
Aku menghela nafas panjang. Berkecamuk berbagai rasa dihatiku. Aku seperti sulit membaca rasaku sendiri. Ada hal yang tidak kumengerti. Di satu sisi, aku seperti mencari saat Lara tidak menyapaku. Ada kebutuhan yang sudah menjadi rutinitas hari-hariku, bercanda ria dengannya dan membahas tentang apa saja, begitu indah mengalir seperti air. Pada sisi yang lain, aku dibayangi oleh satu sosok lain yang sudah mengisi hari hariku sebelum bertemu Lara, yang lebih menyita ruang hatiku. Yaaaa…ada seseorang yang sudah tersimpan dihatiku sebelum Lara,….dan aku sangat yakin jika aku sangat mencintainya….dia adalah Anggita.
Apa yang sudah terjadi padaku. Lara dan Anggita kini memenuhi pikiranku. Apa yang harus kukatakan pada Lara. Aku butuh canda cerianya, kemanjaannya dan sisi lain yang tidak kutemukan pada Anggita. Tapi aku sangat yakin jika aku mencintai Anggita.
Dan reflex tanganku meraih handphone dan bermainlah kalimat-kalimatku, mengikuti gaya Lara. Yaa.. salah satu hal yang kusukai dari Lara, adalah kalimat kalimat indahnya, puitis dan selalu menyiratkan makna. Sangat halus dan aku menjadi terbiasa mencari makna yang tersirat pada setiap kalimat Lara. Maka yang kutulis pada balasan terhadap ungkapannya di whatsapp adalah sebuah pilihan mungkin bagi Lara.
“ Hmm…kita biarkan saja rasa ini mengalir, tanpa paksaan, tanpa usikan, biarkan mengalir perlahan dengan sendirinya. Kita ikuti arah alirnya. Aku tahu aku juga membutuhkanmu. Sesaat saja tanpa sapaanmu, maka tanganku akan sibuk mencari cari hp dan berusaha menemukanmu. Aku belum bisa menempatkan ini pada posisi apa. Kita jalani saja ya….aku hanya ingin kita merasakan bahagia, seperti ini,” itu kalimat yang ku balas.
Saat itu Lara hanya membalas pendek dengan kata hhmmm. Aku tidak bisa memaknainya dan tidak berusaha menanyakannya.
Seterusnya…..hari-hari kami masih berjalan seperti itu. Aku sering membaca kekecewaan Lara ketika aku sangat sibuk dengan tugasku. Aku yang memenangkan tender yang sama sama kami perjuangkan waktu itu. Aku menjadi sangat sibuk hingga aku sering mengabaikan sapaannya Beberapa kali Lara mengungkapkan hal itu dengan kalimat yang tersembunyi .aku sangat tahu jika Lara membutuhkan perhatianku. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak, berusaha mengimbangi rasa yang dimiliki Lara sebisanya, Aku tahu sangat tidak membuatnya puas. Dan Lara masih tetap dengan rasanya, yang selalu berusaha diungkapkannya padaku dengan berbagai cara, terkadang lewat puisi yang sangat puitis, terkadang lewat nyanyiannya. Aku dapat merasakan semua rasanya, tapi yang kulakukan adalah mengimbangi sebisaku. Aku tahu, aku menyayangi Lara bahkan sangat menyayanginya, namun cintaku sudah menjadi milik Anggita.
Bulan ketiga sejak pertemuanku dengan Lara, di suatu waktu di suatu tempat, begitu cara Lara mengingatkanku pada pertemuan kami di lobby hotel dulu, aku mulai tahu jika Lara sering sakit. Aku mengetahuinya dari sebuah status yang dikirimkan oleh seorang teman dekat Lara di linimasa facebooknya Lara. Status itu tentang kekhawatiran seorang teman dekat Lara yang menginginkan kesembuhan Lara. Aku mulai mencari tahu perlahan, pada akhirnya bertanya langsung pada Lara. Lara hanya menjawab sekilas.
“ gak penting, gak perlu dibahas,” selalu kalimat itu yang diucapkan Lara. Beberapa kali Lara menjawab seperti itu. Aku bisa menangkap betapa Lara selalu ingin terlihat kuat dan ceria. Segala aktifitasnya menggambarkan semangat membara. Sekali lagi aku menangkap ada hal yang disembunyikan Lara. Dan aku masih menunggu cerita Lara. Hingga di suatu saat lara bercerita pada lembar whatsapp ku, yang pada akhir-akhir ini Lara menyebutku sebagai My Diary.
“ jangan tutup lembaran whatsapp abang ya,” itu kata Lara setelah beberapa kali Lara kecewa sapaannya belum bisa aku balas. Sebutan antara kami sudah berubah menjadi panggilan abang dan Adek.
“ Adek ingin lembaran di whatsapp itu menjadi tempat Adek bercerita meski tanpa balasan, Adek tidak apa apa. Dan mulai sekarang ijinkan Adek menamakan lembaran ini sebagai My Diary dan My Diary itu adalah abang,” lanjut Lara.
Sejak itu Lara tidak terlalu mengusik ku lagi. Lara mulai menyesuaikan hatinya dengan kondisiku. Hanya saja, lembaran whatsapp ku sekarang selalu terisi oleh berbagai isi hati seorang Lara. Lembaran whatsapp ku menjadi Diary nya Lara. Lara sudah cukup puas menulis disana. Seperti biasa aku membacanya dan memberikan tanggapan jika aku sempat, tanggapan yang sebenarnya hanya sekedar memberikan Lara kedamaian, dan jika boleh aku jujur, itu kulakukan hanya karena kasihan. Dan ini salah satu puisi Lara yang sangat kusuka, yang dikirmkan Lara di lembaran whatshapku :

Aku butuh jiwamu meski dalam mimpi
Setia sulamkam sepi dalam muara kalbuku
Semua bermula dari rasa
Yang kutemukan pada senyummu yang penuh charisma
Maka sejak itu
Benak malamku biaskan hasrat ke tepian dermaga
Membawa biduk sebuah nama
Namamu My diary
Terbingkai dalam susunan aksara
Dalam bingkai hatiku
HHmm…biduk sebuah nama, namamu my diary
Kini membias kearah berbeda
Kutahu tidak akan sampai ke tepian dermaga
Biduk ini kini menampung tetes demi tetes
Air bening dari bingkai hati yang porak poranda
Karena benak malam ulurkan tirai melebar diseberang jalan makin membawa jauh tepian dermaga
Kuseka tetes bening ini hingga terhenti
Terhenti pada bingkai hati yang meski porak poranda
Tapi ada sebuah nama yang tersimpan abadi disana
Namamu…my diary

Hingga suatu waktu, Lara ke kotaku, di bulan ke sembilan pertemuan kami. Aku seperti tidak percaya. Tiga hari sebelum Lara ke kotaku, kami masih mengobrol melalui handphone dan Lara tidak bercerita apa –apa tentang keberangkatannya ke kotaku. Aku berpikir bukan tanpa alasan. Saat kondisi kesehatannya yang kutahu semakin memburuk, Lara memutuskan mengikuti sebuah kegiatan yang berkaitan dengan tugasnya sebagai konsultan yang diselenggarakan di kotaku. Diam-diam aku khawatir, walau bagaimanapun antara aku dengan Lara sudah sangat akrab, sebuah keakraban tanpa cinta. Dan aku memberi nama ini persahabatan yang nilainya berlebih. Aku khawatir terjadi sesuatu hal buruk pada Lara, aku takut kehilangan satu sisi pada hatiku yang selama ini sudah mampu diisi oleh Lara, meski itu bukan sisi cinta. Kekhawatiran ini yang membuatku mengikuti segala aktifitas Lara di kotaku.
Benar saja…Lara tumbang saat mengikuti kegiatan. Aku melihat nyata kali ini, bagaimana kondisi Lara saat di dera oleh penyakitnya. Tuhan, tiba tiba aku ingin memeluknya, ingin memberinya kekuatan. Sepanjang jalan menuju rumah sakit, aku menggenggam tangan Lara yang pucat dan gemetar. Entah mengapa, saat ini aku aku benar-benar melakukannya dengan sepenuh hati, seperti menyesali kenapa aku menempatkan rasa kasihan pada Lara selama ini. Kubisikkan beberapa kalimat yang aku tahu Lara sangat menyukainya. Aku bisa melihat senyum dibibir Lara.
“ Tuhan….tolong lah Lara,” diam diam aku memohon tulus.
Aku tidak ingin beranjak pergi dari sisi Lara saat dokter memeriksanya. Aku masih tetap menggenggam dan mengelus tangan Lara, memberinya kekuatan. Beberapa jam waktu terlewati, aku melihat kondisi Lara mulai membaik. Diam diam aku menghela nafas lega. “ terimakasih Tuhan,” bathinku.
Ku suguhi Lara yang terbaring dengan cerita-ceritaku pada jarak wajahku sangat dekat dengan wajahnya. Aku melihat betapa Lara tidak ingin berpaling sedikitpun. Bahkan saat aku mencoba memalingkan wajahku kearah lain, tanganya yang masih lemah menyentuh wajahku, memalingkan nya kearah nya, “ My diary, Adek disini,” ujarnya dengan suara lemah. Aku berusaha tersenyum, dan ini hal yang kusukai dari Lara, canda nya, kata khasnya…my diary.
“ my diary,” Lara memanggil lagi. Aku mendekatinya lagi,” ya sayang,’ jawaban yang selalu kuberikan saat Lara memanggilku dengan sebutan itu, dan kali ini sebutan itu kuungkapkan penuh dari hati.
“ abang tau, kenapa Adek ada disini sekarang,” lanjut Lara. Aku segera meletakkan jariku di bibir Lara, “ jangan bicara dulu, istirahatlah, okey,” tegasku.
Tapi Lara menggeleng, memberi isyarat agar aku membiarkannya bicara. Dan kubiarkan dengan berat hati.
“ hanya untuk jumpa dengan abang,” lanjut Lara. Aku diam, mendengar, masih terus menggenggam tangan Lara. “ Adek tidak tau kenapa keinginan ini sangat menggebu, hanya ingin jumpa abang. Adek set semua perjalanan kesini, berusaha meyakinkan bos, yang seolah pertanyakan kenapa Adek harus kesini,” Lara masih bicara. Aku tetap diam, menunggu.
“ Rasanya tidak ada kebahagiaan lain yang pernah Adek rasakan, melebihi bahagia Adek saat ini….Adek melihat kekhawatiran abang, Adek rasakan kekuatan yang berusaha abang berikan melalui genggaman tangan abang ini,” suara Lara mulai lirih.
“ sudahlah,” aku mencoba menahan Lara, “ Adek istirahat dulu ya,” tambahku. Tapi Lara menggeleng, dan aku diam lagi.
“ abang tau, Adek sangat meresapi ini, bahkan andai Adek harus meninggal sekarang, Adek merasa damai, merasa bahagia, Adek tidak takut kematian lagi seperti kemarin kemarin,” kali ini ada air mata mulai mengalir di mata Lara.
Aku semakin mendekat ke wajah Lara yang terbaring, menegaskan sesuatu ke matanya.
“ sudah, abang tidak mau dengar lagi Adek bicara. Adek istirahatlah, abang akan temani disini, sampai Adek terbangun,” tegasku dengan tatapanku. Kali ini Lara mendengarku. Kulihat matanya mulai terpejam.
“ abang akan bawakan mie udang kesukaan Adek saat Adek terbangun nanti ya,” tambahku sambil tersenyum.
Lara benar benar tertidur. Kupandangi wajahnya.
“ hhmmm..Tuhan, begitu besarnya pengorbanan Lara hanya untuk menjumpaiku,” bathinku. Kupandangi terus wajah Lara yang sekarang seperti terlelap. Aku tidak ingin melepaskan genggaman tanganku saat ini. Aku ingin terus menggenggamnya hingga Lara terbangun nanti. Berbagai kecamuk pikiran bermain di benakku. Sejenak muncul sosok Anggita, tapi tertepis lagi.
Yang sekarang kupikirkan adalah aku ingin bercerita untuk Lara, saat dia terbangun nanti, tentang sebuah impian, impian yang sering di ucapkan Lara. Tentang sebuah rumah panggung di bibir pantai, dimana hanya ada Lara dan aku. Tentang akan ada angin sepoi- sepoi yang selalu menyapu wajah kami, saat mentari perlahan tenggelam di ufuk timur, menghantar malam dan dingin yang mulai merayap.
Tentang suara ombak yang saling berkejaran di luar rumah panggung impian, yang menyuarakan cinta .
“ Adek ingin setiap hari kita habiskan waktu berdua di rumah itu,” itu kalimat Lara yang diucapkan Lara saat kami mengobrol melalui handphone. Aku menelponnya waktu itu, dua hari sebelum Lara memutuskan ke kotaku. Aku memutuskan menelponnya waktu itu setelah membaca kalimat-kalimatnya yang dikirim ke whatshapku. Kalimat yang semuanya sangat menyentuh, menyentuh nuraniku dan muncul rasa kasihanku. Sekali lagi, aku menelponnya karena rasa kasihan. Lara selalu merasa terabaikan olehku. Dan itu bukan hal yang kusengaja, tapi memang aku tidak ingin memberi Lara harapan palsu. Aku menyayangi Lara karena kondisinya yang sakit-sakitan, bukan karena cinta. Andai tidak ada Anggita, mungkin aku akan mencoba memupuk rasa cinta ke Lara dan aku merasa bisa, karena banyak hal yang ada pada Lara yang seperti membuatku terikat, manjanya, candanya, kelembutannya dan keinginanku untuk membuatnya bahagia. Aku selalu ingin membuat Lara bisa tersenyum dan melupakan sakitnya. Sakit yang menurut vonis dokter hidup Lara tidak akan bertahan lama lagi. Lara terdeteksi terkena leukemia dua tahun yang lalu, kanker darah yang mematikan. Lara ungkapkan itu beberapa waktu lalu, saat pertemuan kami sudah memasuki bulan ke empat, setelah aku memaksanya berkali kali. Bahkan Lara mengungkapkan itu dengan sangat ringannya, tanpa beban. Aku yang malah sangat shock mendengarnya.
“ sudah ah, lupakan aja. Gak usah dibahas. Adek baik baik aja kok,” itu ucapan Lara waktu itu, via handphone. Saat itu kami bicara sangat lama. Hampir satu jam. Lara tidak masuk kerja hari itu.
“ Adek gak masuk kerja hari ini. Lagi gak enak badan,” itu ditulis Lara di pesan whatshap, pukul 07.00 wib pagi. Aku membacanya sudah pukul 10.00 wib. Dan aku segera menelponnya, mulai sibuk bertanya tentang kondisinya saat itu. Aku juga mulai menginterogasi kenapa Lara sering sakit, sampai akhirnya Lara menceritakan tentang penyakitnya, tentang vonis dokter yang sangat mengagetkanku.
“ sudah ah, lupakan aja. Gak usah dibahas. Adek baik baik aja kok,” itu ucapan Lara yang berulang diucapkannya pada obrolan kami saat itu.
Aku sengaja luangkan waktu untuk Lara. Padahal saat itu aku ada janji dengan Anggita. Tapi aku tidak mengerti kenapa aku sangat lancar memberikan alasan pada Anggita untuk batalkan janji dengannya, hanya demi mengobrol dengan Lara. Tiba –tiba aku merasa sangat khawatir. Entah apa yang terjadi dengan hatiku. Aku sangat yakin, ini bukan rasa kasihan lagi, tetapi melebihi itu. Sejak itu, aku rutin mengingatkan Lara untuk minum obat dan makan tepat waktu. Aku akan sangat marah saat sudah jam makan dan minum obatnya, tapi Lara belum melaksanakannya. Aku juga selalu memantau makan dan minum obatnya Lara melalui video call.
“ Adek udah makan? Udah minum obat,” tanyaku suatu waktu via telpon, setelah seminggu aku mengetahui tentang leukemia yang diderita Lara. Hari itu juga Lara kembali tidak masuk kerja karena kondisinya lemah.
“ bentar lagi,” jawabnya. Aku jadi kesal. “ angkat video call abang,” tegasku dan aku langsung putuskan obrolan. Aku memanggil Lara kembali via videocall whatshap. Lara mengangkatnya. Kulihat jelas wajah Lara yang pucat, tapi tetap memberikan senyum manisnya. Melihat wajah itu, aku tidak jadi marah dan langsung memberikan senyumku padanya.
“ apa ada makanan disitu sayang,” aku menatapnya dekat sambil senyum, sengaja aku mendekatkan kamera handphone ke wajahku. Kulihat Lara tersipu malu. Lara mengarahkan kamera handphonenya ke arah makanan yang ada disampingnya. Lara sedang berada di kamarnya, ditempat tidur. Ingin rasanya aku berada disamping lara dan menemaninya saat itu. Lara masih mengarahkan kamera pada makanan yang ada disampingnya. Aku melihat ada segelas susu yang masih utuh, ada sepiring nasi dengan lauknya, ada kue kering yang aku suka, nastar dan beberapa kue kering lainnya.
“ makan ya sayang, abang temani,” aku berkata lirih. “ abang ingin Adek makan kue nastar itu untuk abang,” lanjutku. Kulihat Lara mulai mengambil kue nastar yang kumaksud dan mulai mengunyahnya pelan, sambil menatapku, masih dengan wajah tersipu malu.
“ abang suka nastar ya,” ujarnya sambil mengunyah pelan dan menatapku. “ iya,” jawabku, masih selalu menatapnya. “ biarkan kamera tetap disitu ya, abang bisa lihat semua aktifitas Adek dengan jelas, abang temani sampe habis makanannya,” tegasku. Aku juga menempatkan handphoneku pada meja kerjaku sekarang, agar Lara dapat melihat aktifitaskku dengan jelas.
“ abang sambil kerja ya,” aku menunjuk ke arah meja kerjaku, penuh dengan bundle yang harus ku pelajari dan tanda tangani. Lara hanya tersenyum sambil mengunyah pelan, masih nastar tadi.
“ susunya dong, diminum,” aku berkata lagi, melihat kearah Lara sambil kerja.
“ iyaaaaaaaaa,” jawab Lara manja dan sedikit kesal. Aku suka gaya Lara yang ini.
Aku tertawa melihat Lara yang seperti terpaksa mengambil gelas susu dan meminumnya.
“ habiskan dong,” aku masih memantaunya, kulihat Lara hanya meminumnya seteguk. “ ayo dong, minum tuk abang juga,” lanjutku lembut sambil menghentikan kerjaku dan menatapnya dari jarak dekat. Kulihat Lara meneguk kembali sisa susu yang tinggal setengah gelas dengan memejamkan matanya. Aku tahu Lara tidak pernah membantah keinginanku.
“ udaaahhh,” suara manja Lara sambil perlihatkan gelas susu yang hanya tinggal sedikit. Aku tersenyum. “ makasih sayang,” ujarku, menatapnya lagi.
“ sekarang obatnya dong,” perintahku lagi. Kulihat Lara agak enggan. Masih menatapku, masih tersenyum tapi agak manyun. Aku kembali menatapnya dari jarak dekat.
“ sayang….minum obatnya dulu ya,pleassee. Demi abang, please,” aku merayu lembut, sambil terus menatapnya. Benar saja, aku melihat Lara mulai mengambil obat dan meminumnya. Aku menjadi sangat lega.
“ makasih sayang,” suara Lara agak lirih, menatapku lama. Aku balas menatapnya, dan kami saling senyum. Aku mulai merasakan hal aneh, seperti ada getar khusus dan aku yakin itu bukan rasa kasihan, tapi lebih dari itu. Aku merasa sangat dekat dengan Lara kini.
“ Adek istirahat dulu ya bang, Adek ngantuk,” Lara melanjutkan ucapannya. Aku mengangguk cepat.
“ istirahatlah, tidurlah sayang. Jangan dimatikan VC nya, abang temani dari sini, tidurlah,” jawabku masih tersenyum menatap nya. Lara tidak menjawab, hanya tersenyum dan kulihat Lara beranjak tidur. Aku tidak mengusiknya lagi, kubiarkan Lara istirahat dan aku menemaninya dari ruang kerjaku. Seperti berada ditempat yang sama dan aku merasa nyaman, merasa sangat dekat dengan Lara. Aku meneruskan kerjaku. Sesekali aku melihat Lara yang tertidur pulas sambil tersenyum. Aktifitas seperti ini sempat beberapa kali kami lakukan. Menemani Lara makan dan minum obat. Jika aku tidak salah hitung, hampir tiap hari. Mulai setelah seminggu aku mengetahui tentang sakitnya sampai sebelum Lara memutuskan mengikuti sebuah kegiatan di kotaku. Aktifitas yang kulakukan dengan senang hati, seperti rutinitas baru dan nada kebahagiaan tersendiri saat aku melakukan itu.
Aku kembali tersenyum mengingat ini semua. Seperti terlintas jelas semua ceritaku dengan Lara selama ini. Aku seperti terbawa pada semua cerita yang sudah kulalui selama sembilan bulan bersama Lara. Aku hampir lupa jika aku sekarang sedang benar-benar menemani Lara yang tertidur pulas saat ini di depanku, di rumah sakit, dikotaku. Aku malah masih menggenggam tangannya. Bukankah tadi aku yang menyuruh Lara tidur dan istirahat dan aku berjanji akan membawakan mie udang untuknya saat Lara terbangun nanti. Dan yang aku pikirkan adalah aku ingin bercerita untuk Lara, saat dia terbangun nanti, tentang sebuah impian, impian yang sering di ucapkan Lara. Sekali lagi kuulangi, tentang sebuah rumah panggung di bibir pantai, dimana hanya ada Lara dan aku. Tentang akan ada angin sepoi sepoi yang selalu menyapu wajah kami, saat mentari perlahan tenggelam di ufuk timur, menghantar malam dan dingin yang mulai merayap. Tentang suara ombak yang saling berkejaran di luar rumah panggung impian, yang menyuarakan cinta .Yaaaa…..aku ingin bercerita tentang impian Lara, sebuah rumah panggung dipinggir pantai, saat dia terbangun nanti.
Hhmm..kupandangi wajah Lara yang masih tertidur . Matanya terpejam sempurna. Aku masih erat menggenggam tangan Lara. Tiba tiba aku tersadar, bukankah ini sudah lama sekali. Hampir satu jam aku menunggu Lara terbangun kembali. Sangat lama, hingga semua cerita kami terlintas kembali. Kembali kupandangi wajah Lara, seperti sangat pulas. Tapi aku semakin menyadari jika tangan Lara yang sejak tadi dalam genggamanku, terasa dingin.
“ Lara sayang, bangun, aku mencoba membangunkannya. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Sangat dekat, mencoba memberikan kehangatan nafasku kewajahnya. Tapi Lara tetap tertidur.
“ sayang, bangunlah,” aku berbisik ke telinganya. Kali ini aku mulai kalut. Aku mulai meraba wajahnya, dingin. Aku mendekatkan bibirku ke pipinya, Lara tetap tidak bergeming.
“ sayang….Adek, bangunlah. I love you..i love you so much,” tiba tiba aku ucapkan kata kata itu, kata kata yang sering diucapkan Lara untukku dan aku belum pernah membalasnya. Lara masih diam, tetap tidak bergeming. Bahkan ketika aku mengguncang tubuhnya dengan keras dan meneriakkan namanya, Lara masih tetap tertidur, sangat pulas, dalam senyum.
Aku menjadi histeris berlari memanggil dokter yang kebetulan ada di ruangan itu.
Kupandangi semua yang dilakukan dokter dengan penuh harap. Aku ingin melihat Lara membuka matanya lagi. Aku sangat harapkan itu. Tapi kulihat wajah dokter lesu menatapku. Aku tidak percaya saat dokter menyatakan jika Lara sudah tidak ada. Berkali kali aku mencoba meraih tangan Lara dalam genggamanku, membawa tangannya yang sudah kurasakan dingin ke dadaku, kewajahku, sambil berulang ucapkan kata I love you, I love you so much. Aku berharap ini hanya mimpi. Tapi aku memang tidak bermimpi. Lara benar benar telah pergi, meninggalkanku selama lamanya.
Ya Tuhan, kiranya aku terkecoh oleh waktu,…..aku tidak melihat kepergian Lara, meski aku sangat dekat disisinya. Lara pergi selama lamanya dan tangannya dalam genggaman tanganku…….Lara pergi sangat jauh, saat berada sangat dekat dengan diriku. Dan untuk waktu yang sangat membuatku terkecoh ini, membuahkan penyesalan dalam hidupku. Penyesalan yang hanya aku yang bisa memaknainya.
“ Adek ….sayang….maafkan abang belum sempat wujudkan impian Adek, tentang sebuah rumah panggung dibibir pantai, dimana hanya ada kita berdua. Dimana akan ada angin sepoi sepoi yang selalu menyapu wajah kita, saat mentari perlahan tenggelam di ufuk timur, menghantar malam dan dingin yang mulai merayap. Dimana suara ombak yang saling berkejaran di luar rumah panggung impian, yang menyuarakan cinta, cinta kita. Abang cinta Adek…sangat cinta,” aku mengucapkan kalimat ini hanya dalam bathinku, di pusara Lara.
Aku seperti melihat ada sosok Lara berdiri memandangiku dengan senyum lembutnya, melambaikan tangannya perlahan kearahku. Sekali lagi kupandangi pusara Lara, kali ini seolah dengan sosoknya yang tetap berdiri disana, memandangiku, tersenyum, mulai menjauh…menjauh dan semakin jauh, sangaaaatttt jauh.

Sort:  

Resteemed your article. This article was resteemed because you are part of the New Steemians project. You can learn more about it here: https://steemit.com/introduceyourself/@gaman/new-steemians-project-launch