EKA KURNIAWAN MENGGALI SUMUR
Sependek itu. Iya. Sumur. Demikian judulnya. Tapi seorang Eka Kurniawan jelas sudah menimbang setiap kata dan peristiwa yang hendak dimasukkan ke dalam cerita. Ide yang kuat, eksekusi yang ciamik. Dan tentu saja, khas Eka! Yang bikin kamu, iya kamu, yang baca tulisan-tulisan dia, pasti geleng-geleng kepala lalu bilang, "Sial! Bagaimana sih ide sederhana bisa jadi menggigit begini?" Lalu kamu akan mengomeli kemalasanmu sendiri. Lalu kamu akan baca ulang karya Eka Kurniawan lainnya, atau mencari tahu dan mempelajari betul bagaimana dia bercerita. Atau kau justru akan terus bersumpah mampu menuliskan kisah yang sama tapi laptop atau komputermu tidak kaunyalakan. Iya, alasan memang selalu dapat dicari, bukan?
Sama seperti Toyib dan Siti, kedua tokoh dalam cerita ini yang saling mencintai, tapi semesta seolah selalu menemukan banyak alasan hingga cinta mereka tidak pernah bisa bersatu. Bahkan ketika keduanya tahu perasaan masing-masing. Pengakuan di depan sumur yang nyaris kering. Sumber air yang bertahun kemudian menjadi bencana setelah puluhan tahun sebelumnya kedua ayah mereka berebut sumber air pula.
Lepas dari kisah yang diolah dan dikemas dengan apik, saya tertarik pada trik pemasarannya. Bagaimana buku saku (Eka Kurniawan menamainya sebagai "chapbook", seperti istilah di luar negeri sana) ini memiliki nilai jual yang "tinggi" selain karena fans Eka sudah pasti jumlahnya ribuan. Dengan jumlah cetakan terbatas dan diiming-imingi bahwa kelak buku ini akan menjadi barang langka yang dicari orang, seperti yang tertulis di pembatas bukunya.
Hanya satu cerita. Betul, satu cerita berjudul "Sumur" itu saja. Tak ada yang lain. Tapi penerbit cukup jeli menangkap peluang. Dengan pertimbangan jumlah fans garis keras, dan desain cover yang menarik, buku ini berhasil di sisi penjualan. Di sisi lain, ceritanya sudah jelas memberi kesan tersendiri pada pembacanya.
Sementara itu, kau diam-diam iri. Lalu buka laptop, meniatkan diri untuk mulai menulis. Lalu habis baterai. Lalu kau menemukan alasan lain lagi, misalnya mood yang menguap. Padahal baterai ponselmu masih 95% selepas kau isi ulang dayanya.
Omong-omong, demi menamatkan cerpen ini, saya hanya perlu menghabiskan ¼ kemasan kuaci biji matahari. Pentingkah informasi ini? Bisa ya bisa tidak.