Wanita Cantik yang Enggan Kawin karena Mahar Warisan Ibu Kandung – Bagian 1
Sudahlah. Perkara ini sungguh tidak mudah. Hidup mati seakan-akan menghadang di depan mata. Sekali mata berkedip seolah ribuan penghalang membayangi. Mata tidak pernah bisa terpejam karena ingatan tentang itu menghantui setiap suara.
Tahukah kau tentang jodoh?
Oh, masalah ini tidak cukup saling mengenal saja. Tidak ada kamus musti punya pasangan setia yang kemudian melamar dengan sekarung emas. Tidak ada pula kewajiban merajuk-rajuk pada pria idaman sehingga mengiyakan untuk mau membina rumah tangga.
Kepalaku berada di luar kapasitas menerima beban terlalu berat. Seandainya ia balon berwarna ungu yang telah diisi udara, tertusuk sedikit saja dengan jarum tumpul akan langsung meletus. Jarum itu tetaplah masalah. Pun di kepalaku telah ditusuk entah berapa jarum yang tidak terlihat. Silih berganti dan aku sulit bernapas untuk mencari jalan keluar.
Jodoh tidak seperti menemukan sebutir telur ayam di kandang tetangga. Telur ayam itu bisa kuminta pada tetangga untuk menggorengnya, mengisi perutku yang kosong. Telur yang bernama jodoh itu adalah milik pria yang akan menikahiku. Sungguhlah ini teramat tabu untuk diucapkan oleh seorang wanita. Tapi aku benar-benar butuh pria yang paham keinginan keluarga.
Ya. Bukan keinginanku semata. Aceh terbentang antara budaya dan ucapan sosial yang sulit dibuang percuma. Budaya mengakar karena dijalankan turun-temurun. Sosial berjalan berbelok karena saling menghujat satu sama lain. Kali pertama aku bisa terbebas dari siksa sosial, kali kedua jangan coba-coba menghindar, jika masalah yang kubuat meninggalkan luka di hati mereka.
Sebenarnya, apa peduliku dengan mereka. Aku terlalu mengada-ada soal ini. Mungkin benar aku khawatir. Tapi Ibu? Tidak pernah melihat dari kacamataku sebagai seorang anak – gadisnya – yang sebentar lagi akan menikah.
Sudah malam ketiga aku duduk lelah di dekat Ibu. Ibu tidak pernah henti menginterogasiku mengenai beragam pertanyaan penting, menurutnya. Ibu duduk di ruang keluarga setelah menyeduh secangkir kopi. Ibu menyalakan televisi dan menonton drama seri yang aku muak melihatnya.
“Sudah Ibu siapkan goreng kangkung kesukaan kau di meja makan,” ujar Ibu tanpa berpaling dari televisi. Aku tidak perlu mengucapkan sepatah kata pun. Ucapan Ibu adalah perintah untukku segera mengisi perut sepulang kerja. Aku beranjak ke meja makan. Padahal, aku sudah tidak selera makan sejak di kantor. Bekerja sebagai pegawai swasta membuatku lelah lahir dan batin. Pergi lebih pagi dan pulang teramat sore.
“Kau tahu Cut Intan, bukan?” tanya Ibu. Tentu saja aku tahu. Aku mengangguk walaupun Ibu tidak melihat ke arahku. “Dia baru saja dilamar tadi pagi,”
Ibu memancing ikan di kolam yang tepat. Aku terpancing. Emosiku membludak sampai ke ujung lidah. Ingin sekali kuletakkan piring berisi segepal nasi putih dan sesendok kangkung keasinan, kembali ke tempat asalnya. Tidak pula kulakukan karena menghormati Ibu yang telah melahirkan dan membesarkanku.
“Cut Intan saja yang lebih muda segera menikah. Kau tak malu dilangkahi olehnya?” pertanyaan itu telah Ibu tanyakan sebulan lalu, saat Mutia, tetangga sebelah kanan rumah kami menikah. Sudah pula Ibu ucapkan kalimat yang sama saat Nona menikah lima bulan lalu. Dan telah Ibu utarakan keinginan melihatku duduk di pelaminan saat kami menghadiri undangan pernikahan Dara, hari minggu setahun lalu.
“Kau minta si Kurniawan segera melamar!” itu jelas perintah. Berulang kali telah kusampaikan pada Ibu dan Ayah kalau Bang Kur – panggilanku untuk Kurniawan – masih belum siap menuju pelaminan. Bang Kur sedang menyiapkan banyak hal sebelum masuk ke rumah ini.
“Apa si Kurniawan belum cukup emas melamar kau?” entah sudah berapa kali Ibu mengulang pertanyaan yang sama. Pokok permasalahannya adalah emas – mahar yang akan digunakan Bang Kur untuk melamarku.
“Bukan begitu,Ibu…,” ujarku sambil mencuci piring. Setengah nasi putih dan semua kangkung yang kutaruh di atas piring kubuang ke tempat sampah. Besok pagi, Ayah akan memberikannya kepada ayam di kandang belakang rumah, yang jumlahnya aku tidak tahu berapa ekor.
“Kau bilang si Kurniawan pengusaha muda,” Ibu menyesap kopi di depannya. Matanya tidak berpaling dari layar televisi meskipun di sana tampak iklan silih berganti. “Apa juga yang dia tak siap?”
Aku menghela napas panjang. Tidak pernah kukatakan Bang Kur tidak siap. Hanya menunggu waktu yang tepat. Ibu berbicara seakan-akan Bang Kur belum siap dari segi materi untuk datang melamar. Padahal kesiapan batin lebih penting dari itu. Aku memang tidak bertanya jauh soal ini. Sensitif sekali jika aku bertanya berapa tabungan Bang Kur untuk membangun rumah tangga bersamaku. Bang Kur hanya tersenyum lebar saat ku sentil perihal pertemuan dua keluarga.
Aku duduk di samping Ibu. Drama seri favorit Ibu kembali dengan gelak tawa dan tangisan setelah jeda iklan. Pintu depan berderit diiringi suara salam. Aku menjawab salam sambil melihat ke arah pintu. Ibu menjawab salam tanpa memalingkan wajahnya dari televisi. Ayah baru pulang dari masjid menunaikan salat isya berjamaah.
“Sudah makan kau, Nyak?” tanya Ayah sembari berlalu ke meja makan.
“Sudah. Ayah mau makan?” aku balas bertanya.
“Iya,” Ayah terus berjalan ke arah meja makan.
“Aku goreng telur ya, langsung itu keasinan,” kataku setengah berbisik. Aku melangkah ke dapur dan segera menyiapkan peralatan untuk menggoreng sebutir telur.
“Ibu kau itu ingin kawin lagi,” celutuk Ayah.
“Nyak Bungsu yang kau kawinkan terlebih dahulu!” ujar Ibu sewot.
“Pastilah Ayah kawinkan dia jika pria itu datang,”
“Cepatlah Ayah suruh dia datang!” perintah Ibu, tepatnya diarahkan kepadaku. Ayah mengerutkan kening.
“Kenapa dengan Ibu kau itu?”
Aku tidak menjawab. Aku kocok sebutir telur di dalam mangkuk bergambar ayam jago. Kutaruh sedikit garam dan kucincang bawang yang paling kecil. Ayah tidak suka banyak bawang dan tidak suka pedas, cabai kuabaikan saja.
“Cut Intan segera kawin, Nyak,”
Aku menghidupkan kompor gas. Ayah tentu tidak kompromi dengan Ibu. Kedua orang tuaku ini memiliki pemikiran yang sama terhadap anak gadisnya yang telah melewati usia dua puluh enam tahun.
“Tak banyak mahar Cut Intan, Nyak,” pancing Ayah lagi.
“Berapa yang Ayah ketahui?” sebagai tetangga satu gang di perumahan padat Banda Aceh, Ayah tentu mengetahuinya. Ayah termasuk orang berpengaruh di lingkungan tempat tinggal kami.
“Sebesar mahar ibunya, Nyak,”
Suara dialog televisi lebih keras dari suara Ayah, namun Ibu tetap mendengarnya. Ibu pasti tertarik dengan dialog nyata di depan matanya. Berpura-pura meletakkan cangkir bekas kopi ke atas meja makan, Ibu pun duduk di samping Ayah. Keduanya saling tatap cukup lama. Membuatku tidak nyaman dan ingin segera lari ke suatu tempat. Jika Ayah dan Ibu berlagak demikian, sesuatu yang serius pasti telah mereka bicarakan. Anggapanku mengenai mereka tidak kompromi jelas-jelas salah alamat.
“Telurnya sudah matang,” kataku sambil meletakkan telur goreng di atas piring yang telah Ayah tuangkan nasi.
“Kau duduklah di sana, Nyak,” perintah Ayah. Jantungku berpacu dalam melodi. Kencang sekali. Iramanya tidak lagi slow, bahkan sudah berada di taraf lagu-lagu upbeat yang tidak sanggup kutebak nadanya.
“Ayah sama Ibu tak paksa pria begini atau begitu datang ke rumah ini,” ujar Ayah serius. Ayah belum menyentuh nasi dan telur di piringnya. Urusan bicara penting, Ayah lebih bijaksana dibandingkan Ibu yang cenderung meledak-ledak. “Asalkan dia pria, suruh saja datang melamar kau!”
Belum pernah Ayah berkata demikian.
“Kami tahu si Kurniawan itu serius, Nyak,” ujar Ibu dengan menurunkan sedikit nada suaranya walaupun tidak sampai ke taraf falsetto.
Aku terombang-ambing.
“Soal mahar, sama sajalah dengan mahar Ibu kau, Nyak,” kata Ayah sejurus kemudian.
Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/08/wanita-cantik-yang-enggan-kawin-karena-mahar-warisan-ibu-kandung-bagian-1