[Story] Sebuah Biografi
Sebuah surat kecil dalam amplop Biru ditemukan Azula di laci dalam kamar Abian Venen, mendiang ayahnya. Sebuah nama tergores di bagian depan amplop, "Teruntuk Putriku, Azula Venen."
Azula membukanya perlahan. Gadis itu mulai membacanya dengan cukup tenang. Ini bukan sebuah surat warisan atau semacamnya, melainkan tentang harapannya pada Azula untuk menyambung kembali tali persaudaraan dengan keluarga mereka di Callion, sebuah kepulauan terpencil dan penduduknya sulit berinteraksi dengan masyarakat luar. Seharusnya Amila Anoja sudah menyampaikan surat ini sebelum Azula menemukannya sendiri. Sekretaris Abian Venen yang kini menjadi ibu tiri Azula itu seharusnya tahu, hal semacam ini adalah hal penting yang harus segera disampaikan pada yang berkepentingan. Namun perempuan itu sepertinya memang ingin mencari masalah dengan Azula. Dua perempuan itu tidak pernah cocok. Selalu saja ada hal yang membuat mereka perang dingin. Baik Amila maupun Azula, tak satupun ada yang berniat mengalah. Kematian Tuan Venen pun bukan hal yang membuat mereka harus saling menguatkan. Azula yakin, ayahnya memang tewas karena istri keduanya, perdebatan malam itu membuatnya harus kehilangan orang tua satu-satunya setelah kematian Ibunya 15 tahun yang lalu.
Walaupun Azula yakin bahwa Amila adalah satu-satunya orang yang patut dipersalahkan atas kematian ayahnya, tetapi gadis itu tak ingin melaporkan ibu tirinya ke Dewan Keamanan Kota. Gadis bermata abu itu memiliki niat terselubung untuk menghakimi Amila. Sebuah skenario pembunuhan sudah diletakkan dalam kepalanya dan hanya menunggu waktu yang tepat untuk kesempatan eksekusi.
Zula yang manis menempatkan dendam di atas kepalanya. Misi dalam hidupnya hanya ada dua. Memulangkan Amila ke akhirat dan kembali ke Callion untuk bertemu dengan keluarga besar ayahnya.
Siang yang cukup terik, namun sebuah undangan sudah diterima Azula untuk menemui Kannya, sahabat masa kecilnya. Dua gadis ini sama-sama tertarik dengan dunia jurnalistik. Sayangnya, Azula tidak seberuntung Kannya. Gadis itu diterima di sebuah kantor berita besar di Kota Domme. Posisinya saat ini cukup untuk mendapatkan gaji dan mengamburkannya di klub malam selama sebulan penuh. Sementara Azula hanya mendapati dirinya menjadi seorang penulis lepas yang hanya menerima upah ala kadarnya. Untung saja Abian Venen masih memiliki Vennen Club, lokasi perjudian terbesar di kota mereka, sehingga Azula tidak perlu khawatir dengan pekerjaannya.
"Sudah lama?" Kannya muncul dengan sebuah tas ransel dalam pelukannya.
"Sesuai janji kita, kenapa kau lama sekali?"
"Maaf, atasanku sedang marah besar. Penjualan surat kabar menurun."
"Hmmm, karena percetakan surat kabar
baru itu? Harusnya kau bisa membuat sebuah gebrakan agar penjualan tetap stabil,"
"Kau ternyata tidak terlalu mengenalku dengan baik, aku pasti sudah melakukannya sebelum kau berpikir tentang itu." Kannya merengut.
"Ha...ha...ha... Baiklah, aku salah bicara. Pesan minuman dulu, sepertinya wajahmu kurang bersemangat."
Kannya mengangguk, Azula memanggil seorang pelayan dengan rambut kuncir kuda yang sejak tadi mengamati meja mereka.
"Bagaimana dengan tawaranku?" tanya Kannya dengan mata menyelidik.
"Hmmm... sesungguhnya aku tertarik."
"Lalu?"
"Menulis Biografi tidak mudah, Kannya. Aku butuh banyak biaya untuk observasi, dan kau tahu? Setelah kematian papa, aku harus mengurus segalanya sendiri,"
"Amila? Kemana dia?" Kening Kannya mengerut, sambil mencampur kopi hitamnya dengan cream dalam pot kecil yang baru saja diantar si pelayan.
"Sudahlah, sejak dia mendekati ayahku, berniat menggantikan posisi mendiang ibuku, aku sudah menganggapnya bukan lagi sosok yang baik."
"Jadi, kau sama sekali tidak memberikan haknya dari kematian ayahmu?"
Azula hanya menggeleng. Nada suara Kannya terdengar sangat heran. Sorot mata Kannya menambahkan keyakinan pada diri Azula, sepertinya Kannyaa tidak sepakat dengan sikapnya.
"Azula, kau harus berdamai dengan dendammu. Aku pernah menghabiskan waktu bersama Amila sebelum dia dan ayahmu menikah. Amila wanita yang baik. Jangan kau samakan Amila dengan ibu tiri yang lain."
"Tolong, jangan campuri urusanku kali ini, Kannya." Pinta Azula.
Kanya mengangguk pelan, seraya bibirnya menyeruput kopi yang sudah tidak terlalu panas lagi.
Pelayan yang tadi mengantar kopi kembali ke meja mereka.
"Maaf mengganggu nona-nona. Apakah ada janji dengan Tuan Owle?" tanyanya.
Azula melirik Kannya.
"Ya, benar. Dimana dia?" ujar Kanya.
Pelayan itu meminta Kannya dan Azula untuk mengikuti langkahnya.
Kali ini Azula sama sekali tidak tahu akan bertemu dengan siapa mereka setelah ini. Pikiran gadis itu terbagi-bagi. Terutama setelah Kannya menyinggung permasalahannya dengan Amila.