Ironisme Perkebunan Sawit di Aceh Tamiang

in #story7 years ago (edited)

Saya masih ingat, ketika menjelang Magrib seorang tamu datang ke rumah kami. Ia membujuk ayah untuk menebang pohon karet kami. “Harga getah sekarang pun sudah turun Pak Cik,” bujuknya.

Ayah hanya terdiam. Ia menawarkan satu juta rupiah untuk pohon karet kami yang jumlahnya sekitar 50 batang.
Saat itu saya menyaksikan, ayah seolah tidak ada pilihan. Apa yang dikatakan penebang kayu tersebut memang ada benarnya juga. Harga getah di Aceh Tamiang memang sedang murah.

IMG_20160313_181830_AO_HDR.jpg

Sementara itu, harga kelapa sawit sedang tinggi-tingginya. Kondisi ini pula yang mendorong orang-orang di kampung kami untuk ramai-ramai menanam kelapa sawit. Dalam pandangan mereka sawit adalah komoditas yang menjanjikan.
Akhirnya, ayah melunak. Ayah menerima tawaran penebang kayu tersebut. Hanya Emak yang merasa berat dengan keputusan tersebut. Namun sebagai istri, emak hanya bisa menurut saja. Setelah pohon karet kami ditebang, ayah mengikuti apa yang dilakukan orang kampung lainnya yaitu menanam kelapa sawit.

Cerita ayah ini kemudian menjadi cerita paling ironis. Karena setelah kelapa sawit kami siap panen, kami harus menerima sebuah kenyataan pahit yaitu harga buah sawit di Aceh Tamiang turun drastis. Penyebabnya adalah Aceh Tamiang mengalami surplus buah sawit, karena saat itu ramai-ramai orang menanam pohon sawit.

Kini, Ayah seperti juga warga kampung lainnya hanya bisa pasrah dengan harga sawit yang tak seberapa itu.
“Sekarang sawit sudah tidak ada harganya lagi,” ucap ayah, pasrah.

IMG_20140930_150332.jpg

Di Aceh Tamiang, kelapa sawit memang menjadi komoditas unggulan. Meskipun demikian, konstribusinya untuk perekonomian rakyat tidak berarti banyak. Pasalnya, kebun-kebun sawit yang ada di Aceh Tamiang justru dikuasai perusahaan swasta.

Orang-orang seperti Ayah sedikit beruntung karena memiliki kebun sawit sendiri. Sementara bagi mereka yang tak memiliki kebun, hanya mampu menjadi buruh di perkebunan tersebut.

Kini, kalau kita mengunjungi Aceh Tamiang, kita akan menyaksikan pemandangan yang monoton. Begitu masuk daerah perbatasan antara Sumatra Utara – Aceh, pemandangan pertama yang kita saksikan justru adalah hamparan pohon sawit, yang dimiliki perusahaan swasta yang telah mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) oleh pemerintah setempat.

Sebagai penduduk asli Tamiang, saya merasa resah melihat hamparan sawit yang monoton itu. Sebab ada bahaya lain yang mengincar yaitu kerusakan lingkungan. Banjir besar yang melanda Aceh Tamiang pada 2006 silam adalah bukti nyata bahwa alam Tamiang dalam kondisi kritis.

Lihatlah sekarang sungai Tamiang tak sejernih dulu lagi. Airnya keruh. Hal ini karena tak ada lagi pohon yang menahan resapan air di hulu Tamiang, karena lahan tersebut sudah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Masih ada waktu untuk memperbaiki semua ini. Namun sebelum itu, pemerintah harus mengubah mind set terlebih dulu bahwa kelapa sawit bukanlah satu-satu sumber pendapatan untuk Tamiang.

Aceh Tamiang masih memiliki banyak potensi lain salah satunya adalah potensi pariwisata yang sangat menjanjikan. Maka pemerintah harus jeli untuk menciptakan sumber pendapatan baru di Aceh Tamiang selain perkebunan kelapa sawit.

Saya mengerti, kita menginginkan masyarakat sejahtera. Tapi kita juga harus sadar, alam juga punya hak untuk kita selamatkan.