Tarian-tarian Cinta Pemuas Birahi – Bagian 3

in #steempress6 years ago


Aku dilahirkan tidak normal. Begitu kata orang. Acapkali kudengar, lahirku sebagai petaka bagi keluarga. Aku keturunan malang, ciptaan yang gagal. Berarti mereka memprotes ciptaan Allah – Tuhan semesta alam? Tuhan tentu tidak main-main dalam menciptakan, tidak mencoba-coba suatu percobaan, tidak mungkin karena ada kesalahan masa lalu yang dilakukan kedua orang tuaku lantas aku cacat – seperti kata mereka.

Andai saja suara protes itu nyata, aku dahulu yang melakukannya. Meminta pertanggungjawaban Tuhan telah melahirkanku dengan keadaan tak kumaui. Lihatlah Daman, dia sangat gagah. Berbadan tegap. Kulitnya kuning langsat. Saat tersenyum lesung pipitnya merona. Siapa saja yang melihat pasti akan terpesona, apalagi Daman seorang bintang di mana pun. Bintang sepakbola kampungku.

Bandingkan dengan Syahru Rahmat, aku ini. Bayang Daman selalu menyertaiku. Aku selalu mengekor dari belakang tubuhnya. Ke mana pun Daman pergi aku akan di sampingnya. Daman makan aku juga. Daman main bola aku berdiri di samping gawang dengan sorakan. Semuanya serba Daman. Akhirnya aku akan jadi Daman. Aku boneka Daman. Dulu Daman tidak risih, sekang mungkin akan terganggu walau tidak diucapkan. Sorot matanya mengisyaratkan aku harus jauh-jauh darinya.

Jika bisa memilih, aku tak mau dilahirkan dengan kaki kecil sebelah kanan. Kakiku kecil karena bawaan sejak lahir. Orang tuaku baru sadar saat aku sudah mulai bisa berjalan. Dan aku tak bisa melakukan langkah lebih dari lima, aku akan langsung jatuh. Kakiku tidak bisa menopang badan yang teramat berat. Berbagai usaha pernah dilakukan – Mak menceritakannya padaku semalam lalu.

“Janganlah kau bersedih, Syahru,”

“Tidak, Mak,”

“Jangan pula kau menghujat Allah,” dari mata Mak dapat kulihat binar tak biasa. Mungkin kecewa. Mungkin juga bukan. Mana mungkin Mak kecewa pada penciptanya? “Ayah pernah mendatangkan tabib untuk mengobati kakimu, Mak juga berulang kali membawamu ke bidan. Kami sudah berusaha, bukan kami menyia-nyiakan hadirmu,”

“Aku mengerti, Mak,”

“Baik. Kau tak perlu bersedih, kakimu yang kecil belum tentu hatimu juga demikian. Masa lalumu kau tinggalkan di sini, kau terbanglah ke angkasa luar. Di sana kau akan lihat, banyak orang sepertimu bisa meraih mimpi-mimpi dunia!”

Aku terpana dengan ucapan Mak.


“Dari mana Mak belajar itu?”

Teungku Jamhur, beliau sudah pernah mengelana ke Pulau Jawa. Mengaji pada para kyai.[1] Menyantri di pondok pesantren puluhan tahun lamanya. Mustahil beliau tak melihat orang-orang sepertimu. Pengalaman beliau cukup untuk menanamkan baik buruk di kampung kita. Beliau tidak hanya cakap mengaji Al-Qur’an, kitab kuneng[2] pun beliau kuasai. Kau sudah tahu tentang beliau, kau juga mengaji sampai Bajuri![3]

Teungku Jamhur tidak pernah menceritakan ini, Mak,”

“Anak-anak seusiamu memang tak pernah mengetahuinya, kami yang tahu susah payah beliau pergi ke tanah Jawa. Ayahnya seorang Teungku Rayeuk[4] di kampung kita, menjual sepetak demi petak sawah untuk menyelesaikan pendidikan Teungku Jamhur. Setelah ayahnya wafat, kau lihat sendiri betapa besar pengaruh Teungku Jamhur di kampung kita. Tidak hanya di sini, kampung-kampung lain juga sangat menghormati beliau, bahkan menjadikan panutan dan patokan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dan hadits-hadist sahih.[5]

“Untuk apa Mak ceritakan ini padaku?”

Mak mendengus.

“Tak ada maksud, hanya mencontohkan teladan yang sangat dekat denganmu selain Nabi Muhammad,”

“Apakah Teungku Jamhur bisa dijadikan teladan, Mak?”

“Ya. Kau belajarlah dari pengalaman hidup beliau. Agar kelak tidak kau rasakan lagi sifat terbuang dan tak berguna dalam dirimu,”

“Bagaimana Mak mengetahui itu?”

“Aku Makmu, sudah mengenalmu sebelum kau mengiris-ngiris perutku lalu lahir ke dunia. Aku sangat-sangat kenal denganmu, Syahru!”

Aku jadi malu. Pada perasaan sensitif yang kualami. Aku berpikir negatif akan hidupku yang tidak sempurna di mata orang-orang.


Kakiku tak bisa kuselamatkan menjadi lebih normal. Jalanku tetap tertatih. Sebisa mungkin aku menghindar dari Daman. Di usiaku yang hampir selesai belasan tahun, Daman bukan tidak berarti. Dia sudah punya kesibukan lebih banyak. Tiap hari pulang sekolah harus membantu Maknya bekerja. Semalam, pulang dari ngaji di meunasah Daman mengutarakan isi hatinya.

“Kau sudah besar, Syahru. Kau sudah mampu berdiri tanpa kutatih jalan lagi. Aku sudah punya kehidupan sendiri, membantu Mak bekerja agar hidupku tak bergantung lagi pada keluargamu,”

“Kau merasa bergantung pada keluargaku, Man?”

“Jelas. Aku seperti kaki tanganmu. Ke mana kau langkah kesitu pula aku ikuti,” aku tahu Daman tak bermaksud menyakiti hatiku. Kata-katanya bisa membuatku patah arah. Aku seperti sudah memperkerjakan Daman tanpa memberi upah.

“Keluargamu sudah baik hati menyekolahkanku sampai tamat. Ini merupakan imbalan tak terkira bagiku dan Mak. Aku sayang padamu, kau harus tahu juga bahwa tak selamanya aku akan disampingmu,”

“Dulu kau berkata akan selalu bersamaku?”

“Dulu kita masih anak-anak, belum bisa membedakan apa yang menghalangi hidup kita. Hidupku, hidupmu akan terus berlanjut. Tanpa disadari, kita saling membutuhkan. Tak akan baik jika ini terus berlanjut. Aku akan punya kehidupan sendiri begitu juga denganmu,”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?”

“Aku tak akan melakukan apa-apa, sekolah kita sudah tamat. Kau jalani hidupmu sendiri. Berpalinglah dariku agar kau bisa mandiri!”

“Kau telah bosan menemani orang cacat sepertiku?”

“Aku tidak mengatakan itu! Aku ingin kau tahu, kau tidak harus bergantung pada orang lain, termasuk aku. Bagaimana jika aku tidak ada? Bagaimana jika kedua orang tuamu tiada?”

Aku bingung harus menjawab apa. Daman menerawang langit. Kelam tak ada purnama.

“Aku tidak tahu,”

“Karena kau tidak tahu seharusnya kau lepas bayanganku dari hidupmu!”

“Aku tahu,”

“Seharusnya kau tahu, kau tak pernah benar-benar sendiri, kau mengaji lebih bagus dariku. Kau tahu banyak hal lebih dari yang kuketahui. Kau sanggup menghapal Al-Qur’an lebih dari orang lain. Kau tidak kekurangan seperti katamu,”

“Ada. Kakiku pincang!”

“Lantas? Kau harus pincangkan pikiran dan hatimu?

“Tidak,”

“Jika tidak, tunjukkan padaku bahwa kau tidak pincang. Lakukan sendiri semua kemauanmu. Bila kau sudah berhasil, datanglah padaku!”

Semalam, perpisahanku dengan Daman. Besok aku akan memulai hidup baru di Banda. Kehidupanku akan dimulai dari sekarang!


[1]Sebutan ulama di Jawa.

[2]Kitab Kuning. Dikenal juga dengan kitab gundul (Arab tidak berbaris). Mempelajari tentang fikih, aqidah, akhlak, tata bahasa dan lain-lain.

[3]Salah satu kitab fikih yang masih diajarkan di pesantren tradisional sampai kini.

[4]Ulama besar

[5]Sahih bisa diartikan valid


Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/08/tarian-tarian-cinta-pemuas-birahi-bagian-3