Sebuah Kisah tentang Papan Tulis di Kelas Para Bintang

in #story7 years ago (edited)

Suatu malam, aku mendapat jadwal mengajar di 3 IPA KPB (Kelas Para Bintang). KPB adalah sebuah kelas di bimbelku yang berisi siswa-siswa pilihan, yakni siswa-siswi yang nilai try out-nya selalu masuk dalam jajaran lima belas besar diantara ratusan siswa. Dan memang terbukti, dari tahun ke tahunnya, peroleh lima besar nilai UN tertinggi tingkat Provinsi Jambi adalah siswa-siswa KPB dari bimbelku.

Selain itu, kebanyakan siswa KPB diterima di universitas bergengsi, seperti ITB, UI, UGM, dan universitas negeri lainnya. Padahal tahu sendiri, khusus provinsi Jambi, hanya siswa-siswa yang cerdas dan beruntunglah yang mampu memasuki kampus itu dengan jalur undangan. Pengajar yang diperbolehkan mengajar juga spesial, tentunya mereka yang sudah memiliki grade A.

back-to-school-background-teacher-chalkboard-icons-209049.jpg
sumber: gofreedownload.net

Aku sungguh senang mengajar di kelas ini, 70% siswanya adalah laki-laki. Mereka sangat cepat menangkap penjelasanku. Oh iya, KPB hanya terdiri lima belas siswa saja, namun tidak banyak juga yang rajin datang karena jadwal KPB adalah jadwal tambahan di luar les wajib mereka. Misalnya seminggu yang tadinya jadwal les dua hari, bertambah satu hari khusus KPB. Mereka pun tak diwajibkan membayar uang les tambahan loh.

Mayoritas siswa KPB adalah mereka yang sangat tahu sopan santun karena latar belakang mereka bersekolah di SMA Favorit, yang dididik untuk menghormati para guru. Khusus yang ini, perbedaannya sangat kentara dengan sekolah-sekolah lain. Contoh sederhananya, ada siswa yang yang sengaja mengeluarkan aneka nama hewan di kebun binatang, suka bolos kelas dengan modus pura-pura permisi saat jam pelajaran, dan lain-lain.

Nah, Sahabat Steemian, kadang di luar jam kelas, aku suka diajak jalan sama mereka. Bukan hanya makan dan nonton bioskop bareng saja, pernah juga habis rapat jam 20.00 WIB, mobil mereka sudah terparkir di depan kantor. Beberapa kali mereka sengaja menungguiku. Katanya spesial mau nganterin aku pulang. Jelasnya, aku sudah merasa menjadi Kakak, teman nongkrong, sekaligus teman belajar bagi mereka.


Saat aku memasuki ruangan, aku terkejut bukan main karena papan tulis masih penuh tulisan dan angka dengan spidol tiga warna (merah, biru, dan hitam). Biasanya kalau sudah pergantian jam, papan tulis selalu bersih. Di dalam ruangan sudah ada tujuh siswa lelaki yang suka ngajakin aku nongkrong, Guys. Selebihnya pada nggak masuk, nggak tahu tuh pada ke mana.

Lalu aku pun permisi keluar kelas untuk mencari OB (office Boy) yang bertugas menghapus papan tulis. Tiba-tiba, aku melihat si OB di ruang akademik, tepat di depan komputer. Namun, aku urung memanggilnya sebab ada big boss-ku juga di sana. Kalau aku mengatakannya kepada OB lalu didengar oleh big boss-ku itu, ia bisa jadi memarahi si OB. Aku sungguh tak tega.

Aku pernah menyaksikannya sendiri. Big boss-ku bisa dibilang perempuan perfeksionis yang terkadang ramah, namun acapkali berubah menjadi serigala bila tanduknya keluar. Beberapa kali OB di kantor dimarahi di depan siswa, bagiku rasanya tidak etis, seperti sedang menelanjangi seseorang di depan khalayak, lebih tepatnya melakukan pembunuhan karakter. Bukan hanya OB saja, pengajar juga beberapa kali dibegitukan.

Lalu aku membalikkan badanku dan berjalan menuju kelas. Tiba-tiba saja Chandra membukakan pintu dari dalam dan bertanya.

classrm.jpg
sumber: bulgariasega.com

“Loh, Mbak Rini katanya mau memanggil OB, kok sendirian?” Chandra berdiri di hadapanku.

“Iya, Dik. Soalnya di sana ada Bu Iyem (nama disamarkan).” Jawabku sambil mengambil penghapus dan hendak menghapus papan tulis.

“Memangnya kenapa Mbak kalau ada Bu Iyem?” tanya Gilang polos.

“Ah, masak kau nggak tau, Lang. Ya, sudah pastilah nanti si OB kena semprot,” jawab Febrian sambil ketawa.

“Sini Mbak, biar aku saja yang hapus papan tulisnya, kasian Mbak Rini,” ucap Chandra yang tiba-tiba menunggu penghapus di tanganku.

“Tidak, Dik. Kalian di sini kan les tidak gratis. Sebagai pengajar, saya akan melayani kalian dengan sepenuh hati. Ayo, Chan, kamu duduk saja! saya akan merasa lebih berdosa kalau kalian mau mengerjakan kerjaan remeh begini,” ucapku sembari menghapus papan.

“Ah, Mbak Rini, bisa saja,” ucap Chandra yang kemudian menuju mejanya.

“Memangnya kenapa kalau si OB dimarahin? Kan memang tugas dia membersihkan papan tulis, sebetulnya orang yang salah memang pantas dimarahi,” tiba-tiba Gilang nyeletuk.

“Ada kalanya kita perlu menjaga perasaan seseorang, Dik. Saya pikir ini bukan persoalan salah benar, ‘kan bukan ujian semester loh,” jawabku sambil tersenyum.

Kemudian aku memulai pelajaran dengan membahas soal-soal UN Bahasa Indonesia. Ya, aku senang menerima nasib sebagai pengajar Bahasa Indonesia meski jika masuk ke kelas baru, aku lebih sering dikira pengajar Bahasa Inggris.


Muaro Jambi, 12 aPRIL 2018

rfhh.jpg

Sort:  

Congratulations @puanswarnabhumi! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.

To support your work, I also upvoted your post!
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

Upvote this notification to help all Steemit users. Learn why here!

Ceritanya menarik sekali.
Salam kenal ya Mbak.... :D :D dan jangan lupa polbek ya...

Wah ini bang emong ya? Semangat memulai dr awal ya. Pasti difolbek. Sip

Wah ceritanyabmenarik sekali :)

Makaaih mbak cantiiik😂

Masama adek cantik

Rasa rasanya pengen ikut bimbel wkwkwkwk

ckckckkckckkc ayo jadi siswaku, Bang.

Wah, bangga sekali bisa mengajarkan anak-anak ini, ya. Apalagi menjadikanmu sebagai teman. Dalam berbagai kesempatan, kita memang lebih 'nyaman' dianggap teman saat mengajarkan orang lain daripada dianggap guru. Kesannya ada sekat tertentu antara kita dengan mereka. Namun jika begini, aku rasa pengajaran yang disampaikan dan diterima juga jadi lebih mudah.

Jadi awet muda temenan ama anak SMA, Bang😝