Tutor SMP
Melamar pekerjaan di tempat yang sama setelah pernah ditolak saat tes tuh namanya apa, ya?
Nggak tahu malu?
Terlalu iseng?
Hahaha.
Sewaktu baru lulus SMA, aku pernah melamar ke suatu bimbingan belajar sebagai tutor. Aku mendapat info lowongan pekerjaan dari kakak kelasku. Salah satu syaratnya adalah "mahasiswa".
Aku belum menjadi mahasiswa waktu itu. Tapi, kakak kelasku itu bilang, coba saja. Jadi, aku dan temanku mencoba melamar.
Sempat dipanggil tes, akhirnya kamu pun nggak diterima, sih. Haha.
Selang beberapa waktu, aku pun sah menjadi mahasiswa. Lalu, kakak kelasku memberikan info soal lowongan lagi. Ya sudah aku lamar lagi.
Alhamdulillah, kali ini lolos.
Dan, di sanalah aku menemukan jati diri. halah
Jati diri apa? Jati diri bahwa kayaknya aku tuh punya cinta terpendam terhadap Fisika. Lol.
Hari pertama, aku ditempatkan di cabang lain, bukan cabang tempat kakak kelasku bekerja. Waktu itu, aku diberikan 2 sesi.
Sesi pertama, seingatku sih Fisika. Mengajar privat dengan seorang murid.
Entah yang namanya guru betulan di sekolah waktu pertama kali mengajar tuh rasanya gimana. Aku sih mengajar privat saja deg-degan. Apa lagi, pertama kali mengajar malah pelajaran yang nggak begitu aku gemari.
Sesi kedua adalah Biologi. Kali ini untuk sekelompok anak SMP.
Aku sangat menggemari Biologi. Jadi, kupikir aku bisa lebih nggak nervous.
Tapi, ternyata ...
Ternyata, apa?
Mengajar Fisika jauuuuuhhh lebih mudah daripada mengajari Biologi.
Wooooooaaaah.
Aku jatuh cinta pada Biologi sejak belajar tentang virus di kelas 10. Sejak saat itu, aku nggak merasa masalah kalau guru sakit atau apa. Toh, aku bisa belajar lewat buku.
Di kelas 11, buku yang digunakan untuk pelajaran Biologi tuh kece banget, menurutku. Buku terbitan Esis.
Jadilah aku lebih banyak tenggelam dalam bacaan ketimbang dari perkataan guru.
Dan, karena itu juga, aku jadi bingung ketika harus mengajar Biologi.
Pikiranku:
Apa yang mesti diajarin? Kan semua ada di buku.Oh. Mungkin mengajari jembatan keledai untuk menghafal dengan mudah?
Tapi, kaaaan, aku saja nggak pakai jembatan keledai untuk Biologi. Aku baca kata per kata. Aku membayangkan memasuki dunia mikroseluler. Kayaknya, buku Biologi adalah buku pelajaran pertama yang saking aku cintanya sampai pengen aku simpan terus.
Maka, jembatan keledai adalah bagaikan bentuk pencemaran terhadap Biologi. apaansih
Oke sip. Aku bingung.
Rasanya, mending mengajar Fisika lagi saja, deh.
Dan, mungkin aku merasa lebih mudah mengajar Fisika gara-gara salah seorang guru Fisika SMA.
Sebelumnya, aku merasa ngapain sih menghitung bola jatuh? Kurang kerjaan banget.
Tapi, yaaah, walau nggak suka, tetap aku hitung. Aku pelajari.
Nah, guru Fisika-ku itu suka banget nurunin rumus. Bukan, bukan rumus dari atap lalu diturunkan ke tanah. Nurunin rumus tuh dalam arti menjelaskan bagaimana suatu rumus bisa hadir.
Dulu, sebagai murid, aku merasa menurunkan rumus tuh nggak penting. Toh akhirnya yang wajib adalah menghafal rumus. Dalam benakku, asalkan bisa hafal rumus, semua akan lancar.
Setelah menjadi tutor, aku malah ingin berterima kasih kepada guruku yang suka menurunkan rumus. Yah, aku memang nggak ngajak muridku untuk menurunkan rumus juga. Tapi, kebiasaan menurunkan rumus zaman sekolah dulu itu cukup banyak membantu dalam memproses banyak hal.
Jadi, hari pertamaku mengajar, yaaah, nggak bisa dibilang berakhir baik. Tapi, yaa sudahlah.
Sesi-sesi selanjutnya, aku ditempatkan di cabang yang sama dengan kakak kelasku.
Entah gimana, pelajaran yang paling sering aku bawa, akhirnya justru Fisika. Dan, seringnya sih aku mengajar privat.
Lama-lama, aku jadi sadar bahwa aku suka Fisika.
Flashback, PR yang selalu bisa bikin aku berkutat dan berusaha menyelesaikannya, ya Fisika. Catatan yang aku salin sampai rapi, ya Fisika. Pelajaran yang paling mudah diimajinasikan (selain Biologi), ya Fisika.
Walau namanya privat, biasanya sih aku mengajar di tempat les tersebut, bukan datang ke rumah.
Pernah sekali aku menggantikan seorang tutor yang berhalangan hadir. Lesnya di rumah. Aku kan nggak tahu rumahnya di mana. Kata kakak kelasku, tunggu saja di Xxxxx menyebutkan nama suatu tempat, nanti ada yang jemput.
Aku tunggu lamaaaaa banget, tapi murid itu belum juga datang. Aku coba menghubungi pun nggak bisa. Aku minta tolong kakak kelasku tapi sepertinya sama saja hasilnya.
Aku lupa detilnya, tapi akhirnya sampai ke rumah murid itu.
Hal yang bikin deg-degan ketika harus mengajar di rumah adalah kemungkinan akan didengar orangtua sang anak. Salah-salah, mungkin bisa dilaporkan ke tempat bimbel. Huhu.
Nah, murid yang ini sepertinya tipe yang "menghargai waktu" banget. Kalau les 2 jam, ya 2 jam. Kalau jam mulainya terlambat, beresnya pun perlu dilebihkan dari waktu normal.
Di sisi lain, yang aku ingat adalah bahasan materi pelajaran waktu itu tuh sesuatu yang cukup singkat. Mau diulur-ulur gimana pun, memang singkat. Mau dibuat dari yang tadinya nggak ngerti sampai ngerti (kayaknya) juga tetap saja singkat.
Untungnya, dia tipe yang talktative. Jadi, yaaa, durasi les tetap sama, tapi bahasan ngalor-ngidul. Yang cerita soal sekolahnya, inilah, itulah. Yang penting durasi les sesuai seharusnya. Hahaha.
1 murid talktative, murid lainnya malah pendiaaaaam banget.
Yang ini juga aku menggantikan tutor lain.
Aku ingat banget waktu pelajaran Matematika.
FYI, pada masanya, aku sempat menyukai Matematika, tapi kemudian aku merasa Matematika bukan jalan hidupku. Orang-orang bilang, kalau bisa Fisika, berarti bisa Matematika. Tapi, kalau bisa Matematika, belum tentu bisa Fisika. Sayangnya, kenyataan nggak begitu.
Aku nggak perlu menjelaskan kenapa bisa begitu kan, ya. Pokoknya, waktu itu aku mengajar Matematika. Kebetulan, bab yang dibahas adalah bab yang nggak begitu aku suka. Dan, yang diajar adalah anak yang pendiam. Lebih pendiam dari aku bagi kalian yang pernah ketemu aku di suatu event.
Aku sampai sempat kepikiran aku salah apa, ya? Yaaaa, aku nggak suka sesuatu yang aku ajarkan tapi kan aku nggak bilang begitu. Yang penting kan aku bisa materi itu pada saat itu.
Di tengah pelajaran, kakak kelasku datang. Aku lupa waktu itu beliau ngapain. Setelah itu, aku mengejarnya ke luar kelas. Lalu, beliau bilang memang anak itu seperti itu. Ya ampun, aku lega banget mendengarnya. Berarti nggak salah apa-apa.
Karakter orang tuh betul-betul beragam banget.
Dari semua murid, yang paling aku ingat adalah seseorang yang kata kakak kelasku "mirip aku". Aku paling sering mengajar dia, sih. Tapi, secara sifat, memang bikin aku mudah ingat.
Walau katanya mirip aku, aku justru merasa dia jauuuuh lebih baik daripada aku. Aku jadi penasaran, gimana kabarnya sekarang?
Aku nggak bisa memastikan karena tempat bimbel itu sekarang sudah nggak ada. Entah tutup, entah pindah. Kakak kelasku juga sudah tidak bekerja di sana.
Aku sih sudah lama berhenti. Aku cuma di sana sekitar 1 semester. Sayangnya, jam kuliahku nggak bisa diganggu gugat. Dan, jam selesai praktikum seringkali "ajaib". Jadi, yaaah, ya sudah. Bisa merasakan pengalaman seperti itu selama satu semester saja sudah menyenangkan.
Posted from my blog with SteemPress : https://afifahmazaya.com/tutor-smp/