IMAM ASY-SYAFI‘I DAN PERKEMBANGAN MAZHABNYA

in #science6 years ago

hgmjdzyngd.png
source image

Sejarah telah mencatat bahwa periode imam mujtahid yang dimulai dari awal abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H merupakan periode keemasan dan juga periode kemajuan Islam pertama. Ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlul hadith dan ahlur rakyi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‘i dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu saja, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi di masa mendatang yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotesis). Periode keemasan ini ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan ushul fiqh. Di antara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini ialah al-Muwaththa` oleh Imam Malik dan Al-Umm oleh Imam asy-Syafi‘i. Adapun kitab ushul fiqh pertama yang muncul adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi‘i.
Namun, dari pemaparan di atas tulisan ini hanya difokuskan kepada “Imam asy-Syafi‘i dan Perkembangan Mazhabnya” saja. Hal ini penulis lakukan supaya alur pemikiran (konsentrasi) para pembaca tetap fokus pada satu permasalahan yang jelas dan tidak melenceng ke mana-mana. Tulisan ini dimulai dengan Pendahuluan dan diakhiri dengan Kesimpulan. Adapun sub pembahasan di dalamnya, yaitu prinsip-prinsip yang dipegang oleh Imam asy-Syafi‘i, metode istinbath beliau, ciri dan contoh-contoh ijtihad beliau, beda istinbath beliau dengan imam mazhab yang lain, dan murid dan pengembang mazhab sesudah beliau serta buku (kitab) utama dalam mazhab.
Adapun permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu bagaimana prinsip-prinsip yang dipegang oleh Imam asy-Syafi‘i? Bagaimana ciri dan contoh-contoh ijtihad beliau? dan Siapa saja murid dan pengembang mazhab sesudah beliau serta apa saja buku utama dalam mazhab. Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan prinsip-prinsip yang dipegang oleh Imam asy-Syafi‘I, menjelaskan metode istinbath yang beliau gunakan, untuk menjelaskan perbedaan istinbath beliau dengan imam mazhab serta dapat menjelaskan pengembangan pemikiran mazhab sesudah beliau serta buku utama dalam mazhab.

u7260knph7.png
source image

Prinsip-Prinsip Yang Dipegang Oleh Imam Asy-Syafi‘I

Dalam setiap berijtihad beliau berprinsip bahwa hasil ijtihad beliau tidak mutlak harus benar, sehingga beliau selalu berkomentar jika hasil ijtihad beliau atau kaidah-kaidah yang beliau susun dalam kitab Ushul Fiqh bertentangan dengan hadith, maka yang benar adalah hadith Rasulullah Saw.
Dan beliau pun tidak pernah menganjurkan orang lain untuk selalu mengikuti mazhabnya, tanpa boleh mengikuti mazhab imam-imam yang lain. Beliau memberi kebebasan kepada murid-muridnya untuk mengikuti pendapat siapa yang dianggap cocok dalam bermazhab. Dan beliau sangat menghormati perbedaan pendapat yang terjadi dengan imam-imam yang lain. Karena perbedaan pendapat adalah dapat memperkaya khazanah keilmuan keislaman, khususnya dalam bidang fiqh.
Prinsip beliau selanjutnya, walaupun al-Qur’an dan al-Hadits beliau tempatkan pada posisi pertama sebagai sumber istinbath, namun al-Hadits tidak bisa menasakhkan al-Qur’an dan al-Qur’an pun tidak menasakhkan al-Hadits. Tetapi al-Qur’an hanya menasakh al-Qur’an dan al-Hadits menasakh al-Hadits. Alasannya, al-Qur’an tidak menasakh al-Hadits karena jika hal itu terjadi, sedangkan Rasulullah Saw sendiri tidak menunjukkan nasakh (pembatalan)nya, ini berarti semua perintah dari beliau yang tidak sesuai dengan al-Qur’an akan dianggap sebagai yang dinasakh oleh al-Qur’an. Jika pun terjadi nasakh, maka Rasulullah perlu memberitahukannya kepada orang banyak secara khusus, bahkan bila al-Hadits dinasakhkan oleh al-Qur’an. Jadi, Imam asy-Syafi‘i menganggap pemberitahuan oleh Rasulullah ini sebagai pembatalan (nasakh) al-Hadits oleh al-Hadits. Begitu juga sebaliknya, al-Hadits tidak menasakh al-Qur’an. Karena kalaupun hal itu terjadi, maka pemberitahuan dari Rasulullah adalah al-Qur’an itu sendiri. Maksudnya, jika ada ayat al-Qur’an yang dinasakh melalui pemberitahuan Rasulullah, itu karena Allah telah mendatangkan ayat yang lain melalui perantaraan malaikat Jibril. Dan posisi Rasulullah hanya sebagai penyampai saja. Namun, bila terjadi kontradiksi antara al-Qur’an dengan al-Hadits, maka al-Qur’anlah yang lebih utama untuk dipegang.
Al-Hadits ahad beliau gunakan sebagai sumber istinbath asal kualitasnya shahih. Hal ini sesuai dengan pernyataan beliau: “Apabila al-Hadits berkualitas shahih, maka itulah mazhabku (sumber istinbath)”. Beliau hanya meneliti kualitas al-Hadits ahad dari segi sanadnya saja. Jika hasil yang beliau peroleh bahwa para perawi dalam silsilah sanadnya semuanya thiqah (dapat dipercaya karena ‘adilnya), maka al-Hadits ahad tersebut beliau jadikan sebagai sumber istinbath. Beliau tidak mau melakukan kritik matan atas al-Hadits ahad tersebut, sehingga kritik matan menjadi terhenti. Oleh karena demikian, beliau mendapat gelar Nashirus-Sunnah (pembela al-Hadits). Tetapi al-Hadits mursal tidak menjadi sumber istinbath. Kemudian beliau juga menolak istihsan untuk dijadikan sumber istinbath dan beliau berkomentar: “Barangsiapa yang menjadikan istihsan sebagai sumber istinbath, maka ia sudah membuat syari‘at sendiri”.
Di antara prinsip beliau selanjutnya adalah ikhtiath (menjadikan sesuatu yang tidak pasti menjadi pasti). Maksudnya, jika ada dua dalil yang bertentangan, maka beliau meneliti untuk mencari mana yang lebih kuat (mentarjih salah satu dari dua dalil) dan yang ditarjih adalah dalil yang lebih berat ketetapan hukumnya. Contoh, dalil yang satu menunjukkan kepada sunat dan dalil yang satunya lagi menunjukkan kepada wajib. Maka yang diambil adalah dalil yang menunjukkan kepada wajib karena ikhtiath. Ini berbeda dengan dengan Imam Malik yang tidak mau mentarjih di antara kedua dalil.

k8wi0mpybf.png
source image

Metode Istinbath Yang Digunakan Oleh Imam Asy-Syafi‘I

Metode istinbath Imam asy-Syafi‘i berdasarkan 5 (lima) sumber hukum, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitabnya Al-Umm, beliau berkata: “Ilmu mempunyai tingkatan yang berbeda. Pertama, al-Qur’an dan al-Hadits apabila ketetapan hukum sudah ada di dalam keduanya. Kedua, ijma‘ tentang sesuatu yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Ketiga, ijma‘ (kesepakatan) para sahabat Rasulullah Saw tentang penetapan sebuah hukum. Keempat, pendapat sahabat yang masih diperselisihkan. Kelima, qiyas yang tidak keluar dari jalur al-Qur’an dan al-Hadits. Dan metode yang digunakan ketika beristinbath adalah menggali hukum dari sumber yang lebih tinggi”.
Maksudnya, ketika beristinbath pertama sekali beliau mencari ke dalam al-Qur’an. Bila dalam al-Qur’an tidak ada, maka beliau mencarinya ke dalam al-Hadits. Jika dalam al-Hadits tidak ada, maka beliau mencari ijma‘. Bila ijma‘ tidak ada, maka beliau mencari pendapat-pendapat sahabat. Jika itu pun tidak ada, maka barulah beliau melakukan qiyas dengan berijtihad.
Dengan pernyataan beliau seperti itu, maka yang terlihat bahwa beliau menjadikan nash, yakni al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber tingkatan yang pertama ketika beliau beristinbath. Dan beliau menganggap keduanya sebagai sumber yang setingkat atau setaraf bagi fiqh. Artinya, tidak mungkin dengan hanya melihat pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada al-Hadits yang menjelaskan maksud al-Qur’an. Alasannya, karena al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah kulliyah (teori menyeluruh) sedangkan al-Hadits berfungsi sebagai penjelas atau penafsir bagi hal tersebut. Al-Hadits lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat (mengqaid) makna mutlaknya atau menjelaskan makna globalnya. Sedangkan sumber lain dikompromikan atau dibawa (didatangkan) kepada keduanya.
Adapun pendapat para sahabat Rasulullah Saw, baik yang ijma‘ maupun yang masih diperselisihkan tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an atau al-Hadits. Demikian juga dengan ijma‘ ulama, ia bersumber dari keduanya.
Adapun yang kita dapatkan dari para fuqahasesudah Imam asy-Syafi‘i, mereka menyebutkan al-Qur’an sebagai sumber istinbath yang pertama. Kemudian al-Hadits sebagai sumber istinbath yang kedua. Demikian pula Imam Abu Hanifah sebelum Imam asy-Syafi‘i, beliau menjadikan al-Qur’an sebagai sumber istinbath yang pertama. Jika dalam al-Qur’an tidak ada, barulah beliau mencarikan al-Hadits sebagai sumber istinbath. Hal ini berdasarkan riwayat dari Mu‘adz bin Jabal ketika dilantik sebagai pemimpin (gubernur) di Yaman, Rasul bertanya kepadanya: “Dengan apa engkau putuskan suatu perkara?”. Beliau menjawab: “Dengan al-Qur’an”. “Jika dalam al-Qur’an tidak ada?”, tanya Rasul lagi. “Dengan sunnah (al-Hadits) Rasulullah Saw”, jawab Muadz. “Kalau di dalam al-Hadits pun tidak ada?”. “Aku akan berijtihad menurut pendapatku”, jawab Mu‘adz. Namun, ketika Imam asy-Syafi‘i menggabungkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber istinbath pada tingkatan yang pertama, sedangkan hakikat dan zat keduanya berbeda, ini bukan berarti beliau menganggap al-Hadits sama posisinya dengan al-Qur’an dalam segala segi. Karena paling kurang al-Qur’an seluruhnya merupakan kalam Allah yang mutawatir dan mempunyai nilai ibadah bagi orang yang membacanya. Sedangkan al-Hadits pada umumnya bukan mutawatir dan tidak bernilai ibadah bagi pembacanya karena dia bukan kalam Allah tetapi kalam Nabi Saw. Tetapi ketika Imam asy-Syafi‘i melakukan proses istinbath, pertama kali beliau menggali ke dalam al-Qur’an. Terkadang di dalamnya terdapat penjelasan hukum secara menyeluruh dan mayoritas ayat-ayatnya berisi ketetapan hukum yang juzi (tidak mencakup secara menyeluruh). Ketika itu peran atau fungsi al-Hadits di sini sebagai penyempurna yang menjelaskan maksud bagi al-Qur’an. Karena walaupun ketetapan hukumnya sudah ada secara menyeluruh dalam al-Qur’an, namun masih bersifat umum dan kaidah kulliyah (teori menyeluruh). Maka, al-Hadits sebagai penyempurna saja untuk menjelaskan maksud bagi al-Qur’an. Al-Hadits merincikan isi al-Qur’an yang bersifat global dan menjelaskan sebagian maksud yang sukar bagi akal untuk mendapatkannya. Maka posisi al-Hadits sebagai penjelas bagi al-Qur’an dalam setiap aspek permasalahan secara menyeluruh dan merincikan hal-hal yang masih global dari al-Qur’an. Contohnya, shalat. Di dalam al-Qur’an hanya diperintahkan untuk menunaikan shalat, bagaimana tatacara shalat dan apa saja yang dilakukan di dalamnya tidak disebutkan di dalam al-Qur’an, maka al-Hadits berfungsi sebagai penjelas karena di dalamnya lah disebutkan tatacara pelaksanaannya, dan lain-lain.
Kemudian Imam asy-Syafi‘i menetapkan ijma‘ sebagai sumber istinbath hukum yang ketiga. Definisi ijma‘ menurut beliau adalah kesepakatan para ulama suatu masa atas penetapan hukum syar‘i yang praktis (‘amali) dari suatu dalil yang mereka pegang. Beliau mengatakan tentang hal ini, bahwa bukannya para ulama ahli masa tersebut yang mengatakan: “Ini telah menjadi pendapat yang disepakati bersama di antara kami”, akan tetapi orang-orang (ulama) pada masa sesudahnya yang meneliti dan menemukan kesimpulan bahwa itu telah menjadi kesepakatan (ijma‘) ulama mujtahid masa sebelumnya.
Ketika membicarakan prinsip ijma‘, lawan-lawan Imam asy-Syafi‘i berusaha mengukuhkan kewenangan ijma‘ dalam menentang tradisi terisolir (al-Hadits Syadzdz) yang didukung oleh Imam asy-Syafi‘i. Lawan-lawannya mengatakan bahwa ijma‘ ulama dalam hal perincian-perincian haruslah diikuti, karena hanya merekalah yang memiliki pengetahuan hukum dan bersepakat dalam pendapat. Tetapi menurut Imam asy-Syafi‘i, ijma‘ hanya bisa menjadi otorita bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan hukum, apabila para ulama tersebut bersepakat pendapat. Tapi, jika ulama berbeda pendapat , maka pendapat mereka tidak memiliki kewenangan yang mengikat.
Ijma‘ yang pertama sekali yang diakui oleh Imam asy-Syafi‘i adalah ijma‘ sahabat Rasulullah Saw. Pun demikian, tidak pernah ditemukan pernyataan beliau yang mengatakan ijma‘ selain sahabat tidak bisa menjadi sumber istinbath. Tentang ijma‘ ada 3 (tiga) perkara yang harus diingat:
a. Imam asy-Syafi‘i menetapkan ijma‘ pada posisi yang ketiga setelah al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber istinbath. Ini menunjukkan bahwa jika ada pendapat yang telah diijma‘kan bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits, maka ijma‘ tersebut tidak bisa dijadikan sebagai sumber istinbath. Karena sebenarnya tidak mungkin terjadi ijma‘ pada masalah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dan itu tidak pernah terjadi dalam sejarah perkembangan hukum Islam.
b. Imam asy-Syafi‘i tidak pernah mengakui ijma‘ penduduk Madinah sebagai ijma‘ yang menjadi sumber istinbath. Pada masalah ini terjadi perbedaan pandangan dengan guru beliau Imam Malik. Karena Imam Malik menjadikan ijma‘ penduduk Madinah sebagai sumber istinbath. Beliau beralasan bahwa penduduk Madinah tidak pernah ada kesepakatan (ijma‘) di kalangan mereka tentang suatu perkara, kecuali hal itu sudah menjadi ijma‘ di kalangan dunia Islam pada umumnya. Contohnya, shalat Zuhur empat raka‘at, Maghrib tiga raka‘at dan Subuh dua raka‘at.
c. Imam asy-Syafi‘i dalam setiap kali berdiskusi dengan orang lain, jika dikatakan suatu masalah sudah menjadi ijma‘ beliau selalu membantahnya, sehingga orang-orang menuduh beliau sebagai orang yang mengingkari adanya ijma‘. Padahal maksud beliau supaya orang lebih berhati-hati mengatakan sesuatu sudah terjadi ijma‘. Karena pada masa itu banyak sekali masalah yang dianggap orang sudah terjadi ijma‘, padahal tidak.
Tentang pendapat-pendapat sahabat Rasulullah Saw sebagai sumber istinbath yang keempat, sebagian ulama yang bermazhab asy-Syafi‘i menyebutkan di dalam kitab-kitab ushul fiqh karangan mereka bahwa Imam asy-Syafi‘i menjadikan pendapat-pendapat sahabat sebagai sumber istinbath dalam mazhabnya yang qadim (sebelum pergi ke Mesir) dan tidak menjadikan sebagai sumber istinbath di dalam mazhabnya yang jadid (setelah pergi ke Mesir). Mazhab beliau yang qadim (lama) adalah fatwa-fatwa Imam asy-Syafi‘i yang diriwayatkan oleh murid beliau bernama Abu Ali al-Hasan al-Sahab al-Za’farani dalam kitab-kitabnya di Iraq. Adapun mazhabnya yang jadid (baru) adalah fatwa-fatwa beliau yang diriwayatkan oleh murid beliau bernama Ar-Rabi‘ bin Sulaiman al-Muradi dalam kitab-kitabnya di Mesir.
Namun, di dalam kitab beliau Ar-Risalah riwayat Ar-Rabi‘ bin Sulaiman al-Muradi disebutkan bahwa Imam asy-Syafi‘i mengambil fatwa-fatwa sahabat sebagai sumber istinbath. Dengan demikian, Imam asy-Syafi‘i tetap mengambil fatwa sahabat di dalam fatwa jadidnya, sebagaimana dalam fatwa qadim.
Imam asy-Syafi‘i membagi fatwa sahabat kepada tiga macam:
a. Fatwa-fatwa yang sudah ijma‘. Contohnya, ijma‘ para sahabat untuk membiarkan lahan tak bertuan yang baru dibuka untuk dimiliki selamanya oleh orang yang bercocok tanam di lahan tersebut. Ini menjadi sumber istinbath karena sudah ijma‘ para sahabat Nabi Saw.
b. Hanya ada satu fatwa di kalangan sahabat dan tidak ada fatwa lain, baik yang bertentangan maupun yang disepakati. Beliau juga mengambil fatwa seperti ini sebagai sumber istinbath.
c. Fatwa-fatwa yang diperselisihkan di kalangan sahabat. Pada fatwa model seperti ini beliau sama seperti Imam Abu Hanifah, yakni beliau memilih salah satu yang sangat dekat kepada al-Qur’an dan al-Hadits atau lebih dekat kepada ijma‘ atau yang dikuatkan oleh qiyas yang lebih kuat.
Dari keempat sumber istinbath Imam asy-Syafi‘i yang telah disebutkan di atas, posisi beliau hanyalah sebagai “pengutip” saja, bukan sebagai mujtahid yang sesungguhnya. Beliau hanya berijtihad untuk menemukan makna-makna lain yang terkandung dan tersembunyi di dalam nash al-Qur’an dan al-Hadits yang ketetapan hukumnya sudah jelas tertulis atau berijtihad untuk menemukan fatwa yang paling kuat di antara fatwa-fatwa sahabat. Sebagai contoh, kewajiban shalat beliau kutip dari al-Qur’an dan tatacara shalat beliau kutip dari al-Hadits. Begitu juga dengan kewajiban zakat, beliau kutip dari al-Qur’an sedangkan jenis-jenis harta yang wajib dizakati dan syarat-syarat wajibnya beliau kutip dari al-Hadits, dan lain-lain.
Adapun qiyas sebagai sumber istinbath yang kelima, posisi Imam asy-Syafi‘i benar-benar teruji sebagai seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwa-fatwa beliau tentang ketetapan hukum suatu kasus. Oleh karena demikian, beliau menetapkan bahwa qiyas adalah ijtihad. Qiyas menurut beliau dan juga ulama-ulama ushul fiqh lain adalah menghubungkan ketetapan hukum suatu kasus yang tidak ada nash al-Qur’an dan al-Hadits kepada kasus lain yang ada ketetapan nashnya karena ‘illah (alasan)nya sama. Dengan demikian, Imam asy-Syafi‘i menetapkan qiyas sebagai sumber hukum Islam untuk mengenal makna yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits pada kasus-kasus yang tidak ada nash secara sharih (jelas).

  1. Ciri dan Contoh-Contoh Ijtihad Imam Asy-Syafi‘I
    Ketika Imam asy-Syafi‘i berijtihad terdapat ciri khusus yang berbeda dengan Imam mazhab yang lain. Adapun contoh-contoh ijtihad beliau antara qaul Qadim dan qaul Jadid adalah:
    a. Pendapat jadid: Air musta‘mal (yang telah dipakai) pada bersuci yang fardhu tiada suci menyucikan. Alasannya, karena para sahabat tidak pernah mengumpulkan air tersebut yang sedikit dalam perjalanan mereka untuk bersuci selanjutnya.
    b. Pendapat qadim: Air tersebut suci menyucikan karena sifatnya yang disebutkan dalam al-Qur’an dengan lafal طهورا yang dipahami kepada berulang-ulang suci, seperti lafal ضروب dipakai kepada berulang-ulang pukulan.
    Namun, pendapat ini beliau jawab sendiri ketika beliau telah menemukan pendapatnya yang baru, yakni yang berulang-ulang suci selama belum terpisah dari anggota yang sedang dipakai.
    a. Pendapat jadid: batal wudhuk dengan sebab menyentuh halqah (lingkaran) duburnya dengan perut telapak tangannya. Alasannya, karena diqiyas kepada qubul (alat vital) dengan persamaan ‘illat batal wudhuk dengan sebab keluar sesuatu dari keduanya.
    b. Pendapat qadim: tidak batal wudhuk dengan sebab menyentuh hal tersebut. Alasannya, karena ditinjau kepada lahiriah hadith “Barangsiapa yang menyentuh dzakar atau farjnya (kemaluan) dengan telapak tangannya, maka hendaklah ia berwudhuk”. Jadi, yang disebutkan di sini hanya dzakar atau farjnya saja, tidak disebutkan halqah (gelang/lingkaran) dubur.
    a. Pendapat jadid: waktu shalat Maghrib kadar masa berwudhuk (bersuci dari hadats dan najis), menutup aurat, azan, iqamah, dan shalat lima raka‘at (tiga raka‘at fardhu dan dua raka‘at sunat ba‘diyah). Alasannya, karena Malaikat Jibril melaksanakan shalat bersama Rasulullah (untuk mengajarkan beliau) selama dua hari dalam waktu yang sama. Ini berbeda dengan waktu shalat yang lain, yang dilakukan olehnya dalam waktu yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa waktu Maghrib hanya sebatas kadar waktu tersebut.
    b. Pendapat qadim: waktunya hingga hilang syafaq (garis awan yang melintang di langit sebelah timur) yang merah. Khusus pada masalah ini dan beberapa fatwa lainnya, pendapat qadim yang kuat. Adapun fatwa-fatwa lainnya, yang kuat adalah pendapat jadid, sedangkan pendapat qadim sudah kadaluarsa (habis masa berlakunya). Menurut Imam an-Nawawi di dalam kitabnya “Syarah Muhadzdzab”, bahkan pendapat ini tergolong jadid pula karena Imam asy-Syafi‘i di dalam kitab al-Imla`, sebagian dari kitab-kitab kumpulan pendapat jadid menyebutkan pendapat ini disertai dengan dalil beberapa hadith, di antaranya “Waktu Maghrib selama belum hilang syafaq yang merah. (HR. Muslim)”.

Bedanya Istinbath Imam Asy-Syafi‘I Dengan Imam Mazhab Yang Lain
Antara Imam asy-Syafi‘i dengan imam-imam mazhab terdapat perbedaan dalam beristinbath. Dasar terjadinya perbedaan, yakni pada metode yang dipakai oleh masing-masing imam, sehingga menyebabkan hasil yang diperoleh pun berbeda. Perbedaan metode yang dimaksudkan di sini, yaitu sumber istinbath yang berbeda Mereka sepakat menggunakan al-Qur’an, al-Hadits, ijma‘ ulama, pendapat-pendapat sahabat dan qiyas, tetapi mereka berbeda pada sumber-sumber lain. Imam asy-Syafi‘i tidak memakai istihsan sebagai sumber istinbath, bahkan beliau sangat menentangnya lewat pernyataan beliau: “Barangsiapa yang memakai istihsan sebagai sumber hukum, maka ia telah membuat syari‘at sendiri”. Karena makna istihsan menurut beliau adalah menyebutkan suatu hukum secara subjektif, tanpa dalil yang mengikatnya tapi menurut akal pikiran saja. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang memakai istihsan sebagai sumber istinbath.
Beliau juga tidak memakai perbuatan penduduk Madinah sebagai sumber istinbath. Hal ini berbeda dengan guru beliau, yakni Imam Malik yang memakai perbuatan penduduk Madinah yang sudah menjadi ijma‘ di kalangan orang-orang saleh dari mereka. Beliau beralasan bahwa penduduk Madinah tidak pernah ada kesepakatan (ijma‘) di kalangan mereka tentang suatu perkara, kecuali hal itu sudah menjadi ijma‘ di kalangan dunia Islam pada umumnya. Begitu juga dengan maslahah mursalah dan saddudz dzari‘ah, beliau tidak menjadikan keduanya sebagai sumber istinbath. Ini berbeda pula dengan guru beliau Imam Malik.
Selanjutnya, beliau tidak memakai al-Hadits mursal (al-Hadits yang tidak disebutkan sahabat sebagai perawinya dalam silsilah sanad) dan al-Hadits dhaif yang bukan maudhu‘ (palsu) sebagai sumber istinbath. Ini berbeda dengan murid beliau Imam Ahmad, yang menjadikan keduanya sebagai sumber istinbath.
Adapun istishab dan ‘urf, beliau tidak menjadikan keduanya sebagai sumber istinbath secara mandiri, walaupun kadang-kadang keduanya beliau pakai dalam menetapkan hukum. Keduanya beliau masukkan ke dalam kaidah-kaidah fiqhiyyah. Ini berbeda dengan Abu Hanifah, yang menjadikan keduanya sebagai sumber istinbath yang mandiri.

Murid dan Pengembang Mazhab Sesudah Imam Asy-Syafi‘I Serta Buku (Kitab) Utama Mazhab
Imam asy-Syafi’i mempunyai banyak murid yang selalu setia menimba ilmu darinya pada ketiga fase intelektualnya. Baik pada saat menetap di kota suci Mekah, di Baghdad, maupun di Mesir.
Adapun murid-murid beliau di Mekah adalah :

  1. Abubakar Al-Humaidi (wafat pada tahun 219 H), beliau adalah seorang ulama fiqh sekaligus ulama hadith yang thiqah (terpercaya) dan berstatus hafiz dalam ilmu hadith. Beliau ikut melakukan perjalanan bersama Imam asy-Syafi’i ke Mesir, kemudian kembali lagi ke Mekah setelah asy-Syafi’i wafat.
  2. Abu Ishaq Ibrahim Bin Muhammad Al-‘Abbasi (wafat pada tahun 237 H), beliau adalah seorang ulama hadith yang telah sampai kepada derajat hafiz dalam ilmu hadith.
  3. Abu al-Walid Musa Bin Abu al-Jarud, beliau adalah orang yang meriwayatkan kitab al-Amali dari Imam asy-Syafi’i. Kemudian menjadi penyebar mazhab Syafi’i di Mekah.
  4. Abdul Aziz Bin Yahya al-Kanani, beliau adalah orang yang menyusun kitab al-Hamidah. Sebelum berguru pada Imam asy-Syafi’i beliau pernah belajar hadith pada Sufyan Bin ‘Uyainah.

Adapun murid-murid asy-Syafi’i di Baghdad banyak sekali, tetapi yang menjadi penyambung lidah utama dari beliau adalah :

  1. Abu Sur al-Kalabi (wafat tahun 240 H), beliau adalah penduduk asli Baghdad yang pada mulanya belajar dan menganut mazhab para ulama Irak dari murid-murid Abu Hanifah, kemudian setelah Imam asy-Syafi’i datang ke Baghdad, beliau belajar dan berguru kepada asy-Syafi’i.
  2. Abu Ali al-Hasan al-Sahab al-Za’farani (wafat tahun 260 H), beliau berasal dari dusun Za’faran, lalu pindah dan menetap di Baghdad. Menurut riwayat, al-Za’farani merupakan satu-satunya ulama yang terkenal menetapkan mazhab qadim asy-Syafi’i.
  3. Husin Bin Ali al-Karabisi (wafat tahun 240 H), beliau ini mulanya belajar ilmu fiqh kepada para ulama Baghdad. Setelah asy-Syafi’i tiba di Baghdad, maka beliau belajar kepada asy-Syafi’i.
  4. Ahmad Bin Hanbal (wafat tahun 240 H), beliau termasuk salah seorang murid yang erat hubungannya dengan asy-Syafi’i, yang kemudian menjadi pembangun dan pengembang mazhab Hanbali.
  5. Ishaq Bin Rahawaih (wafat tahun 277 H), beliau adalah seorang ulama dalam bidang ilmu hadith hingga mencapai derajat hafiz.
  6. Al-Rabi’ Bin Sulaiman al-Muradi (wafat tahun 270 H), beliau merupakan orang yang dipercayakan oleh asy-Syafi’i untuk mengimla`kan fatwa-fatwanya, beliau juga menetap di Mesir saat asy-Syafi’i pindah ke Mesir.
    Di saat asy-Syafi’i menetap di Mesir, murid-murid beliau adalah :
  7. Al-Rabi’ Bin Sulaiman al-Muradi (wafat tahun 270 H) yang datang bersama asy-Syafi’i dari Baghdad.
  8. Abdullah Bin Zubir al-Humaidi (wafat tahun 219 H) yang juga datang bersama asy-Syafi’i dari Baghdad.
  9. Abu Ya’kub Yusuf Bin Yahya al-Buwaithi (wafat tahun 232 H), beliau adalah seorang ulama yang ditunjuk langsung oleh Imam asy-Syafi’i untuk menjadi penggantinya di majelis pengajarannya.
  10. Abu Ibrahim Ismail Bin Yahya al-Muzani (wafat tahun 264 H), beliau adalah seorang faqih yang berpengetahuan sangat luas dan mendalam, asy-Syafi’i pernah berkata “Al-Muzani adalah pembela Mazhabku”.
  11. Al-Rabi’ Bin Sulaiman al-Jaizi (wafat tahun 256 H), beliau adalah seorang murid asy-Syafi’i yang terkenal dengan kesalihannya.
  12. Harmalah Bin Yahya al-Tujibi (wafat tahun 266 H), beliau merupakan murid asy-Syafi’i yang mempunyai kharisma yang cukup besar.
  13. Yunus Bin Abdil A’la (wafat tahun 264 H), beliau pada awalnya belajar ilmu hadith kepada Sufyan Bin ‘Uyainah dan Ibnu Wahbin, kemudian belajar ilmu fiqh secara mendalam kepada asy-Syafi’i.
  14. Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Hakam (wafat tahun 268 H), beliau adalah salah seorang ulama yang mendengar langsung kitab-kitab yang dibacakan oleh asy-Syafi’i.
  15. Ahmad Bin Sitti bin al-Wazir al-Misri (wafat tahun 251 H), pada awalnya beliau belajar kepada Syu’aib Bin Layts dan Asbagh Bin al-Farj. Setelah Imam asy-Syafi’i menetap di Mesir beliau berguru ilmu fiqh kepada asy-Syafi’i secara mendalam.
    Sebagaimana para pendahulunya, Imam asy-Syafi’i juga meninggalkan kitab-kitab yang bermutu tinggi dan sangat berguna bagi dunia Islam. Kitab-kitab karya asy-Syafi’i dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian, yaitu yang ditulis oleh asy-Syafi’i sendiri dan yang diimla`kan kepada para muridnya.

Adapun kitab-kitab utama yang dinisbahkan kepada asy-Syafi’i sebagai berikut :

  1. Ar-Risalah
    Sebahagian ahli sejarah mengatakan bahwa asy-Syafi’i menyusun kitab ini dua kali, kali pertama disusunnya di Mekah atas permintaan seorang ulama muda Mekah yang bernama Abdurrahman Bin Mahdi, beliau memohon kepada asy-Syafi’i agar menyusun satu kitab yang menerangkan tentang makna al-Qur’an, hal-hal yang berkaitan dengan dalil-dalil hukum, dan permasalahan nasikh dan mansukh. Menurut Ahmad Muhammad Syakir, asy-Syafi’i pertama kali menyusun ar-Risalah di Baghdad, karena pada saat itu Abdurrahman Bin Mahdi sedang berada di Baghdad. ar-Risalah yang disusun oleh asy-Syafi’i di Baghdad dinamakan ar-Risalah al-Qadimah. Pada ketika asy-Syafi’i menetap di Mesir, beliau merevisi kandungan kitab ar-Risalah dan memperbaikinya kembali yang kemudian dinamakan ar-Risalah al-Jadidah. Seiring berjalannya waktu, kitab ar-Risalah versi Baghdad telah hilang dari peredaran. Sehingga yang ada di tangan ilmuan dan pembaca sekarang hanyalah ar-Risalah versi Mesir.
    Kitab ini khusus membicarakan tentang metode istinbath hukum dari al-Qur’an dan al-Hadits, dan cara-cara beristidlal dari ijma’ dan qiyas. Perawinya adalah al-Rabi’ Bin Sulaiman al-Muradi. Dengan demikian, metode ijtihad asy-Syafi’i yang tertuang dalam kitab ar-Risalah adalah metode ijtihad untuk membentuk qawl jadid.
  2. Al-Umm
    Kitab ini berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imam asy-Syafi’i dalam ar-Risalah. Jumlah masalah dalam kitab al-Umm lebih dari 140 bab. Kitab ar-Risalah dan kitab al-Umm diriwayatkan oleh Ar-Rabi‘ bin Sulaiman al-Maradi. Kitab al-Umm cetakan terakhir yang terdiri dari 7 jilid telah dimasukkan ke dalamnya beberapa karangan Imam asy-Syafi‘i yang lain, seperti:
    a. Kitab Jami‘ul ‘Ilmi, berisi pembelaan beliau terhadap sunnah Nabi Muhammad Saw.
    b. Kitab Ibthaalul Istihsan, berisi bantahan beliau terhadap penggunaan istihsan sebagai sumber hukum.
    c. Kitab Ar-Raddu ‘ala Muhammad bin Hasan, berisi bantahan beliau terhadap pendapat Muhammad bin Hasan yang menjadikan pendapat ulama Madinah sebagai sumber hukum.
    d. Kitab Sijaarul Auza‘i, berisi pembelaan beliau terhadap pembahasan tentang Imam Auza‘i.
  3. Kitab al-Musnad asy-Syafi’i, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
  4. Kitab Ikhtilaaf al-Hadits, penjelasan beliau tentang hadits-hadits Nabi.

PENUTUP
Setelah membahas sesuai dengan kemampuan penulis, akhirnya penulis ingin mengambil kesimpulan bahwa prinsip-prinsip Imam asy-Syafi‘i, hasil ijtihad beliau tidak mutlak harus benar, sehingga beliau memberi kebebasan bagi pengikutnya untuk memilih pendapat siapa pun yang dianggap cocok dan beliau sangat menghormati perbedaan pendapat dengan imam-imam mazhab yang lain. Dalam beristinbath, al-Qur’an lebih utama jika terdapat kontradiktif dengan al-Hadits. Dan al-Hadits ahad yang kualitasnya shahih beliau gunakan sebagai sumber istinbath.
Metode istinbath yang beliau gunakan adalah pertama kali beliau mencari ke dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Jika dalam keduanya tidak ada, maka beliau mencari ijma‘. Bila ijma‘ tidak ada, maka beliau mencari pendapat-pendapat sahabat. Jika itu pun tidak ada, maka barulah beliau melakukan qiyas dengan berijtihad.
Adapun ciri dan contoh-contoh ijtihad beliau secara umum banyak sekali memberikan kemudahan dalam beramal bagi pengikutnya, sehingga mayoritas penduduk muslim se-dunia menjadi pengikut mazhab beliau. Terdapat perbedaan antara beliau dengan imam-imam mujtahid lainnya dalam beristinbath, yakni berbeda pada metode memakai sumbernya, sehingga berbeda pula hasilnya.
Murid-murid beliau tersebar di Mekkah, Baghdad dan Mesir karena ketiga wilayah tersebut beliau jadikan sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan yang beliau miliki. Di antara mereka ada yang hanya sebagai murid saja dan ada juga yang menjadi pengembang mazhab beliau ke luar wilayah-wilayah tersebut, sehingga mazhab beliau akhirnya tersebar luas ke seluruh dunia. Buku (kitab) yang paling utama beliau, dalam bidang fiqh kitab al-Umm dan dalam bidang ushul fiqh kitab ar-Risalah.

Sort:  

Congratulations @yusfriadi: this post has been upvoted by @minnowhelpme!!
This is a free upvote bot, part of the project called @steemrepo , made for you by the witness @yanosh01.
Thanks for being here!!

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by yusfriadi from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.