Sinergisitas Kelembagaan Wakaf

in #steemit7 years ago

smh di bandar buku.jpg

Seorang peserta Musrenbang yang berlangsung di Bappeda Aceh menyarankan kepada Baitul Mal Aceh (BMA) supaya berperan melestarikan harta wakaf dan memproduktifkannya. Dia terinspirasi wakaf Baitul Asyi yang lestasri hingga sekarang ini. Dia juga khawatir menyaksikan di sekitarnya, ada ahli waris harta wakaf yang menggugat kembali wakaf orang tuanya. “Saya menyarankan saja, kiranya Baitul Mal berperan maksimal mengurus wakaf,” harap peserta dari Aceh Tengah ini.

Sebenarnya, sejak BMA dibentuk tahun 2004 terdapat bidang khusus yang mengurus harta wakaf: Bidang Pemberdayaan Harta Agama. Sebelumnya, tahun 1973 Pemerintah Aceh membentuk Badan Penertiban Harta Agama dan kemudian tahun 1975 berubah menjadi Badan Harta Agama, salah satu agenda utama juga mengurus dan menertibkan harta wakaf di Aceh. Faktanya di Aceh harta agama atau wakaf cukup banyak dalam masyarakat Aceh. Data Kemenag Aceh, tak kurang 21.862 lokasi wakaf di Aceh dengan luas 183,14 juta meter. 12.649 lokasi sudah tersertifikasi.

Satu faktor penting yang menjamin wakaf dapat abadi dan produktif adalah efektifnya kelembagaan yang mengurus wakaf. Kelembagaan dimaksud adalah nadzir, KUA, Kemenag, dan Baitul Mal. Keempat lembaga ini tentu saja berperan dengan kewenangan, tugas pokok dan fungsi masing-masing. Selama ini lembaga-lembaga tersebut sudah berperan, namun dapat dikatakan belum efektif.

Nadzir pada lavel pertama adalah pemegang amanah utama wakaf. Nadzirlah yang seharusnya mengurus administrasi dan melakukan pengelolaan wakaf. Administrasi yang diperlukan pertama kali yaitu bukti tertulis suatu harta bergerak atau tidak bergerak telah diwakafkan oleh wakif. Format administrasi ini dapat diperoleh di KUA, yang selajutnya akan dikeluarkan Akte Ikrar Wakaf oleh Kepala KUA.

Selanjutnya nadzir pula yang melakukan pemetaan terhadap potensi wakaf tersebut. Merencanakan pemanfaatan dan pendayagunaannya. Jika diperlukan mencari mitra untuk pengembangan dan menggalang wakaf baru. Pribadi nadzir pun tak boleh statis, tapi harus terus belajar dan mengembangkan diri di bidang perwakafan, sehingga memilki kapasitas yang memadai dalam mengembangkan wakaf yang ada.

KUA yang berada di setiap kemamatan perlu bersikap proaktif melakukan edukasi nadzir dan masyarakat. Nadzir dan wakaf perlu memahami bahwa wakaf adalah implementasi kualitas iman terbaik. Meyakinkan masyarakat bahwa sertifikasi wakaf adalah keniscayaan. Kepala KUA tak cukup hanya berperan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), namun berfungsi juga sebagai “konsultan” bagi nadzir dalam memproduktifkan wakaf.

Kelembagaan level berikutnya adalah Kemenag. Selama ini, Kemenag memfasilitasi sertifikasi wakaf, pembinaan nadzir, edukasi wakaf, penyuluhan wakaf, penerbitan tentang wakaf, serta melakukan koordinasi bidang perwakafan dengan instansi terkait. Kemenag juga menyediakan anggaran, program dan kegiatan yang mendukung pengembangan wakaf. Tentu peran ini masih perlu ditingkatkan lagi.

Lembaga strategis pengurus wakaf dibentuk atas perintah UU Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf adalah BWI (Badan Wakaf Indonesia). BWI dibentuk tingkat pusat, provisi, dan kabupaten/kota. Badan ini bewenang dan bertugas: melakukan pembinaan nadzir, melakukan pengelolaan dan pengembangan wakaf, dan memberikan izin atas perubahan peruntuhan dan status wakaf. Tugas lainnya memberhentikan dan mengganti nadzir, memberi persetujuan penukaran wakaf, dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang perwakafan.

Masalahnya adalah, peran nadzir, KUA, Kemenag, dan BWI belum cukup maksimal menyelesaikan berbagai persoalan wakaf yang sering mengemuka di Aceh. Di antara masalah tersebut: belum optimalnya sertifikasi wakaf, kurangnya pembinaan nadzir, dan penyerobotan wakaf oleh ahli waris. Masalahnya juga muncul dalam bentuk konflik internal nadzir, banyak wakaf belum produktif, terbatasnya penyuluhan wakaf, lemahnya penggalangan wakaf baru dan masalah-masalah perwakafan lainnya.

Karena itu, peran Baitul Mal dalam melakukan pembinaan dan pengawasan wakaf di Aceh masih tetap penting, seperti harapan peserta Musrenbang yang berlangsung di Bappeda Aceh. Secara regulatif, Baitul Mal telah mendapat kewengan pengelolaan wakaf seperti diatur UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemrintahan Aceh pasal 191. Tentu saja kewenangan ini perlu diatur lebih lengkap dengan Qanun Aceh atau Peraturan Gubernur. Bayak hal urusan wakaf yang belum dapat di-cover oleh KUA, Kemenag, dan BWI dapat dilakukan oleh Baitul Mal.

Maka yang diperlukan sekarang, adanya sinergisitas antara Kemenag, BWI, dan Baitul Mal. Diperlukan juga secepatnya MoU antara ketiga lembaga pengurus wakaf ini. Selanjutnya dapat segera membuat rencana aksi bersama, serta pembagian peran yang efektif, sehingga banyak persoalan wakaf dapat terselesaikan. Dan yang pasti, harapan peserta Musrenbang dan masyarakat Aceh untuk memproduktifkan dan menjaga kelestarian wakaf dapat dilakukan bersama.

Banda Aceh, 26 April 2018

Sayed Muhammad Husen

Sort:  

Jeut ta kutip tamuat bak web BMA :D

Dengan senang hati