Ada Tiga dianggap Ada Satu
Kalimat-kalimat Tuhan sesungguhnya hadir dalam tiga versi. Pertama, Kalimat-kalimat tuhan yang terhampar di alam semesta. Kalimat-kalimat ini berupa gambaran aturan yang berlaku di alam. Gambaran ini mencakup segala dinamika yang terjadi di dalamnya. Tidak hanya terbatas pada fisik alam dan fenomena alam saja. Kehadiran kita di alam beserta peristiwa-peristiwa yang ditimbulkan juga merupakan rangkaian kalimat-kalimat Tuhan yang terhampar di alam. Aturan ekosistem dunia hewan dan tumbuhan serta hubungannya dengan fisik alam merupakan kalimat-kalimat tuhan yang ada di alam. Kedua, kalimat-kalimat tuhan yang ada pada diri kita sendiri. Kalimat-kalimat tuhan yang satu ini saya rasa terbilang unik dan rumit. Kalimat-kalimat ini menggambarkan individu manusia. Secara garis besar, gambaran ini mencakup kecenderungan manusia yang meliputi aspek jiwa, pikiran, akal, perasaan, emosi, nafsu, dan koordinat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Aspek-aspek itu semua saling berkaitan dan menciptakan konstelasi beserta dinamika yang dihasilkan dan semua terangkum dalam kalimat-kalimat tuhan yang ada pada diri kita. Ketiga, kalimat-kalimat tuhan yang terangkum ke dalam mushof. Mushof sendiri merupakan kumpulan, koleksi atau kompilasi naskah yang disajikan dalam bentuk buku. Naskah di sini merupakan kalimat-kalimat dari tuhan kepada utusannya. Pada dasarnya, kalimat-kalimat tuhan yang jenis ini terpencar dalam berbagai bentuk dan perlakuan. Ada yang dicatat secara tulisan dan ada yang diingat atau berupa lisan. Seiring berjalannya waktu, mulai dilakukan pengumpulan, pengelompokan, dan dibukukan secara rapi dalam bentuk mushof. Kalimat-kalimat tuhan dalam versi ini umum dikenal sebagai firman tuhan. Sebenarnya dua jenis kalimat-kalimat Tuhan yang lain yang sudah saya jelaskan sebelumnya merupakan firman Tuhan. Dalam versi mushof, kalimat-kalimat tuhan disajikan menggunakan bahasa manusia. Ambil saja contoh, mushof Al-Quran yang umum di jumpai di umat Islam merupakan kompilasi dari isi Al-Quran yang disajikan dalam bahasa Arab, dan secara umum mushof Al-Quran dikenal sebagai kitab suci Al-Quran. Dalam perkembangan teknologi saat ini, isi Al-Quran maupun firman-firman Tuhan sejenis lainnya sudah dapat di simpan dalam bentuk digital. Bisa dikatakan, segala alat yang mampu menyimpan informasi firman-firman Tuhan seperti halnya mushof berbentuk buku maka mungkin dapat dikatakan mushof juga sepertinya.
Setiap manusia memiliki kemampuan yang beragam dalam membaca masing-masing versi. Ada yang mahir membaca semua versi, ada yang mampu membaca dua versi, ada yang mampu membaca satu versi saja, bahkan ada yang tidak sanggup membaca semua versi. Masing-masing versi menciptakan kecenderungan motiv, genre, dan tujuan. Motiv, genre, dan tujuannya pun beragam dan secara umum terdapat tiga kecenderungan pertama yaitu genre tujuan ilmu pengetahuan, kecenderungan kedua yaitu genre tujuan operasional ritual saja, dan kecenderungan ketiga yaitu genre mengenal diri. Kecenderungan pertama, kerap dilakukan oleh orang-orang yang kagum dengan kebesaran tuhan yang terhampar di alam. Mereka banyak melakukan riset ilmiah di ranah berbagai disiplin ilmu pengetahuan secara sistematis dan terpadu. Upaya-upaya yang dilakukan mereka banyak melahirkan inovasi-inovasi yang cukup mempengaruhi umat manusia di zaman ini. Ada kalanya orang-orang kecenderungan kedua tidak pernah sadar atas campur tangan tuhan dalam hasil risetnya, mungkin saja mereka malu dengan teman-temannya jika mencantumkan eksistensi tuhan di setiap riset-risetnya. Kecenderungan kedua, sangat banyak dijumpai di wilayah-wilayah operasional ritual saja. Jarang terdapat orang-orang yang berangkat dari kecenderungan kedua merambah ke motiv dan genre ilmu pengetahuan. Kebanyakan dari mereka stagnan di motiv, genre, dan tujuan operasional ritual saja. Kecenderungan ketiga, orang-orang yang kerap membaca versi kedua cenderung menyadari siapa dirinya. Susah diidentifikasi orang-orang yang mampu membaca versi kedua. Berbeda dengan orang-orang yang sering memakai versi selain yang versi kedua, versi pertama dan versi ketiga tampak terlihat secara prilaku dengan kesibukannya, misal sebagai ilmuan, peneliti, guru agama,dan guru baca kitab. Mungkin saja setiap orang yang mampu membaca versi kedua memiliki atau berpotensi membaca versi pertama dan ketiga. Namun yang terpenting dari kemampuan manusia dalam membaca masing-masing versi adalah pencapaian nilai kemesraan dengan tuhannya plus nilai kemanfaatan yang dihasilkan bagi sesama dan alam.
Pada dasarnya semua versi membutuhkan proses mengaji. Proses mengaji tidak hanya terbatas di versi ketiga, hanya saja kebanyakan orang beranggapan bahwa mengaji milik versi ketiga. Proses mengaji tidak sekedar mengkaji, lebih dari itu terdapat usaha mematrikan informasi nilai, konsep, dan pemahaman dari obyek yang dikajinya. Di masyarakat Jawa, istilah mengaji / ngaji kerap dijadikan sebagai idiom "ngasah aji". "Ngasah aji" sendiri memilik konsep upgrade keistimewaan jati diri individu artinya individu tidak sekedar tahu saja atas suatu hal, tapi hal itu perlu dipelajari dan diamalkan secara terus-menerus dan berkelanjutan hingga individu yang bersangkutan mendapatkan keutamaan atau aji karena memiliki keistimewaan yang ditawarkan oleh hal itu. Lebih lanjut lagi, ngaji telah dilakukan secara utuh ketika ngaji menjadi gambaran triger perwujudan falosofi Jawa "Ngilmu iku kelakone nganti laku" yaitu ngaji dilakukan secara utuh ketika hal yang dipelajarinya memberikan lecutan kepada yang bersangkutan untuk selalu memanfaatkan atau memberikan manfaat atas penguasaan hal yang dipelajarinya melalu kesungguhan belajar, perenungan, dan kemauan meng-explore hal itu. Kesadaran ngaji perlu dilakukan di semua versi yang ada. Ngaji bukan hanya sekedar bentuk atau bukti pasif individu telah mendalami hal yang dipelajarinya sebagai mana halnya bukti fisik atau gelar berupa ijasah, sertifikat, dan title namun lebih dari itu yaitu berupa gambaran keberlanjutan kesungguhan belajar, perenungan, dan kemauan meng-explore atas hal yang dipelajarinya.
Kebanyakan di antara kita tidak sanggup menyingkornkan semua versi yang ada. Integritas yang terjadi antar versi tidak terasa. Kerap dijumpai situasi penyekatan atar masing-masing versi. Lebih parah lagi terdapat jurang pemisah yang tajam atar versi seolah-olah kita mencari korelasi antara alat dapur dengan jenis kendaraan tentunya sukar mencari korelasi di antara alat dapur dan jenis kendaraan. Sadar tidak sadar, konstelasi aturan dan sistem yang menyertainya serta pandangan yang ada telah men-setup pola pikir sebagai besar orang menjadi arena pertempuran versi-versi yang ada. Ada yang terpaku di versi tiga, enggan membaca versi pertama, dan takut membaca versi kedua. Ada yang serius membaca versi pertama, lupa adanya versi tiga, dan mengabaikan versi kedua, dan susunan metrik versi-versi lainnya.
Kita boleh saja fokus pada salah satu versi, tapi setidaknya menengok versi yang lainnya. Tidak masalah kita menjadi penggiat salah satu versi saja. Kemampuan setiap individu membaca setiap versi berbeda-beda dan tingkat kualitas kemampuan bacanya ditentukan oleh perjalanan hidup, kapasitas individu, dan arah kecenderungan individu yang bersangkutan kepada versi-versi yang ada. Pada intinya versi pertama, kedua, dan ketiga merupakan pendaran-pendaran ilmu, pengetahuan, kebijaksanaan, dan hikmah sebagai sarana mahluk agar menyadari eksistensi Tuhan untuk menuju kepadaNya.
Sayangnya, sarana itu tidak secara mulus membawa manusia menyadari eksistensi Tuhan agar menuju kepadaNya. Manusia terlalu lemah akan derita lapar terhadap harta, jabatan, nafsu sahwatnya, dan yang terbaru di zaman ini manusia menderita kelaparan eksistensi. Kondisi lapar seperti itulah yang menyebabkan manusia lesu untuk terus bergerak lurus menuju tuhannya. Kondisi lapar inilah merupakan reaksi berantai yang menjalar kepada kecenderungan prilaku manusia tidak mampu mensinkronkan, mengintegrasikan, dan mengkorelasikan semua versi yang ada. Mereka ahmaq karena terlalu terpaku pada versi Ketiga atau Pertama dan tidak mampu membaca versi kedua yang berujung haus pengakuan, lemah terhadap ketidak adilan, agresif, alih-alih menjadi pejuang nilai kebaikan malah terjebak menjadi robot pendukung teori/mahzab/idiologi. Suka debat secara kejam dan memalukan di sekolahan-sekolahannya. Sekolahan mereka semangat mengajari peserta didiknya dalam membaca satu versi saja, tapi mereka tidak mengajari cara berdialog dengan baik dalam suasana musyawarah sesungguhan kepada peserta didiknya. Mereka tekun membaca satu versi saja dan rajin mencari puzzle-puzzle ilmu pengetahuan, tapi mereka tidak mampu merangkai puzzle-puzzle itu dengan sesama mereka, dan yang terjadi selalu menciptakan kebingungan, kekacauan dan kerusakan. Sesungguhnya mereka semata-mata hanya menggunakan sarana itu untuk mencari celah mendapatkan harta, jabatan, kepuasan nafsu sahwat, dan eksistensi.
Hanya dengan membiasakan diri ini mensinkornkan, mengintegrasikan, dan ngaji secarah utuh seluruh versi sesuai kemampuan dan berpuasa menahan lapar, serta minum lima jenis multivitamin untuk mencegah potensi penyakit yang mungkin muncul, saya rasa kita akan terus bertahan berjalan menuju tuhan tanpa terkecoh makanan murahan.
Salut dengan pemikirannya,Namun yang terpenting dari kemampuan manusia dalam membaca masing-masing versi adalah pencapaian nilai kemesraan dengan tuhannya plus nilai kemanfaatan yang dihasilkan bagi sesama dan alam. moga selalu Istiqomah, salam sukses moga menjadi buku karya anda.
Iya pak, semoga kelak muncul generasi yang mampu menata peradaban ini agar peradaban itu diridhoi tuhan. Minimal tidak membuat tuhan marah.
Pak nanya y pak, apa saja pak 5 jenis multivitamin itu pak?
ya itu pak, baca kalimat tuhan yang diwahyukan ke utusannya, sujut ke tuhan tengah malam, berinteraksi dengan orang baik dan bijaksana serta memiliki ilmu hikma, berpuasa secara penuh (tidak sekedar haus dan lapar, tapi menahan segala keinginan dan menjalani yang tidak kita inginkan dalam konteks kebaikan dan kebijaksanaan), dan menyadari terus-menerus kehadiran tuhan. gitu pak.