Kita, Kawan dan Pesta Politik

in #steempress6 years ago

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa setiap kali kontestasi politik suasana akan sedikit keruh. Apalagi kali ini calon yang dipilih dari mulai legislatif hingga presiden.

Ketika terobosan pemilihan langsung diketengahkan semangat yang di usung adalah kebebasan bersuara hingga serta didalamnya kebebasan berdemokrasi kebebasan berpendapat. Tentu dengan latar keadaan perpolitikan saat itu hal ini menjadi seperti oksigen yang menyegarkan ditengah sengkarut reformasi saat itu.

 

Maka kemudian euforiapun tak bisa dihindari dan itu berlangsung hingga saat ini. Saksikanlah bagaimana dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat lalu kalimat satir yang tak berperi menghiasi media. Kebenaran yang dibuat-buat di umbar laksana keniscayaan. Saya lebih melihat ini sebagai kebablasan.

Saya sempat menikmati bagaimana ketika kepala daerah masih dipilih oleh kumpulan perwakilan rakyat. Yang saya bayangkan biaya yang triliunan itu bisa untuk meng-upgrade papan kapur menjadi papan tulis spidol seluruh negeri sehingga tak adalagi terdengar kabar guru yang masa tuanya terjangkit TBC karena bertahun menghirup kapur tulis. Biaya malah semakin membengkak ketika masa bakti kepala daerah tiap daerah tidak sama berakhir dan dipilih kembali.

Rakyat hanya butuh sedikit ketelitian ketika memilih wakil rakyat karena merekalah yang akan memilih pemimpin daerah. Dan saat itu cerminan partai mayoritas adalah cerminan sosok pimpinan daerah yang di usung.

Bahwa politik yang berdemokrasi butuh biaya saya tidak menampiknya. Namun titik pertumbuhan ekonomi kita belum pada taraf yang ideal, kalo istilah mereka negara berkembang atau negara miskin kata para penghujat jalanan.

Dalam proses yang berjalan saya merasakan ada proses yang tidak matang atau tahap yang tidak mumpuni yang terjadi. Misalnya saja ditingkat para jelata banyak kita dengar ketika antar anggota keluarga berbeda pilihan maka ini sering menjadi sebab reraknya sebuah hubungan. Ketika kawan ngopi meyakinkan kita bahwa pilihannya adalah yang lebih baik dan kita tidak sependapat maka dihari yang selanjutnya ia akan menghindari duduk semeja di warung kopi.

Mungkin dilevel elite kejadian ini sudah usai. Lihatlah ketika pilkada Provinsi Aceh beberapa waktu lalu bagaimana calon gubernur yang bertarung malah jalan-jalan naik pesawat berdua. Namun di akar rumput masih larut dengan debat kusir tak berujung.

Memang ada beberapa lembaga swadaya masyarakat yang mengambil peran tersebut. Namun langkah mereka terbatas oleh pagu anggaran dalam proposal yang di sodorkan kepada donor.

Maka menghadapi kekeruhan yang akan kita hadapi hingga Maret tahun depan kiranya kita butuh sedikit sensitifitas untuk meredam kekeruhan. Minimal orang di sekeliling kita. Hingga tak ada lagi orang yang ketika pemilu sudah lama usai tapi dia masih belum mau pulang melalui lorong lawan politiknya heheheh.

Kedewasaan berpolitiklah mungkin nama kerennya. Menurut saya hubungan yang sudah begitu lama retak hanya gara-gara membela orang yang hanya kita kenal ketika ia perlu saja, merupakan sebuah kepanikan yang tak berdasar. Bahkan membela orang yang kita tidak kenal dan dia tidak kenal dengan kita.

Maka beberapa orang yang kurang bergadang dan tak suka membaca melakukan potong kompas dengan meneriakkan "golongan putih" sebagai solusi. Mungkin mereka tak pernah lihat iklan penghasilan yang bermotto mengatasi masalah tanpa masalah. Bagi saya penambalan kata putih pada idiom di atas tidak tepat. Putih identik dengan bersih dan suci, lha mereka malah memperkeruh. Sepertinya mereka ingin cuci tangan andai saja keadaan tak semakin baik maka mereka lepas tangan dengan dalih mereka tak ikut memilih. Manusia macam apa mereka ? Bahkan menurut saya mereka bahkan tak pantas memprotes ataupun memuji bagaimana pun keadaan toh mereka tak punya saham akan keadaan tersebut.

Ya tapi "the must go on", pesta tetap akan berlanjut dan kita harus turut. Hak kita untuk memilih sesuai dengan apa yang kita ketahui maka hendaknya kita berpayah-payah sedikit agak tak khilaf ketika di bilik suara.

Maka konklusi sederhana dari saya bahwa keluarga dan kawan tetap nomor satu, untuk presiden biarlah nomor dua saja.

Salam menulis.

 


Posted from my blog with SteemPress : https://malas-nulis.000webhostapp.com/2018/09/kita-kawan-dan-pesta-politik