Tarian-tarian Cinta Pemuas Birahi – Bagian 5

in #steempress6 years ago


Tak banyak tersisa waktu untukku mengulang semua itu. Usiaku terus menjalar mencapai angka yang terus kuhindari. Masa-masa senang akan kutinggalkan dalam kenangan, firasatku mengiyakan bahwa masa sulit akan menghadang di depan mataku. Sangkaan bisa jadi salah, bisa juga benar. Tinggal caraku menyikapi jalan agar tidak buntu sebelum kutemui cahaya seperti namaku.

Mak Paridah datang tergopoh, perempuan yang semestinya kujauhi. Tanpa salam Mak Paridah – tetangga sebelah rumahku – menumbruk Mak yang tertunduk. Hidupnya yang penuh angan-angan, berandai kendaraan yang akan membawaku segera tiba. Biar aku tak larut dalam perbincangan dengan Mak Paridah.

“Manih... Manih...,” elu Mak Paridah. Aku menatap langit-langit. Di atap rumahku tak ada Bulan bercahaya. Jika ada akan kutunjukkan pada Mak Paridah yang sedang memulai ratapannya bahwa aku akan bercahaya seperti Bulan. “Kenapa kau biarkah anakku Syahru merantau? Kau tahu sendiri bagaimana dia, Manih?”

Anakmu? Makku bernama Mak Manih bukan Mak Paridah.

“Dia sudah besar, Faridah,”

“Benar dia sudah besar, hanya badannya yang melebar kakinya tidak. Mana mungkin dia bisa berjalan dengan tegap di negeri orang? Jika terjadi apa-apa dia takkan bisa berlari menjauh. Sayang sekali anakku, kau tega membiarkan Syahru sendirian di negeri yang belum kita injaki?”

Aku tersinggung dengan kata-kata Mak Paridah.

“Di sana kasih negeri kita, Paridah. Setiap bumi di bawah langit tetap milik kita, Allah menciptakan bumi untuk kita tempati. Tak mungkin Allah akan menyia-nyiakan seorang anak laki-laki di negeri maha luar milik-Nya!”

“Syahru berbeda, Manih,”

“Apa perbedaannya, Faridah?”


Mak Faridah tertegun. Tantangan Mak membuat Mak Faridah berpikir sebelum mengeluarkan kembali kata-kata tak berguna bagiku.

“Syahru tak sama seperti anak-anak lain, mana mungkin ada tempat kuliah yang mau menerimannya? Sebaiknya kau cegah sebelum dia kecewa melanglang buana ke negeri asing!”

“Setiap orang berhak belajar, Faridah! Tak terkecuali pada Syahru yang berbeda menurutmu. Aku yang melahirkannya dan aku yang mengetahui kelebihan dan kekurangan dari anakku. Kau meragukan firman-Nya?”

Mak Faridah mengeleng.

“Lalu apa yang kau takuti? Dia anakku? Aku yang akan tanggung derita jika dia sakit. Aku yang akan menangis jika kehilangannya. Aku yang akan mencari jika kehilangan jejaknya. Aku Maknya, Faridah! Mengandung selama sembilan bulan, menyusui hampir dua tahun, mengajarnya alif ba ta, semua akan kulakukan untuk hidupnya!”

“Manih...,” suara Mak Faridah melunak. Tak ada lagi isak. Entah benar-benar isakan keikhlasan atau karena cemburu aku akan berkelana. “Hidup Syahru sudah keras, jangan paksakan lagi beban dalam hidupnya,”

“Aku tidak memaksakan apa-apa, Faridah. Syahru akan menuntut ilmu, dia berhak mendapatkan pendidikan layak, kesampingkan bahwa dia cacat atau tidak. Allah tidak akan merubah cacat fisiknya sebelum dia berusaha. Dengan berilmu cacat fisik yang ada pada dirinya akan hilang dengan keistimewaan dan kebesaran jiwanya. Allah tidak sedang mencoba-coba dalam menentukan rejeki dan maut, ke mana pun kau pergi ajal itu pasti akan datang!”

“Aku tidak membicarakan mati, Manih!”

“Lalu apa juga yang kau takuti? Aku yang Maknya tak pernah khawatir atas kepergiannya menuntut ilmu!”

“Aku takut Syahru tak akan sukses seperti orang normal!”

Mak melenguh.

“Apa kau pikir sukses itu kita yang pegang tanpa berusaha? Kubiarkan Syahru berusaha sesuai kehendaknya, urusan sukses atau tidak akan didapat setelah usaha selesai. Kau memandang sebelah mata anakku, karena dia cacat dan tak sama seperti anakmu!”

“Jelas beda, Manih. Anakku sangat tampan di kampung kita. Daman adalah pria yang sangat gagah. Dan kau ingat, jika tak ada Daman anakmu tetap duduk di teras rumah melihat anak-anak lain bersekolah!”

Tidak bisa dibiarkan. Mak Faridah sudah mencapai taraf tak wajar lagi. Mak pasti emosi berat. Suaraku tertahan dengan suara lantang Mak.

“Kau pikir anakmu bisa bersekolah tanpa kuberi uang? Dari awal sudah kujelaskan, Faridah! Sebagai imbalan kusekolahkan anakmu, dia antar jemput anakku bersekolah!”

“Kutahu sekolah itu gratis, Manih!”

“Benar gratis! Uang jajan, sepeda baru, buku-buku sampai seragam. Aku yang belikan untuk anakmu!”

“Ohya? Kita tinggalkan yang dulu, kita anggap selesai. Apakah sekarang Syahru bisa bersekolah tanpa Daman disampingnya?”

Ayah melerai. Mak tak terima. Mak Faridah makin menjadi-jadi. Awal yang tidak baik. Apalagi akhir-akhir ini aku juga jarang bertegur sapa akrab dengan Daman. Daman terlalu sibuk dan memilih menghindar dari hadirku.

“Aku bisa!” dengan mata berkaca-kaca kujawab pertanyaan Mak Faridah. Ketiga orang dewasa itu berpaling padaku. “Aku sudah bukan anak-anak lagi, aku punya kehidupan sendiri dan Daman juga demikian. Aku tak mungkin terus-menerus bergantung pada Daman. Dia punya cita-cita aku juga. Kami sama-sama bisa membedakan baik buruk untuk kami jalani. Kejadian masa lalu sudah kami lupakan, Daman sudah menerima imbalan bersekolah sampai aliyah, kuharap Mak Faridah juga bisa menerimanya!”

“Mak jelas menerima, anakku,” ucap Mak Faridah masih dengan nada rendah. “Mak khawatir kau tak sesukses orang lain, hidup di kota keras, Syahru!”

“Aku sudah memikirkannya, Mak Faridah. Jangan khawatir, sukses dalam hidupku akan kubagikan denganmu suatu saat nanti. Aku tak akan pernah melupakan jasa dan pengorbananmu!”

Deru kendaraan berhenti di depan perkarangan rumah. Ini waktunya aku berangkat.

Aku pergi, Mak.

Aku pasti kembali, Ayah.

***


Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/08/tarian-tarian-cinta-pemuas-birahi-bagian-5