Seuntai Rindu untuk Sarah

in #story7 years ago

Lhokseumawe…
Lhokseumawe…
Lhokseumawe…!! teriakan kernet bus Pelangi pada Senin pagi itu telah menyentakkan tidurku. Perjalanan dari Kota Medan menuju kota tempatku bekerja beberapa tahun belakangan ini semakin tidak terasa olehku. Mungkin dikarenakan sudah seringnya aku pulang balik dari Lhokseumawe-menuju Medan sejak aku memutuskan untuk menerima pekerjaan mengajar di Aceh di Akhir 2004.

Sesaat setelah bus memasuki terminal Cunda, akupun langsung memanggul ransel bututku dan langsung turun dari bus. Seperti hari kepulanganku yang lalu-lalu, para penarik becak pun mulai mengerebuti para penumpang yang baru turun dari bus seraya menawarkan jasanya. Tak lupa mereka mengeluarkan beragam jurus jitu disertai rayuan dan mimik wajah yang beragam. Sudah menjadi kebiasaanku untuk tidak langsung pulang menuju rumah kontrakan setelah menempuh perjalanan 6 lebih jam dari Medan menuju Lhokseuamwe. Sekitar 15 -20 menit biasanya akan kupergunakan untuk berdiri, berjalan-jalan di sekitar terminal dan duduk di bangku tunggu yang ada di terminal. Kebiasaanku yang demikikan kadangkala semakin memancing para tukang becak untuk mengeluarkan rayuan dan gombalan mautnya untuk membujukku agar menggunakan jasanya. Kejadian itu begitu sering kurasakan sehingga kupingku makin hari makin kebal saja rasanya mendengar rayuan mereka.

Suasana subuh itu di terminal terlihat biasa saja bagiku. Tapi, tanpa kusadari sisa pertengkaran dengan istriku kemaren masih menggangu pikiranku. Kuputuskan untuk duduk di salah satu bangku tunggu favoritku. Walau hanya terbuat dari semen, bangku tunggu tersebut terasa nyaman bagiku. Deru suara mesin becak yang berseliweran di telingaku tidak mengganggu kegalauan hatiku. Akupun akhirnya mengenang kembali suasana yang kuyakini menjadi sebab pertengkaranku.

Jauhnya jarak antara Medan dan Lhokseumawe, kota tempatku bekerja kuyakini menjadi persoalan pertengkaran dengan istriku di malam minggu kemaren. Keputusanku untuk menerima tawaran bekerja di Aceh beberapa tahun lalu sebenarnya telah mendapat protes Sarah, istriku yang kala itu masih berstatus teman dekat. Tapi dengan segala argumentasi dan penjelasan yang menurutku rasional akhirnya ia bisa menerima dengan perasaan yang aku yakin penuh dengan duka sebab kami tidak akan bisa lagi menikmati waktu bersama sebagimana saat kuliah dulu.

Setahun setelah bekerja di Lhokseumawe, di penghujung akhir 2005 kuputuskan untuk melamar Sarah agar mau menjadi istriku. Cinta dan pengorbanan yang kami lakukan selama ini ternyata bisa juga kami nikmati hasilnya dengan duduk bersama di pelaminan. Enam tahun masa pacaran bukanlah waktu yang singkat. Seingatku saja, teman-teman kami ketika kuliah dulu telah beganti-ganti pacar sedangkan kami masih saja awet, walaupun aku pernah juga ”mendua” versi anak muda. Untung perselingkuhanku ketahuan, kalau tidak mungkin aku harus giat berusaha mencari jodoh sebab tampilan dan wajahku yang jauh dari kesan ideal bagi banyak gadis jelas tidak akan mudah mendapatkan pacar baru.

Beberapa minggu setelah menikah, istriku mulai mengeluh kepadaku soal sedikitnya waktu yang bisa kami nimati secara bersama. Jangankan berbulan madu, hari-hari setelah menikahpun tidak bisa kami nikmati karena aku harus segera kembali bekerja. Keluhan Sarah semakin sering kudengar pada setiap kali aku kembali ke Medan. Ia selalu bercerita akan lebih enak dan nyaman rasanya bila aku bisa dan mau mencari pekerjaan di Medan. Awalnya keluhan itu kuanggap sebagai hal biasa sebab kami baru saja menikah. Namun setelah beberapa bulan berlalu, keluhan dan kegelisahan Sarah semakin sering diungkapkannya tidak hanya saat aku pulang ke Medan namun juga saat aku masih di Lhokseuamwe melalu telepon atau SMS yang dikirimkannya ke HP-ku. Reaksi dan tanggapanku dalam merespon keluhan dan kegelisahannya yang selalu biasa dan tidak antusias telah menyulut emosi di malam minggu kemaren.

Kepulangan di akhir minggu lalu sebenarnya didorong oleh rasa rindu yang dalam untuk bertemu dengan Sarah setelah dua minggu aku tidak pulang. Tapi apa boleh buat, permintaan Sarah agar aku mau menemani berjalan-jalan pada malam minggu kemaren benar- benar telah menjadikan pemantik pertengkaran kami. Rasa letih dan capek yang masih menyelimuti menyebbakan aku tidak begitu tertarik untuk bepergian di malam minggu lalu. Alasan yang kusampaikan ternyata dinilai Sarah sebagai alasan yang mengada-ada sehingga akhirnya perang mulutpun terjadi.

**

”Say, malam ini keluar yuk..” ucap Sarah kepadaku. Ajakannya itu kubalas dengan perkataan ” aku masih lemas dan capek honey... kayaknya lebih enak di rumah saja malam ini. Akukan masih rindu amamu!”. Dengan cemberut ia membalas “ bilang aja kau malas menemani aku!”. Sesaat aku terkejut dengan perkataannya, namun kemudian ku balas “Terserahmulah!”. Jawabanku yang ketus itu telah membuatnya tersinggung yang kembali mengungkit persolan klasik antara kami berdua. ”Inilah jadinya kalo kau kerja di Aceh. Sudah jarang betemu, setiap kali datang tidak pernah mau menemani apalagi mengajak aku jalan-jalan!”. ”Kalau seperti ini, bagus kau tidak usah pulang!” kemudian berlajut ”Aku sudah biasanyanya sendiri!” gerutu Sarah dengan nada meninggi. Melihat gelagat itu, akupun terdiam. Sebagian dari apa yang diungkapkan Sarah memang benar adanya.

Rasa rinduku kepada Sarah minggu itu kujadikan biang keladi atas pertengkaran kami malam itu. ”Andai saja aku tidak pernah memiliki rasa rindu, mungkin aku tidak perlu pulang ke Medan akhir minggu lalu dan kalau tidak pulang, maka pasti kami tidak bertengkar” bisikku dalam hati. Tapi apa mungkin manusia yang saling mencinta dan berjauhan tidak memiliki rasa rindu? hanya benda matilah yang tidak memiliki rasa rindu. Rasa rindu yang kualami sebenarnya merupakan ekstasi dan doping buat diriku. Rinduku untuk bertemu, bercumbu dan membelai rambut dan wajah Sarah sering mendorongku untuk secepatnya menyelesaikan pekerjaan. Aku berfikir, kalau aku bisa menyelesaikan pekerjaanku secepat dan sebaik mungkin, maka waktuku untuk bertemu Sarah akan semakin banyak.

Harus kuakui selama ini aku berfikir bahwa pengertian dan penerimaan apa adanya atas apa yang diberikan Tuhan kepada kami yang selama ini kutuntut dari Istriku telah berhasil. Ternyata keberhasilan yang kulihat hanya di permukaan saja. Bara kesal dan galau di hati istriku atas sedikitnya waktu yang bisa kami nikmati, ternyata malam itu telah berkobar. Mungkin pertengkaran kami malam itu oleh sebgain orang yang pernah bertengkar dengan pasangan hidupnya belumlah begitu parah. Tapi bagiku, apa yang terjadi malam itu harus kuakui sebagai kondisi yang paling menyedihkankanku. Seumur hidupku aku sangat takut bertengkar apalagi dengan perempuan. Dalam padangan hidupku, perempuan adalah makhluk Tuhan yang harus disayangi dan ditemani sebaik mungkin. Sedikit melankolis mungkin, tapi prinsip hidup itu muncul setelah sering sekali aku bertukar fikiran dengan ibuku yang tidak tamat SLTP.

Dahulu, setiap kali aku tidak menjalankan perintah dan tugas harianku di rumah, ibu kerap memarahiku. Dalam marahnya ia selalu berkata ”Kalian pikir enak menjadi perempuan?”. Awalnya perkataan itu tidak begitu kuhiraukan. Pada saat kuliah di jurusan Antropologi, aku semakin menyadari bahwa masyarakat kita sering kali tidak adil meletakkan posisi perempuan. Pemahaman itu pulalah yang selalu mendorongku untuk tidak pernah menambah ketidak adilan yang dialami perempuan dengan membuat luka hati perempuan, apalagi hati Sarah, istriku.
Kejadian malam itu telah menyebabkan aku melukai hatiku sendiri. Prinsipku untuk tidak melukai hati perempuan telah kulanggar. Kenyataan ini tentu membuatku bingung dan kalut.

**

Malam minggu kemarin memang terasa begitu menyiksaku. Obrolan malam menjelang tidaur yang biasa kulakukan bersama sarah tidak lagi terjadi. Ia lebih memilih merebahkan badannya di sudut tempat tidur dengan mengarahkan wajahnya ke dinding. Kalau saja teman-temanku yang laki-laki mengetahui kondisiku malam ini mungkin mereka akan berkata ”emang enak dipunggungi?”. Senyum sindiran dan ocehan merendahkan bisa saja muncul dari mulut mereka. tapi kau berjanji dalam hati bahwa aku tidak akan pernah menceritakan kejadian malam itu pada siapapun termasuk teman dekatku.

**

Minggu pagi suasana hati Sarah tampaknya belum membaik. Ia masih tidak mau menanggapi setiap perkataanku. Aku semakin merasa bersalah. Untuk mengakhiri kebuntuan suasana pagi itu akhirnya kuputuskan untuk melakukan sesuatu. Saat sarah masuk ke kamar dan hendak melipat selimut, tanpa berfikir lagi ku-cengkram pergelangan tanganya dan kupaksakan agar ia duduk menghadap ku di atas tempat tidur. Menykiapi perbuatanku yang tak terduga tersebut, sontak Sarah meronta dan berkata “ lepaskan!!”, “jangan sentuh aku!” . Sejurus kemudian aku balik berkata ”tidak akan kulepaskan cengkraman tanganku sampai kau mau mendengarkanku!”. Ia balik berkata” enak saja kau!”, ”kau pikir aku budakmu yang selalu harus mendengarkanmu? Kau saja tidak selalu mau mendengarkanku!”. Tanpa kusadari aku mulai merenggangkan cengkaramanku seraya berkata ”aku tahu aku salah, tapi kalau saja kau paham bahwa aku pulang karena rindu, mungkin kau juga mengerti mengapa aku menolak ajakanmu tadi malam”.

Tanpa kusadari terlihat olehku air mata Sarah menetes. Tanpa diperintah, tanganku telah menyeka buliran air mata di pipinya tersebut. Aku tidak tahu apakah ia menangis karena perkataanku atau karena masih merasakan sakitnya cengkraman tanganku. Entahlah...yang jelas suasana kamar tidur kami menjelang siang itu diwarnai dengan susana haru. Setelah kami terpaku beberapa saat, aku kemudian memulai percakapan ”maafkan aku ya sayang....aku tidak tahu kalau tindakanku tadi malam telah melukai hatimu”. Sarah masih terdiam. Ia kelihatan masih merenung atau masih meratapi kejadian-kejadian sebelumnya. Kudongakkan dagunya agar aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kutatap wajahnya sedalam yang aku bisa. Kecantikan Sarah mungkin kalah dengan Tamara atau Jennifer Love Hewiit. Tapi...wajah Sarah adalah wajah yang penuh dengan inspirasi dan semangat hidup buatku. Raut wajahnya yang untuk ukuran perempuan Tapanuli terlihat cantik. Tulang hidungnya lembut namun macung. Sakin lembutnya, sering kupanggil Sarah dengan sebutan si hidung lembut. Bibirnya yang merah sungguh sangat sulit kulupakan. Semua yang kulihat di wajah Sarah adalah hal-hal yang selalu ingin kulihat. Mungkin ini yang dinamakan rindu.

Setelah sekian lama aku menatapi wajahnya seraya menyeka air mata yang mengalir dipipinya, ia kemudian berkata dengan lirih “ Aku juga salah sayang..” .

Tanpa berpikir panjang ku rangkul pundak Sarah dan ia membalas rangkulanku dengan lebih erat. Sangat lama rasanya kami saling berangkulan sampai akhirnya suara denyitan dari ceret airnya mendidih.

**

Pengalaman pertengkaran itu tak terasa telah membuka pikiranku untuk mulai bijak dalam membagi waktu secara lebih baik. Rindu yang kurasakan di setiap akhir minggu ternyata bagi Sarah adalah kerinduan yang setiap hari menyiksanya. Dalam batin aku berjanji bahwa pemikiranku tentang kehidupan bersama yang dibatasi oleh jarak yang selama ini kuanggap sebagai imbas dari kehidupan metromodern ternyata sarat dengan problematika rasa sebagai makhluk yang punya cinta kasih.

**

Saat aku semakin larut mengingat pertengkaranku dengan Sarah di malam minggu kemaren, tanpa kusadari seorang tukang becak menepuk pundakku dan menyadarkanku bahwa aku masih di terminal. Tanpa pikir panjang aku menaiki becak miliknya sambil berkata” Lancang Garam ya bang”. Selama perjalanan menuju rumah kontrakan hatiku berbisik seraya berdoa” Ya Allah berilah hambamu rasa rindu yang membara yang bisa mendorongku untuk bersemangat bekerja sehingga waktu tidak terasa olehku. Dengan demikian aku bisa kembali secepatnya bertemu dengan Sarah, istriku dan menumpahkan kerinduan ini”. Semoga untaian rinduku akan selalu bisa mengalungi hidup Sarah, sang pujaan hatiku...entah sampai kapan.

LG, awal minggu di minggu pertama Januari 2007

Sort:  

Mantap, cerita yang sangat inspiratif

Wawww, Luar biasa kanda, Ulasan yang disampaikan sangat menginspirasi kanda..

Inspiratif ceritanya, tapi ngomong-ngomong kenapa isterinya tidak di bawa ke Aceh???

berasa bapek awak..haha

cerita yang menarik