Jangan Kau Pinang Gadis Cantik Itu Bila Belum Sanggup 20 Mayam Emas – Bagian 2

in #steempress6 years ago


Dan di sinilah aku berada. Dalam harap tunggu kepulangan utusan keluarga meminang. Perutku jadi tak lapar dan hausku hilang. Perasaanku meluap-luap. Padahal aku sudah mengetahui mereka akan menerimaku. Mungkin inilah perasaan was-was setiap orang yang akan meminang pujaan hati.

Bersamaan suara bedug di meunasah kampungku, deru kendaraan memasuki perkarangan rumah. Aku melihat Pak Cek[1] dan beberapa saudara lain memasuki rumah. Penasaran kutahan sampai selesai memimpin shalat Magrib. Ayat-ayat pendek kubacakan dan selintas doa seusai salam.

Langkah sedikit berlari mencapai rumah. Naluriku sebagai manusia membimbing ego untuk segera tahu segala. Begitu salam kuucap. Semua pandangan beralih padaku. Raut wajah lelah Pak Cek terpancar dalam makna yang tidak bisa kuartikan. Firasat buruk melandaku. Teungku Rayeuk mungkin menerima, barangkali kerabat beliau yang menolak.

“Duduklah di samping Ayahmu,” perintah Pak Cek. Aku mengikuti anjurannya. Aku menunggu jawaban dari Pak Cek yang baru pulang melamar.

“Begini, Mahdi,” Pak Cek menatapku lekat-lekat. Seperti akan melepas beban berat dari pundaknya. “Kami sudah melamar putri Teungku Rayeuk untukmu, kami pun sudah mendapatkan jawaban dari mereka dan mahar yang mereka minta. Namun semua kami kembalikan padamu, karena kau yang akan bersama putri Teungku Rayeuk dan kerabat beliau.”

Aku masih menerka-nerka arah pembicaraan Pak Cek. Seandainya bisa membaca pikiran, aku sudah mengetahui semua isi kepala Pak Cek.

“Kau berhak melanjutkan dan membatalkan, kami tidak bisa memaksa kehendakmu. Jika kau tak sanggup, undurlah dirimu dari pertempuran ini,” Aku semakin tidak mengerti bahasa Pak Cek. Melihat kerut di keningku, Pak Cek tidak berlama lagi menyampaikan keputusan dari pihak Teungku Rayeuk.

“Mereka meminta mahar dua puluh mayam[2] emas murni!”


Aku terhentak bukan main. Apakah aku dipermainkan oleh Teungku Rayeuk? Mana mungkin beliau mensyaratkan mahar sebanyak itu. Dalam duduk aku merasakan kecewa teramat besar. Aku tidak meminta namun Teungku Rayeuklah yang meminangku.

Pandanganku pada kedua orang tua. Ayah hanya diam. Ibu tak mengangkat wajah dari tunduknya. Dari dulu Ayah sudah memperingatkan, tak perlu menunggu panggilan Teungku Reyeuk, menikahlah dengan orang yang kusukai, baik agama dan budi pekerti.

Sekarang aku merasa telah melanggar nasehat Ayah Ibu. Ini seperti bertarung kemudian mendapatkan hadiah. Meminang putri Teungku Rayeuk tak semudah melamar anak orang lain. Teungku Rayeuk punya kerabat yang kaya. Keluarga teungku. Mulai dari ayah beliau sampai seluruh keluarga keturunan teungku.

Sebelah pandanganku mengiyakan keputusan itu, mungkin orang akan mencemooh seorang teungku menikahkan putrinya dengan mahar dua mayam emas. Harga yang tidak pantas untuk mendapatkan seorang putri pemilik pesantren. Seharusnya mahar itu memang dua puluh mayam. Agar bersahaja menginjak kaki di tangga rumah teungku.

Di lain pandangan, mungkin orang lain, termasuk aku, akan merendahkan Teungku Rayeuk yang memasang mahar tinggi seperti menjual putrinya. Jika pun harus memilih, aku akan tidak mengiyakan pernikahan ini ada. Bila pun ada emas sebanyak itu, tak akan kuberikan semua untuk mahar meminang putri teungku. Aku bisa mendapatkan putri orang lain, yang baik untuk keluarga dan agamaku.

Pak Cek terlihat iba. Tak perlu untuk ini. Aku akan memberikan keputusan. Memutuskan jawaban tidak agar Teungku Rayeuk bisa mencari orang lain mendampingi putrinya.

“Mahdi,” panggil Ayah. Mataku bersitatap dengannya. “Jangan kau salah menafsirkan, Teungku Rayeuk tak memberi mahar sebanyak itu. Ini hanyalah permintaan kerabat beliau. Putrinya juga tidak setuju maharnya lebih besar dari putri orang lain. Teungku Rayeuk tidak memintamu menuruti kemauan kerabat beliau,”

“Lalu kita harus menerima mahar itu, Ayah?”

“Benar, hanya untuk menyenangkan hati kerabat beliau,”

“Saya tidak bisa jika demikian, berapapun mahar yang harus kulafalkan waktu akad, segitu pula yang harus kutunaikan pada putri Teungku Rayeuk!”

“Kau tidak harus menunaikan, Mahdi,”

“Ini hutang, Ayah, mahar yang belum terbayar itu menjadi hutang bagi suami,”

Teungku Rayeuk sudah mengikhlaskan, putrinya juga demikian,”

“Bukankah Ayah mengetahui akad nikah adalah sumpah, janji, berarti saya harus menepati janji tersebut. Saya sanggup menunaikan mahar dua puluh mayam, hanya saja saya tak mau memberikannya!”

“Jika kau ada kenapa tidak dilakukan?” tanya Pak Cek.

“Karena saya tak ingin, saya tidak membeli putri Teungku Rayeuk seperti membeli emas di pasar. Mahar itu tanda bahwa saya akan menikahinya, bukan dengan harga yang tinggi, bukan juga harga yang sangat rendah, harus disesuaikan dengan kemampuan laki-laki dan keluarganya,”

“Kau sudah mampu melakukan itu, Mahdi!” tegas Pak Cek.

“Saya mampu, namun saya harus memikirkan banyak hal lain. Keluarga, Ayah dan Ibu, adik-adik, persiapan pernikahan, semua harus saya pikirkan sebelum menghabiskan semua emas untuk mahar!”

Aku terlanjur emosi. Tak jadi meminang putri Teungku Rayeuk tak apa bagiku. Asalkan keluarga tidak tersakiti dan hidupku bisa terus berjalan semestinya.

Malam itu tak ada keputusan, aku menolak. Keluarga masih mempertimbangkan. Pak Cek berinisiatif menjumpai Teungku Rayeuk. Jelas-jelas aku tidak setuju. Aku tidak mau mengemis pada Teungku Rayeuk. Beliau sudah banyak mengajarkan ilmu padaku.

Di hari yang tidak begitu cerah, mendung namun tidak bergerimis. Pak Cek memanggilku ke rumahnya.

“Kau harapan Teungku Rayeuk, Mahdi!”

“Masih ada orang lain yang lebih baik, Pak Cek,”

“Apa kau meragukan pandangan Teungku Rayeuk?”

“Tidak. Saya hanya tidak mampu memenuhi keinginan kerabat beliau,”

Pak Cek menghela panas dalam-dalam.

“Kau akan menikahi putri Teungku Rayeuk bukan putri kerabat beliau!” Pak Cek memberi penekanan pada ucapannya. “Kemarin, Teungku Rayeuk berpesan, nikahilah putrinya dan pimpinlah pesantren. Tak usah kau pikirkan mahar, beliau akan menunaikannya untukmu!”

“Tak bisa begitu, Pak Cek,”

“Harus begitu, ibaratnya Teungku Rayeuk meminangmu memimpin pesantren. Kepercayaannya padamu, dan restunya untukmu tak pernah kau ketahui. Jika kau menolak, berarti kau menghadirkan kecewa baginya!”


Ucapku membisu. Seusai mengajar kitab kuning malam Rabu, aku melihat sekeliling pesantren. Banyak santri yang keluyuran di luar kamar. Mereka mengelar gelak tawa di depan meunasah. Mereka tak mengulang bacaan Arab gundul yang masih terbata-bata. Berulang kali pula Teungku Rayeuk memperingatkan mereka, tak pernah dihirau untuk berubah. Seakan ke pesantren hanya melepas tanggung jawab pada orang tua.

Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Kini. Belum kutahu nanti setelah pesantren ini diwarisi padaku!


[1]Paman

[2]Mayam adalah satuan ukuran berat emas 1/16 bungkal (gumpal). 1 mayam sama dengan 3,37 gram.


Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/08/jangan-kau-pinang-gadis-cantik-itu-bila-belum-sanggup-20-mayam-emas-bagian-2