Semarak Penghakiman Rasa #1

in #story7 years ago (edited)

_DSC6128.JPG

"Kita yang penting-kan minum. Semua kopi sama bang ya!"
Aku mulai tertarik mendengarkan, momen berbagai jenis cerita rakyat yang menjadi tujuan kedai ini di buka. Sosok-sosok dengan stelan apa adanya, sendal jepit, profesi petani kopi, dan mampu menghargai tanaman yang ia tanam, minuman yang ia minum. Kopi.

Senin pagi, matahari masih bermanja menyinari bumi. awan-awan cumulus menghalangi cahayanya dibeberapa sisi. Bunga-bunga di pekarangan kedai kopi masih memikul partikel-partikel air. Dan lima pelanggan ini, membuat suasana pagi lebih hangat.

Kopi tubruk untuk tiga orang, dua gelas sanger pesanan gadis kecil dan sang adik (bocah laki-laki, berumur dua tahun). Beberapa bungkus rokok menjadi teman kopi, yang tanpa mereka sadari menjadikan kedua kakak-beradik sebagai perokok pasif. Kertas filter rokok kini berwujud abu, berserakan di bawah meja.

"Espresso, Drip apapun-lah namanya, kita cuma bisa minum kopi hitam."
"Iya bang... Petani kayak kita mana cocok bang, minum kopi mahal. Apalagi di kebun, panasin air kasih gula tuang bubuk udah, jadi kopi kampung."

Dalam diskusi dengan gelak tawa, status petani kopi menjadi iri hati pada profesi yang bahkan tidak sebanding kehormatannya. Berton-ton kopi yang mereka panen dari puncak bukit seolah hanya angin lalu, dan mereka tau mengepulnya asap dapur rumah-rumah di keluarganya adalah hasil penjualan buah kopi.

"Apa bedanya bang ya, kita tau kopi di pijak-pijak juga di minum orang luar sana. Iya memang bubuk kita beli ditempat lain, beda rasa. Tapi-kan pahit semua, pakai gula baru betul manis dia."
"Cina, Batak, Kristen di luar, mana paham proses di sini. Alat-alat kopi yang mereka buat itu untuk cari uang. Saya coba yang mereka bilang rockpress, drip.. cuma lebih pahit atau lebih kental rasa kopi-nya. Mana ada kopi manis, rasa buah, rasa kayu, rasa tanah. Kita lebih paham kopi yang kita tanam bang ya!"

Beberapa saat tampak mereka bergantian menyerumut kopi. Si gadis kecil telah menghabiskan segelas kopi dan kini lekat menatap telepon genggam ayahnya. Sementara si ayah sibuk melayani permintaan anak laki-lakinya, yang mencoba menambahkan gula dan permen ke gelas kopi sang ayah.

Mungkin karena ulah si anak laki-laki atau ada alasan lain, si ayah berpamintan pada kedua temannya. Merayu si gadis kecil untuk berhenti mengotak-atik telepon genggam, dan segera ikut menaiki mobil yang terparkir di samping kedai ini.

Tidak kehilangan suasana, kedua bapak ini masih melanjutkan diskusi.

“Kopi ni orang kita cuma yang kurang paham proses bagusnya kan bang, kalau paham kita mana bisa gerak pengusaha kopi yang bukan orang kita ni. Contoh, pabrik di pondok tu sukses dia, karena apa? karena proses bagus, paham mereka, beli mahal, itu kenapa orang kita di sana jual ke dia bang. Toke yang bukan kita ni... maunya terima jadi, barang bagus, banyak permintaan cuma masalah uang mereka ni yang cepat keluar, beli kopi bukan musiman. Itu dia kenapa petani ni lebih banyak jual sama toke luar”.

“Iya, harga mana masalah rasa. Masalah permintaan pasar itu. Kalau rasa kata orang-orang kopi kita paling enak, tapi harga kopi kita yang masih segitu-gitu harganya. Kita petani, penting kopi berbuah, harga stabil, gula sama ikan di rumah ada, udah”.

Tanpa sadar pemikiran ini menjadikan tolak ukur kualitas kopi di sini. Di-lirik buyer dari luar dengan alasan apa sebenarnya.
Harga murah?
Kualitas kopi?
Kekayaan Flavour Wheel?

*Penyebutan suku di atas tidak bermaksud untuk rasis, hanya menuliskan secara lengkap sebuah cerita agar setiap sudut pandang mampu hadir secara bijak.