"Main" ke Pasar Tradisional Demi Teman dan Nilai
Kata Ibuk, aku tuh ketika dibawa ke pasar tradisional, tutup hidung terus. Itu cerita waktu kecil, sih. Waktu balita.
Anak yang biasa jajan di supermarket, lalu dibawa ke pasar tradisional mungkin begitu, ya. Dulu, tempat tinggalku memang dekat banget dengan supermarket. Bahkan, seingatku, lebih dekat ke supermarket daripada ke warung. Warung pertama yang ada dalam ingatanku letaknya lumayan jauh. Nggak jauh-jauh banget sampai perlu naik angkot, tapi tetap saja jauh dibanding supermarket yang letaknya nggak sampai 5 menit jalan kaki dari rumah.
Lalu, ketika aku menjajaki pasar tradisional ...
Itu tempat apa, sih? Huhu.
Becek, Bau
Sebentar. Kok kesannya dari balita aku sudah belagu? Hehe. Nggak ah, bukan belagu. Itu tanda balita sudah kenal situasi. pembenaran diri
Sebetulnya, dalam ingatanku versi balita, ada 2 pasar tradisional di Bogor: Pasar Anyar dan Pasar Bogor.
Pasar Anyar itu yang horror banget. Becek dan bau banget.
Pasar Bogor masih mending. Well, mungkin karena yang kuingat dari Pasar Bogor tuh gedung plazanya, sih. Hehe. Dan, para pedangang di depannya. Dan di jalan sekitar Suryakencana.
Pasar is Playground
Bertahun-tahun kemudian, aku baru tahu di belakang gedung plaza ada pasar becek. Hanya saja, versi kecil dari Pasar Anyar.
Pasar Anyar mungkin pasar tradisional paling besar di Bogor.
Tahun-tahun berganti dan aku masih malas ke pasar tradisional. Lagian, ngapain anak kecil ke pasar? Ibuk saja sebetulnya jarang ke pasar. Kan ada tukang sayur keliling.
Sampai akhirnya aku bertemu teman-teman SD yang orangtua mereka punya toko di Pasar Anyar. Aku pun jadi ikut-ikutan mampir kalau sedang main sepulang sekolah.
Yang aku ingat, salah satu lokasi toko tersebut bahkan di tempat yang aku nggak tau bahwa ada tempat semacam itu di Pasar Anyar. Toko tersebut dekat penjualan burung-burung. Burung-burung hidup.
Walau punya teman yang orangtuanya punya toko di pasar, bukan berarti aku jadi suka ke pasar. Aku kan ke sana kalau diajak saja. Nggak mungkin kan aku bilang nggak suka ke pasar.
Di sisi lain, dipikir-pikir, menakjubkan juga pasar sudah seperti area bermain mereka. Nggak takut hilang gitu loh di pasar yang ramai.
Setelah lulus SD, ya jelas aku nggak main ke pasar lagi. Kan nggak main dengan teman-teman lama.
Lalu, sekitar kelas 8, aku bertemu teman-teman dekat baru. Kebetulan, jalan pulang kami searah. Sampai suatu hari, aku dibuat amazed lagi. Lagi-lagi, aku punya teman yang suka ke pasar.
Waktu itu, temanku ingin beli bahan-bahan crafting. Belinya di Pasar Anyar. Temanku nggak maksa aku untuk ikut, sih. Tapi, yaaaa, seenggak sukanya aku dengan pasar, aku tetap saja penasaran. Penasaran ingin main ketimbang langsung pulang dari sekolah. Penasaran kok bisa sih temanku mau ke pasar.
Aku nggak habis pikir kok bisa-bisanya aku punya teman SMP yang hafal lokasi toko di pasar.
Kalau teman SD-ku kan memang orangtuanya punya toko di sana. Jadi, sehari-hari pun sering main di sana. Kalau teman SMP-ku ini kan lain cerita. Berarti dia sering banget ke pasar, gitu? Sampai bisa tahu lokasi tertentu di Pasar Anyar yang super ruwet, ramai, musingin.
Dan, dia juga nggak takut nyasar di pasar? Oh, ya, zaman SMP sekian tahun lalu, ponsel belum terlalu populer. Orang tua juga masih sangat memantau gerak-gerik anak. Mau ke mana setelah pulang ya harus bilang dan nggak boleh terlalu sore. Jadi, yaaah, kalau aku kepikiran nyasar di pasar boleh, 'kan? Karena jarang keluar sangkar.
Terus, setelah punya teman yang suka ke pasar, apakah aku jadi suka ke pasar? Tentu aja nggak. Hehe.
Kalau bukan karena teman, mana mau aku becek-becekan dan bau-bauan. Lagian, sekali lagi, aku nggak punya kepentingan untuk ke pasar. Aku bukan penggemar crafting. Aku juga bukan anak SMP yang suka beli sayuran sendiri. "Jajan besar" versiku palingan ke toko buku. Jauh banget dari pasar tradisional, 'kan?
(Sekarang, aku jadi ingat, kayaknya aku jarang jajan snack (kayak Chitato, Cheetos, dsb) ukuran besar, setidaknya sampai SMP. Kenapa pas gede malah jadi suka jajan micin gitu?)
Ke Pasar Demi Nilai
Pada suatu hari ...
Mungkin dulu aku pikir hari itu adalah salah satu hari yang nyebelin banget.
Waktu itu, aku sudah kuliah dan masuk masa PKL (singkatan dari Pelatihan Kerja Lapangan, seingatku). Hal yang spesial dari jurusanku adalah mahasiswa nggak perlu repot-repot nyari tempat PKL. Semua sudah diatur. Mahasiswa cuma perlu datang ke kampus di hari peng
Ada 2 tahap PKL di jurusanku. PKL di rumah sakit dan di industri jasa makanan. Ada mahasiswa yang PKL di rumah sakit dulu lalu industri jasa makanan. Ada yang sebaliknya. Nah, aku kebagian di industri jasa makanan dulu.
Industri jasa makanan tuh kayak restoran (hotel), katering, or in my case ... kantin.
Jurusanku juga punya semacam katering dan kantin. Katering tuh bikin kayak nasi kotak lalu dijual. Bukan bikin by order pelanggan, melainkan memang bikin saja gitu terus dijual. Ditawar-tawarin ke orang-orang.
Kantin hampir sama, sih. Bedanya, kantin juga punya wujud fisik kantin. Jadi selain bikin nasi kotak, jualan minuman dan jajanan lain juga. Sebagian nasi kotak juga ditaruh di kantin. Sebagian lagi dijual ditawar-tawarin ke orang-orang.
Seolah nawar-nawarin ke orang-orang belum cukup horror, ada hal lain yang juga bikin horror: bahan-bahan untuk masak nggak disediakan kampus. Artinya, harus beli.
Belinya ya ke pasar tradisional biar murah. Ada jadwal belanja. Yang belanja 2 orang per hari. Tiap orang dapat giliran. Huhuhu.
Akhirnya, giliranku tiba. Jelas nggak bisa nolak. Bisa-bisa dicap jelek. Parahnya, mungkin bisa nurunin nilai di tugas akhir kalau sok-sokan nggak mau ke pasar. Bahkan, chef betulan saja pernah ke pasar kali, ya? Iya, nggak? Nggak tahu, sih. Hehe.
Tapi, harus banget ke pasar, nih? Harus bau-bauan? Harus becek-becekan? Dan, yang lebih menyeramkan ... harus tawar-menawar?
Dibanding soal bau dan becek, soal tawar-menawar lebih horror. Aku kan orangnya nggak mau ribet, ya. Beli ya beli aja harusnya. Ngapain nawar. Tapi kan pasar tradisional mah tempat tawar-menawar.
Apa lagi, yang dipakai belanja bukan uangku pribadi. Orang-orang mah kan lebih senang kalau bisa dapat harga modal lebih murah dari biasanya, 'kan?
Untungnya sih aku nggak sendiri. Jadi, yaaah, aku ngikutin temanku saja.
Dan, untungnya, pasar yang di tuju tuh Pasar Warung Jambu. Pasar yang paling dekat dengan kampusku.
Pasar Warung Jambu lebih kecil dibanding Pasar Anyar. Dan, lebih nggak crowded. Becek, iya tapi nggak parah. Bau juga masih tolerable. Soal tawar-menawar, aku masih mengamati ahlinya saja dulu sambil menghafal lokasi beli ini-itu di mana saja.
Yaaaa, mau nggak mau kan harus dihafalin. Mungkin saja nanti aku kebagian ke pasar bareng teman yang sama-sama bukan "anak pasar". Nggak mungkin kan nyasar bareng. Becek-becekan dan tawar-menawar itu merepotkan, tapi nyasar lebih merepotkan.
Entah karena Pasar Warung Jambu yang memang tolerable atau gimana, aku merasa ternyata ke pasar tradisional nggak begitu horror. Mungkin ini juga karena aku ke pasar bareng teman yang easy going banget. Nawar ke pedagang pun ngomongnya biasa saja gitu. Kayak orang ngobrol biasa.
Aku juga jadi mengamati orang-orang di pasar. Bahkan, aku jadi tahu bagian langit-langit pasar bisa disulap menjadi tempat istirahat pedagang. Di atas beberapa toko, dibangun semacam ruangan, biasanya dari kayu. Mungkin tampak kumuh dan agak ngeri ngegubrak, tapi di satu sisi, aku juga amazed dengan ide itu.
Kebagian penempatan PKL yang nyebelin ternyata bukan hari yang nyebelin, sebetulnya. Hari pengumuman penempatan PKL itu justru jadi awal dari pengalaman baru. Cerita-cerita baru. Pemikiran baru. Bertemu orang-orang baik di tempat-tempat yang mungkin nggak aku ketahui kalau bukan karena PKL.
Oh! Tambahan, dapat uang jajan juga. Hihi. Setelah masa PKL selesai, ternyata sebagian keuntungan kantin jurusan dibagikan kepada mahasiswa yang PKL di kantin jurusan pada periode itu. Dan jumlahnya alhamdulillah, bisa untuk bayar kosan di Jakarta saat PKL di rumah sakit.
Walau pasar tradisional nggak tampak semenyeramkan dulu, aku sih berharap pasar-pasar tradisional di Bogor dibikin lebih rapi. Semua pasar yang aku sebutkan namanya itu berada di tengah kota, dekat banget dengan Istana Bogor. Kan enak kalau ditata jadi lebih rapi. Yaaaa, minimal soal sampah, deh, supaya nggak becek dan bau. Kalau pasar tradisional lebih rapi dan bersih, mungkin akan makin banyak yang mau, 'kan? Akan meningkatkan perekonomian juga jadinya.
Posted from my blog with SteemPress : https://afifahmazaya.com/main-ke-pasar-tradisional-demi-teman-dan-nilai/