Yang Pergi, Takkan Kembali
Tepat pukul 14.00, nina datang kerumah sakit untuk melihat ibunya. Disebuah ruangan, dengan dipenuhi alat-alat medis dan orang yang akan masukpun dibatasi. Ya, nina menunggu gilirannya dibalik kaca yang memisahkan dia dan ibunya.
Saat itu Nina berusia 16 tahun. Sejak menduduki SMP, Nina adalah anak yang suka melakukan semua hal sendiri. Gadis ini berprestasi di bidang Olahraga. Nina berbeda dari saudaranya, dia gadis yang tidak suka belajar, maka itu dia tidak akan pernah mendapatkan juara kelas.
“Nina, cobalah lihat kakakmu, dia dapat juara kelas, sementara kamu tidak”. Begitu kalimat yang akan dia dengar dari ibunya setiap penerimaan rapor disekolah tiba.
Seringkali Nina bertanya pada dirinya sendiri, kenapa aku selalu dibandingkan dengan mereka?
aku memang tidak sepintar mereka, tapi kan aku juga anak kalian. Terkadang Nina juga berpikir, apakah dia anak ibunya atau bukan. Nina benci dengan cara ibunya membedakan dia dan saudaranya.
Hidup Nina berlanjut, rasa benci itu terus dibawanya hingga ia berusia 16 tahun. Diusia itu, Ibu Nina telah sakit parah dan berulang kali masuk rumah sakit. Nina, selalu menyempatkan diri sebulan sekali (jika libur sekolah) untuk datang menjenguk ibunya, karena ibunya dirawat jauh dari tempat tinggal Nina.
Tatapan tajam mata ibunya pada Nina sangat terlihat jelas dibalik kaca pemisah itu. Nina, melihat tubuh ibunya yang semakin kurus dan tidak berdaya. Selang 30 menit, masuklah Nina diruangan itu. Bagaimana sekolahmu? “dengan tersengal-sengal ibunya bertanya”. Baik bu, saya sekolah terus. Jawab Nina sambil mengelus-ngelus tangan ibunya.
Waktu menunjukan pukuk 17.00. Nina harus segera pulang, karena besok akan sekolah kembali. Perjalanan Nina ke rumah memakan waktu 2 jam dan melewati gunung.
Bu, saya pulang ya, besok mau ujian sekolah. Kata Nina. Ibu Nina hanya menjawab mengangguk.
Tepat dibalik kaca itu, Nina kembali lagi melihat Ibunya. Lambaian tangan, senyuman, dan ucapan hati-hati dari ibunya membuat nina terharu. Dalam hati gadis remaja itu mengatakan“maafkan saya karena telah pernah membencimu dan tidak mempercayaimu, saya tidak ingin kehilangan ibu”.
Selang 2 hari kemudian, kabar buruk itupun sampai ditelinga Nina. Nina kehilangan sosok yang baru ia sadari, begitu ia menyayanginya.
Nina, Nina...
Penyesalanmu akan kau bawa sampai mati.
Matamu terbuka lebar setelah ibumu pergi untuk selamanya.
Beruntunglah kau, karena ibumu datang dan memaafkanmu “lewat mimpi”.
Kau telah mengetahui betapa ibumu menyayangimu, bukan membedakanmu dengan saudaramu. Melainkan untuk memotivasimu.
Tidak akan pernah lagi kau lihat senyum perjuangannya. Yang kau bisa lakukan hanyalah berdoa dan berdoa.
Dalam setiap doanya, dia selalu meminta kepada tuhan, “Tuhan pertemukanlah aku dan dia KEMBALI”.