Perjalanan Menemukan “Pawang” Terakhir “Uwer” di Dataran Tinggi Gayo#2/ The Journey to Find the Last Keeper of "UWER" at Gayo Highland#2
Hore....!!!!
Akhirnya setelah lebih 2 minggu dari postingan terakhir, lanjutan tulisan tentang perjalanan ke Dataran Tinggi Gayo bisa di –share ke steemian kembali . Selama 2 minggu ini kegiatan yang sok padat benar-benar menyita perhatian sehingga menge-post tulisan ini jadi tertunda beberapa kali. Semoga steemian masih berminat membaca lanjutan kisahku...he....he....
Part II – Melacak Lokasi “Uwer” dan Pertemuan dengan Sang “Pawang”
Jika pada bagian sebelumnya telah dinarasikan tentang motif dan proses awal perjalananku dan teman – teman ke Dataran Tinggi Gayo, maka pada bagian ini aku menceritakan lanjutan perjalanan untuk menemukan lokasi dimana “Uwer” masih dipraktekkan. Semoga bisa menambah pengetahuan buat steemian yang membaca.
Bermalam di kediaman seniorku Jum’at malam itu sangat menyenangkan buatku, entah menurut kawan - kawan yang ikut. Tapi dari pengamatanku, malam itu teman-teman juga sangat nyenyak tidurnya. Kenyamanan tidur memang sangat didukung oleh suhu dingin di Simpang Tiga, Kabupaten Bener. Ditambah lagi malam itu kami hanya ditemani salah satu kerabat siempunya rumah sehingga suasana yang sangat lepas. Musabab lainnya adalah bahwa pada malam itu sesampainya kami di rumah seniorku, dia dan keluarganya harus ke Banda Aceh. Jadilah kami tamu tanpa jamuan tuan rumah sebagimana layaknya. Kerabat seniorku, seorang remaja yang akan lulus SMA ditugasi menemani kami malam itu. Sebelum tidur, kami masih sempat memasak mi instan beberapa bungkus. Sajian mi instan plus telur malam itu memang begitu menggoda untuk tidak disisakan. Sekitar jam 22.00 WIB kami semua sudah terlelap.
Sabtu, 22 April 2017aku bangun dengan badan sedikit menahan dingin. Bangun pukul 05.10 WIB di dataran tinggi memang memerlukan sedikit kerajinan karena kalau tidak mungkin kita akan memilih melanjutkan tidur. Dibandingkan kumandang azan subuh, waktu bangunku terbilang telat. Namun dengan niat ingin segera menjelajahi Dataran Tinggi Gayo, aku langsung ke kamar mandi dengan tidak lupa membawa perlengkapan mandi. Ya…pagi itu dengan menahan rasa dingin aku langsung mengguyurkan air ke badanku. Dinginnya air begitu menusuk tulang namun aku menahankannya. Selesai mandi, aku langsung sholat subuh dan bersalin pakaian. Tidak lama kemudian kawan-kawan juga bergiliran masuk bergiliran ke kamar madi kemudian Sholat Subuh. Sebagian mereka ada yang mengikuti jejakku dengan langsung mandi. Namun sebagain lagi merasa perjalanan pagi itu cukup dimulai dengan mencuci muka saja.
Tepat sekitar jam 06.15 WIB, kami sudah bergerak ke arah Kota Takengon tanpa sarapan. Niat kami memang akan sarapan di warung yang kami temui di jalanan nantinya. Sembari mobil bergerak ke arah Takengon, kami berdiskusi tentang arah yang akan kami tuju hari itu. Berdasarkan masukan teman-teman akhir kuputuskan bahwa pagi itu tujuan kami adalah ke Desa Terangon, Kecamatan Terangon Kabupaten Gayo Lues. Keputusan ini sepenuhnya didasarkan pada informasi yang kami terima dari salah satu kenalanku, seorang aparatur pemerintah yang juga seorang Syeh Saman yang tinggal di Blang Keujeren. Ia mengatakan bahwa praktek “Uwer” masih ditemukan di kecamatan tersebut.
Setelah hampir kurang dari 30 menit kami berjalan, mobil kami sudah memasuki ruas jalan menurun yang salah satu ujungnya tepat berada di pintu masuk Kota Takengon. Sambil menikmati perjalanan, aku meminta kawan-kawan untuk melihat apakah ada warung untuk tempat sarapan. Karena kami bermaksud menuju Kabupaten Gayo Lues via Desa Bintang, maka kami tidak harus memasuki pusat Kota Takengon. Tidak beberapa jauh dari jalan masuk Kota Takengon dari arah Bener Meriah, terdapat sebuah perempatan/ simpang empat. Kuminta Murhaban untuk berbelok ke kiri menuju ke arah Kawasan Situs Sejarah Loyang Mandale. Jalan ini kami pilih sebab kondisinya lebih baik dan relatif mulus. Keluar Kota Takengon menuju Desa Bintang, awalnya mobil kami sendirian. Tidak lama kemudian di belakang kami terdapat beberapa mobil yang dari tampilannya seperti baru melakukan perjalanan jauh. Melihat seri huruf pada plat-nya kami berasumsi bahwa mobil-mobil tersebut dari Banda Aceh. Mengingat jalanan sunyi pagi itu, kami dan beberapa mobil itu berulang kali saling salip menyalip. Pada satu kesempatan akhirnya kami dapat memastikan bahwa rombongan mobil yang beriringan dengan kami pada pagi itu adalah benar dari Banda Aceh sebab pada salah satu mobil tertulis “Bantuan UIN Ar-Raniri untuk Korban Banjir Bandang di Aceh Tenggara”. Pada beberapa waktu sebelum kami melakukan perjalanan, tepatnya tanggal 11 April 2017 telah terjadi banjir bandang di Aceh Tenggara. Berdasarkan berita yang beredar diketahui bahwa banjir bandang yang terjadi di Aceh Tenggara telah menerjang 11 desa di dua kecamatan. Akibat banjir bandang tersebut sebanyak 176 rumah rusak berat, 91 rumah rusak sedang, dan 139 rumah rusak ringan.Banjir tersebut juga mengakibatkan dua orang warga meninggal dunia karena terseret banjir dan memaksa 2476 warga mengungsi.
Sumber: http://penanggulangankrisis.kemkes.go.id
Kondisi Yang Diakibatkan banjir Bandang di Aceh Tengah pada 11 April 2017
Ruas jalan Takengon – Bintang pagi itu suasananya memang tidak ramai. Hanya ada beberapa mobil yang berselisih dengan kami. Sampai dengan pukul 07.00 WB, kami belum juga menemukan warung untuk tempat sarapan. Setelah melalui Bintang, perjalanan kami teruskan ke arah Kabupaten Gayo Lues. Perjalanan dari Desa Bintang ke arah Owaq, desa pertama yang dijumpai di Kecamatan Linge suasana pemandangannya sangat mengasyikkan. Wangi getah Pinus Perkusi/ Tusam ikut mengaromai udara pagi itu. Aroma segar getah Pinus terasa masuk ke rongga paru-paru. Aroma getah Pinus tersebut bersumber dari sadapan pohon Pinus yang dengan sengaja ditanam puluhan tahun silam. Jajaran pohon Pinus yang berada di sisi kanan dan kiri jalan merupakan bagian dari perkebunan yang dulu dikelola oleh oleh PT.Perkebunan Negara 1 yang berdasarkan kabar terkahir kawasan hutan pinus ini dikelola oleh Perum Perhutani. Sayangnya informasi tentang hal ini tidak dapat kami dalam sebab tujuan kami memang bukan menggali data tentang kebuan Pinus. Namun yang pasti, sampai saat ini pepohonan Pinus dengan diameter batang yang beragam, getahnya masih disadap untuk berbagai keperluan. Kawasan areal perkebunaan pinus terlihat dipelihara namun sepintas juga kelihatan bahwa perawatannya tidak merata. Ada beberapa bagian dari kebun Pinus tersebut yang terlihat bersih, bebas dari rambatan tanaman liar. Sementara itu pada bagian lainnya terlihat ada tanaman liar yang ikut membaluti batang pohon Pinus dengan sulur dan tunasnya. Penelusuran di dunia maya menyebutkan bahwa pengelolaan kebun Pinus di sekitar kawasan Danau Laut Tawar memang tidak semeriah beberapa dekade tahun lalu. Keindahan hutan Pinus di Aceh Tengah pernah dibahas oleh @mafis di blognya. Di banyak tempat, hutan pinus memang menjadi incaran banyak orang sebagai lokasi spot untuk berfoto.
Sumber: https://buzzerbeezz.com/2012/02/04/legenda-ikan-depik/
Jajaran Pohon Pinus di Aceh Tengah
Setelah melalui areal kebun Pinus, kami akhirnya memasuki wilayah Kecamatan Linge. Tidak jauh dari tapal Batas Kecamatan Linge, tepatnya sekitar 7 kilometer sebelum memasuki Owaq terdapat sebuah pertigaan. Dari arah bintang, ruas jalan ke kanan akan membawa kita ke arah Isaq dan arah kiri menuju Owaq. Di pertigaan itu kami sempat berhenti dan bertemu dengan dua orang penduduk lokal. Sambil bercerita kami juga sempat menanyakan apakah di sekitar lokasi tersebut masih ada praktek “Uwer”. Dengan antusias salah satu dari duanya bercerita, bahwa parakter “Uwer” di Kecamatan Linge terutama di Desa Owaq masih ada namun hewan ternaknya tidaklah Kerbau melainkan Sapi. Beliau juga berkisah bahwa jenis Sapi yang banyak dipelihara penduduk di Owaq adalah Sapi Bali. Namun demikian, Sapi lokal juga masih juga dipelihara oleh sebagian penduduk namun jumlahnya terbilang minim. Areal pemeliharaannya juga mencapai kawasan hutan sekitar Linge hingga ke Isaq.
Sapi telah Menggantikan Kerbau di beberapa Wilayah di Dataran Tinggi Gayo
Perjalanan kami lanjutkan ke arah Owaq. Setelah Sampai Oweq kami juga tidak bisa menemukan warung yang menyediakan sarapan sehingga perjalanan langsung kami lanjutkan ke arah Ketapang. Menuju Ketapang, di sekitar pukul 07.20 WIB, kami bertemu dengan sekumpulan penduduk yang lagi bekerja membersihkan rimpang Sereh Wangi untuk ditanam.
Sekelompok Penduduk yang sedang melakukan Pemilahan Rimpang Sereh untuk dijadikan bibit
Pada kesempatan itu kami berhenti dan sempat bertanya tentang apa saja yang mereka lakukan. Sambil sesekali kami berfoto, tanpa sadar kami memperoleh informai bahwa saat ini tanaman Sereh Wangi adalah salah satu tanaman favorit di Dataran Tinggi Gayo. Pagi itu, mereka sedang melangsungkan pembaharuan tanaman. Terdapat beberapa orang lelaki yang sedang mencabuti rumpun Sereh Wangi yang tumbuh di lereng bukit yang konturnya terbilang curam. Hasil cabutan tersebut kemudian dibersihkan. Rimpang rimbang yang telah pajang kemudia di potong sekitar 30 cm untuk kemudian nanti akan dijadikan bibit Sereh Wangi.
Proses pemilihan dan pembersihan rimpang Sereh Wangi
Setelah dipotong dengan ukuran sekitar 30 cm, rimpang Sereh Wangi itu akan ditanam kembali di lahan yang telah dibersihkan. Pada kasus yang kami lihat, lahan yang dipersiapkan berada tepat di lereng bukit dengan kondisi yang telah dibersihkan dan siap ditanam.
Kondisi lahan yang telah dibersihkan dan siap ditanami di Lereng Bukit
Selang beberapa waktu setelah kami banyak bertanya tentang Sereh Wangi ke kelompok yang lagi melakukan pembersihan dan penanaman bibit tersebut, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sekitar pukul 08.20 akhirnya kami sampai di kawasan Kota Terpadu Ketapang. Menurut informasi yang kami peroleh kawasan Ketapang ini dulu direncanakan sebagai sentra peternakan untuk kawasan Aceh Tengah. Aku dan tim kemudian turun sebentar di tugu persemian KotaKetapang.
Tugu Kota Ketapang yang Telah dipenuhi Semak
Tidak jauh dari tugu Kota Ketapang tersebut terdapat sebuah markas Militer TNI-AD. Di depan kompleks tersebut terdapat sebuah warung yang menyediakan sarapan. Akhirnya, aku dan anggota tim lainnya memutuskan untuk sarapan di warung tersebut. Sekalipun hidangan yang disuguhkan ke kami tidaklah ideal menurutku, namun karena kami sudah sangat lapar sarapan pagi itu terasa sangat nikmat.
Selesai sarapan, perjalanan kami lanjutkan menuju Kabupaten Gayo Lues. Jalur yang kami lalui semakin menantang. Jalan yang mendaki dengan tingungan yang rapat jelas membutuhkan konsentrasi lebih dari supir jika tidak mau celaka. Posisi jalan yang memapas punggung bukit menjadikan salah satu sisi jalan adalah punggung bukit yang rawan longsor dan sisi lainnya adalah jurang. Perjalanan dari Aceh Tengah menuju Kabupaten Gayo Lues memang memberikan pengalaman yang berbeda.Kesehatan kendaraan, kehati-hatian supir serta keberanian untuk melalui jalur berliku di tengah kawasan hutan jelas merupakan tantangan yang memacu adrenalin penumpang. Semua itu memang terbayarkan dengan pemandangan yang sangat indah dan menawan. Di salah satu ruas jalan Aceh Tengah – Gayo Lues tersebut terdapat sebuah tempat pemberhentian yang oleh banyak orang dijadikan spot untuk memandang ke hambaran gunung, bukit dan lembah di dataran Tinggi Gayo
Kondisi Jalan dan Sajian Pemandangan Memasuki Perbatasan Aceh Tengah dan Gayo Lues
Memasuki Kabupaten Gayo Lues, jam sudah menunjukkan pukul 11.15 WIB. Kecamatan pertama di Gayo Lues yang kami dijumpai adalah Pantan Cuaca. Sebelum memasuki ibu Kota Kecamatan Pantan Cuaca, Bang Ibrahim mengajukan diri untuk menggantikan Murhaban sebagai supir. Hal ini dilakukan karena ia merasa agak mual di kursi penumpang. Sesampainya di Pantan Cuaca, kami sempat bertanya ke penduduk beberapa kali tentang arah mana yang harus kami lalui menuju Kecamatan Terangon. Pada satu kesempatan kami malah sempat tersesat yang kemudian kami diarahkan melalui jalur alternatif jika mau ke Terangun sebab saat itu jalur biasanya sedang mengalami longsor. Di sebagian ruas jalan kondisinya masih berbatu dan menanjak. Akhirnya pada pukul 11.45 WIB, kami sampai di Desa Blang Kedeh. Di beberapa rumah penduduk kami melihat ada banyak gerombolan kerbau yang jelas merupakan peliharaan penduduk. Sekali lagi kami bertanya tentang “Uwer” dan sebagian besar penduduk yang kami tanya menjawab bahwa “Uwer” yang tradisional sepertinya masih ada di Terangon.
Gerombolan Kerbau di Blang Kedeh- Gayo Lues
Akhirnya setelah kami keluar dari Blang Kedeh, kami menuju Desa Padang. Setelah melalui desa padang sekitar pukul 12.20 kami masuk ke ibu kota Kecamatan Terangon. Karena kami sudah lapar, kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Akhirnya kamipun makan di rumah makan Nanda. Hidangan yang disajikan cukup sederhana, nasi putih plus gulai asam ikan dan sayuran. Hanya saja rasa lapar dan ke-original-an bumbu masakan begitu membuat kami selera menyantap hidangan yang disajikan.
Rumah Makan Nanda dan Hidangan yang disajikan buat kami di Terangon
Sambil makan, kami bercerita dengan sang pemilik rumah makan Pak Nanda. Perbincangan dengannya semakin menumbuhkan rasa penasaran kami akan “Uwer”. Pak Nanda juga berkisah bahwa praktek beternak kerbau dengan melepaskannya di hutam memang masih dipraktekkan oleh sebagian masyarakat Terangon. Hanya saja jumlahnya sudah semakin sedit. Sembari kami makan dna bercerita, saya tidak lupa menghubungi kontak person yang dikirim salah seorang sahabat saya yang kebetulah bekerja di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Gayo Lues. Kontak person tersebut bernama pak Madhan. Tidak lama setelah kami selesai makan, Pak Nanda dan Pak Madhan mengarahkan kami untuk bertemu dengan seoang pawang “Uwer” tersisa. Sang pawang lebih dikenal dengan sebutan “ Ali Monser”.
Sebelum betemu dengan sang pawang, aku dan tim terlebih dahulu melaksanakan Sholat Zuhur di mesjid yang letaknya di belakang rumah dinas Camat Kecamatan Terangon. Kondisi kamar mandi mesjid yang masih dalam perbaikan sedikit membuat jamaah kurang nyaman termasuk aku dan tim. Segera setelah selesai sholat Zuhur, pada sekitar pukul 14.20 aku dan tim dengan ditemani oleh Pak Madhan menuju ke Rumah Pak Ali Monser di rumahnya. Setelah beberapa saat kami menunggu, Pak Ali Monser-pun tiba. Kami kemudian berbincang-bincang tentang “Uwer” bersama beliau. Bersambung...
Demikian perjalanan hari kedua dan pertemuan dengan pak Ali Monser. Semua hal yang diungkapkan sang Pawang belum bisa disampaikan pada bagian ini. Khusus tentang praktek “Uwer” dan peran Pawang dan narasi keindahan Dataran Tinggi Gayo akan diulas pada bagian ketiga dan keempat dari tulisan saya. Semoga Steemian masih bersedia menunggu dua tulisan terakhir...Semoga.........