Jawaban Alina (Jawaban Sepotong Senja Untuk Pacarku)
JAWABAN
ALINA (JAWABAN SEPOTONG SENJA UNTUK PACARKU)
Karya: Seno Gumira
Karya: Seno Gumira
Sukab
yang baik.
Senja
yang kau kirimkan sudah kuterima, kukira sama lengkap seperti ketika engkau
memotongnya di langit yang kemerah-merahan itu, lengkap dengan bau laut, desir
angin dan suara hempasan ombak yang memecah pantai. Ada juga kepak
burung-burung, lambaian pohon-pohon nyiur dalam kekelaman, sementara di
kejauhan perahu layar merayapi cakrawala dan melintasi matahari yang sedang
terbenam. Aku pun tahu Sukab, senja yang paling keemas-emasan sekalipun hanya
akan berakhir dalam keremangan menyedihkan, ketika segala makhluk dan benda
menjadi siluet, lantas menyatu dalam kegelapan. Kita sama-sama tahu, keindahan
senja itu, kepastiannya untuk selesai dan menjadi malam dengan kejam. Manusia
memburu senja kemana-mana, tapi dunia ini fana Sukab, seperti senja. Kehidupan
mungkin saja memancara gilang-gemilang, tetapi ia berubah dengan pasti. Waktu
mengubah segalanya tanpa sisa, menjadi kehitaman yang membentang sepanjang pantai.
Hitam, sunyi dan kelam.
Rupa-rupanya
dengan cara seperti itulah dunia mesti berakhir. Senja yang engkau kirimkan
telah menimbulkan bencana tak terbayangkan. Apakah engkau tahu suratmu itu baru
sampai sepuluh tahun kemudian? Ah, engkau tidak akan tahu Sukab, seperti juga
engkau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan senja yang kau kirimkan
ini. Senja paling taik kucing dalam hidupku Sukab, senja sialan yang paling tidak
mungkin diharapkan manusia.
Senja
ini baru tiba setelah sepuluh tahun, karena tukang pos yang jahil itu rupanya
penasaran dengan cahaya merah kemas-emasan yang memancara dari amplop itu
Sukab. Cahaya itu telah mengganggunya semenjak ia menggenjot sepeda dari kantor
pos, berkilau-kilau dan memancar di tas surat yang tergantung di boncengan
sepeda, begitu rupa sehingga cuaca siang hari menjadi kacau, angin menderu dan
ombak terdengar menghempas-hempas, meskipun ia bersepeda mendaki bukit kapur.
Demikianlah, maka ia suatu ketika berhenti. Dari dalam tas itu terdengar
suara-suara, ia buka tas itu, dan ia melihat amplop Federal Express yang sudah
tidak putih lagi melainkan merah keemas-emasan Sukab, seperti senja dengan
matahari terbenam di balik cakrawala. Tukang pos itu mengambil amplop tersebut,
menimang-nimangnya, agak berat juga. Maklumlah bukankah amplop itu berisi senja
Sukab? Senja dengan matahari merah membara yang turun perlahan-lahan di balik
cakrawala, seperti semua senja yanga ada di balik kartu pos, tapi yang kamu
kirim itu bukan kartu pos Sukab, yang kau kirim itu senja di tepi pantai dengan
hempasan ombak, bau laut dan angina yang asin. Kamu pikir berapa ton beratnya
pasir di sepanjang pantai itu Sukab? Kira-kira sedikit dong! Masih lumayan
tukang pos itu kuat menggenjot sepedanya mendaki bukit kapur. Busyet. Kalo anak-anak
kecil tahu ada matahari terbenam di dalam amplop itu lantas bagaimana? Kau
tahulah sukab, anak-anak di daerah bukit kapur begini tidak punya mainan yang
aneh-aneh seperti di kota. Mereka hanya tahu kambing dan kerbau, ikan dan
belut, sungai dan jagung. Nasi saja jarang meraka sentuh. Anak-anak yang tidak
pernah tahu mainan robot berjalan dengan cahaya didadanya berkedip-kedip pasti
akan penasaran sekali dengan cahaya senja yang memancar berkilauan., berkilauan
merah dan keemas-emasan itu Sukab.
Mereka
tidak pernah melihatnya Sukab, karena tukang pos itulah yang telah mendahului
meraka. Ia menimang-nimang bungkusan berisi senja itu, mendengar-dengarkan, dan
akhirnya mengintip. Tentu saja didalam amplop itu dilihatnya senja Sukab. Senja
terindah yang paling mungkin berlangsung di muka bumi. Ia mengintip dan
terpesona. Ia buka amplop itu. Sebetulnya menurut kode etik profesi itu tidak
boleh. Tapi manusia manapun bisa melakukan kesalahan bukan? Ia buka terus
amplop itu, dan melihat senja dengan langit merah kemas-emasan didalam sana,
dan melihat mega-mega berpencar seperti perahu di danau, memebrikan perasaan
nyaman dan tenang. Siapa yang tidak suka merasa nyaman dan tenang di dunia
Sukab, di sebuah dunia yang miskin masih bersimbah darah pula? Maka jangan salahkan
tukang pos itu Sukab, jika ia kemudian menjadi begitu penasaran dan memasuki
senja yang terbentang. Tidak ada yang tahu apa nasib waktu(1). Ketika anak-anak
akhirnya berkerumun di sekita sepeda yang tergeletak itu, mereka hanya melihat
cahaya senja yang kemerah-merahan yang semburat membakar langit. Amplop itu
hanya bocor sedikit, tapi akiatnya sudah begitu rupa. Ini semua gara-gara kamu
Sukab.
Sukab
yang malang, bodoh dan tidak pakai otak,
Sepuluh
tahun lamanya tukang pos itu mengembara didalam amplop, kita tidak pernah tahu
apa yang diklakukanya disana. Apakah dia kawin, beranak pinak, dan berbahagia?
Atau selama itu dia hanya duduk saja memandang matahari terbenam dengan
perasaan kehilangan, sementara langit yang tadinya merah keemas-emasan perlahan-lahan
menggelap kebiru-biruan – aku juga tidak tahu bagaimana caranya menikmati senja
di dalam amplop Sukab, sebuah ruang yang sungguh-sungguh terdiri dari waktu.
Apakah waktu bisa diulang atau bagaimana, aku belum pernah memasuki senja di
dalam amplop. Atau, apakah didunia ini sebetulnya seperti didalam amplop ya
Sukab, dimana kita tidak tahu apa yang berada di luar diri kita, dimana kita
merasa hidup penuh dengan makna padahal yang menonton kita tertawa-tawa sambil
berkata, “Ah, kasihan betul manusia.” Apakah begitu Sukab, kamu yang suka
berkhayal barangkali tahu. Tapi aku tidak mau khayalan, aku tidak mau
kira-kira, meskipun usaha kira-kira itu begitu canggihnya sehingga disebut
ilmiah, aku mau tahu yang sebenarnya. Apakah ada yang menyaksikan kita sambil
tertawa-tawa? Kalau iya, apalah artinya hidup kita ini sukab? Tidakkkah nasib
manusia memang seperti ikan, yang diternakkan hanya unutk mengisi akuarium
diruang tamu seseorang yang barangkali juga tidak teralalu peduli kepada makna
kehidupan ikan-ikan itu?
Aku
tidak pernah tahu, tidak ada seorang pun yang tahu apa yang dialami tukang pos
itu didalam amplop, sampai ia keluar sepuluh tahun kemudian dengan wajah
bahagia. Ia sudah sepuluh tahun menghilang didalam amplop, tapi ia tidak tampak
betambah tua. Apakah waktu di dalam amplop tidak bergerak? Tepatnya apakah
senja didalam amplop tidak berhubungan dengan waktu? Apakah tidak ada waktu di
dalam amplop Federal Express itu? Hmm. Apakah aku harus peduli dengan semua ini
sukab, apakah aku harus peduli? Kamu betul betul merepotkan aku Sukab, dasar
lelaki tidak tahu diri.
Sukab
yang malang, goblok dan menyebalkan,
Kamu
tahu apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Tukang pos itu tiba di depan
rumah kami. Ya, rumah kami. Setelah sepuluh tahun banyak yang terjadi dong
Sukab, misalnya bahwa kemudian aku kawin, beranak pinak dan berbahagia. Jangan
kaget. Dari dulu aku juga tidak mencintai kamu Sukab. Dasar bego dikasih
isyarat tidak mau mendengarkan. Sekali lagi, aku tidak mencintai kamu. Kalau
toh aku kelihatan baik selama ini padamu, terus terang harus ku katakana
sekarang, sebetulnya aku cuma kasihan. Terus terang aku kasihan sama kamu
Sukab, mencintai begitu rupa tapi tidak tahu yang kamu cintai sebetulnya tidak
mencintai kamu. Makanya jangan terlalu banyak berkhayal Sukab, pakai otak dong
sedikit, hanya dengan begitu kamu akan selamat dari perasaan cintamu yang tolol
itu. Tapi bukan cinta taik kucing ini yang sebetulnya ingin ku ceritakan padamu
Sukab. Soal cinta ini sama sekali tidak penting.
Kamu
harus tahu apa akibat perbuatanmu ini Sukab, mengirim sepotong senja untuk
orang yang sama sekali tidak mencintai kamu. Tahu apa akibatnya? Begitu tukang
pos itu pulang, setelah menceritakan kenapa kiriman Federal Express bisa
terlambat sepuluh tahun, kubuka amplop berisi senja itu, dan terjadilah semua
ini. Apa kamu tidak tahu Sukab, senja itu meski cuma sepotong, sebetulnya juga
semesta yang utuh? Kamu kira matahari terbenam itu besarnya seperti apa?
Seperti apem? Kalau sepotong senja itu di dalam amplop terus sih tidak apa-apa,
tapi ini keluar dan lautnya membludag tak tertahankan lagi. Bagaimana aku tahu
amplop itu berisi senja Sukab? Aku bukan pengkhayal seperti kamu. Hidupku penuh
dengan perhitungan yang matang. Aku tahu betul untung rugi setiap perbuatan, terutama
apa untung ruginya untuk diriku sendiri. Betapa pentingnya hidupku selamat,
demi suamiku dan anak-anakku. Pura-puranya aku ini juga perempuan yang setia.
Itu pula sebabnya, sebelum maupun sesudah kawin aku tidak sudi berhubungan
dengan kamu Sukab. Lagi pula aku tidak mencintai kamu. Mau apa? Tapi kamulah
yang tidak tahu diri, mengirim senja tanpa kira-kira. Dunia ini jadi berantakan
tahu? Berantakan dan hancur lebur tiada terkira.
Setelah
amplop itu kubuka dan senja itu keluar, matahari yang terbenam dari senja dalam
amplop itu berbenturan dengan matahari yang sudah ada(2). Langit yang biru
bercampur aduk dengan langit yang kemerah-merahan yang terus menerus berkeredap
menyilaukan karena cahaya keemas-emasan yang menjadi semburat tak beraturan.
Senja yang seperti potongan kue menggelegak, pantai terhampar seperti permadani
di atas bukit kapur, lautnya terhempas langsung membanjiri bumi dan
menghancurkan segala-galanya. Bisalah kau bayangkan Sukab, bagaimana orang
tidak panik dengan gelombang raksasa yang tidak datang dari pantai tapi dari
atas bukit?
Air
bah membanjiri bumi seperti jaman Nabi Nuh. Dunia menjadi gempar, tidak semua
perahu yang ada cukup untuk seluruh umat manusia kan? Lagipula sampai kapan
kapal dan perahu itu bisa bertahan? Tiada satu kota pun yang selamat, lautan
dari senjamu yang membuat langit merah membara itu menghempas dan membanjiri
bumi dengan cepat sekali. Gedung-gedung pencakar langit di setiap kota besar di
seluruh dunia, gunung-gunung tertinggi di muka bumi, semuanya terendam air.
Sukab, bumi ini sekarang sudah terendam air. Dimana-mana air dan langit senja
tak kunjung berubah menjadi malam. Segalanya kacau Sukab, gara-gara cintamu
yang tak tahu diri.
Sukab
yang malang, paling malang, dan akan selalu malang,
Aku
menulis surat ini dengan kertas dan pena terakhir di dunia, di atas puncak
himalaya. Di depanku ada senuah sampan kecil dengan sepasang dayung dan
sebungkus supermi. Itulah makanan terakhir di muka bumi. Sisa manusia yang
menjadi pengembara lautan di atas kapal dan perahu telah mati semua, karena
kehabisan bahan makanan maupun mayat teman-temannya sendiri. Manusia memang
banyak akal, tapi menghadapi senja dari dalam amplop itu tidak ada jalan
keluar. Banyak orang mempertanyakan diriku, kenapa aku membuat dirimu begitu cinta
menggebu-gebu, padahal cinta secuil pun juga tidak, sehingga kamu mengirimkan
sepotong senja itu kepadaku, dan tumpah ruah membanjiri bumi. Tapi coba
katakan, tapi itu bukan salahku toh Sukab? Aku tidak mau disalahkan atas
bencana yang menimpa umat manusia. Mengapa cinta harus menjadi begitu penting
sehingga kehidupan terganggu? Ini bukan salahku.
Air
laut kulihat makin dekat, setidaknya setengah jam lagi tempat aku menulis surat
ini sudah akan terendam seluruhnya. Aku akan naik perahu, mendayung sampai
teler, makan supermi mentah, lantas menanti maut. Akan ku kirim kemana surat
ini? Barangkali kamu pun sudah mati Sukab. Semua pengembara di lautan sudah
mati. Sedangkan di puncak tertinggi di dunia ini tinggal aku sendiri, dari hari
kehari memandang senja yang selesai, dimana matahari tidak pernah terbenam
lebih dalam lagi. Semesta dalam amplop itu telah menjadi pemenang dalam
benturan dua semesta, namun semesta dalam amplop itu cuma sepotong senja,
sehingga dunia memang tidak akan pernah sama lagi. Kalu aku mati nanti, bumi
ini akan tetap tinggal senja selama-lamanya. Dengan matahari terbenam separuh yang
tidak pernah turun lagi. Langit merah selama-lamanya, lautan jingga
selama-lamanya, tetapi tiada seorang manusia pun memandangnya. Segenap burung
sudah punah karena kelelahan terbang tanpa henti. Tinggal ikan-ikan menjadi
penguasa bumi. Di kejauhan, ku lihat Ikan Paus Merah yang menjerit dengan
sedih.
Sukab,
Aku
akan mengakhiri surat ini, akan ku lipat menjadi perahu kertas, dan ku layarkan
ke laut lepas. Buakn tidak mungkin surat ini akan terbaca juga, entah bagaimana
caranya, namun siapa pun yang menemukannya akan membaca kesaksianku. Jika
tidak, aku pun tidak tahu apa nasib waktu(3). kupandang senja yang abadi
sebelum melipat surat ini. Betapau semua ini terjadi karena cinta, dan hanya
karena cinta – betapa besar bencana telah ditimbulkannya ketika kata-kata tak
cukup menampungnya. Kutatap senja itu, masih selalu begitu, seprti menjanjikan
suatu perpisahan yang sendu.
Selamat
berpisah semuanya. Selamat tinggal.
Alina
#path #pathdaily #pathdailyindonesia #sajak #puisi #quote #quotesoftheday #steem #indonesia #blogger #blog