Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh bak Madinah
Tempat yang harus Anda kunjungi saat berpergian ke Banda Aceh, itu adalah Masjid Raya Baiturrahman. Tempat ini ialah situs bersejarah yang telah ada sejak era kejayaan Kesultanan Aceh dan bertahan hingga kini. Masjid ini telah melalui berbagai hal, mulai dari tragedi pembakaran oleh kolonial Belanda tahun 1873 hingga hantaman tsunami di akhir 2004 silam.
Masjid Raya ini pertama kali dibangun di masa Kesultanan Aceh. Bagian atap masjid ini dibuat sesuai dengan ciri khas masjid-masjid di asia tenggara pada masa itu, atap limas bersusun empat.
Terdapat dua versi sejarah mengenai riwayat pembangunan masjid ini. Sebagian sumber menyebutkan masjid ini didirikan pada 1292 M oleh Sultan Alauddin Johan Mahmudsyah. Sementara, sumber lain menyebutkan masjid ini didirikan oleh Sultan Iskandar Muda pada 1612 M.
Dalam perjalanannya, masjid ini pernah dibumihanguskan oleh Belanda saat serangan ke Koetaradja (Banda Aceh) pada 10 April 1873. Runtuhnya bangunan masjid memicu perlawanan masyarakat Aceh pada masa itu. Mereka berjuang mempertahankan masjid hingga tetesan darah terakhir. Pada pertempuran tersebut, Belanda kehilangan seorang panglima mereka, Major General Johan Harmen Rudolf Köhler pada 14 April 1873.
Bangunan masjid lalu dibangun kembali oleh Belanda atas perintah Jenderal Van Der Heijden. Pembangunan kembali masjid ini merupakan bagian dari upaya meredakan perlawanan rakyat Aceh terhadap pendudukan Belanda. Proses pembangunan kembali Masjid Raya Baiturrahman berlangsung pada 1879-1881 M. Arsitektur bangunan yang baru dibuat oleh de Bruchi yang mengadaptasi gaya Moghul (India).
Masjid yang terletak di pusat Kota Banda Aceh ini kemudian mengalami beberapa kali perluasan. Perluasan pertama dilakukan pada tahun 1936 M. Atas upaya Gubernur Jenderal A. PH. Van Aken, dilakukan pembangunan dua kubah di sisi kanan dan kiri masjid. Selanjutnya, pada tahun 1958-1965 M, bangunan masjid kembali diperluas. Pada perluasan kedua ini ditambahkan dua kubah dan dua menara di sisi barat (mihrab).
Pada tahun 1992 M, dilakukan pembangunan dengan penambahan dua kubah dan lima menara. Selain itu, perluasan juga kembali dilakukan kali ini pada halaman masjid sehingga total luas area masjid saat ini menjadi 16.070 meter persegi.
Saat gelombang tsunami setinggi ± 21 meter menghantam pesisir Banda Aceh pada 26 Desember 2004, masjid ini termasuk bangunan yang selamat, meskipun kerusakan juga terjadi di beberapa bagian masjid.
Upaya renovasi pasca tsunami menelan dana sebesar Rp20 miliar, yang berasal dari bantuan dunia internasional, antara lain Saudi Charity Campaign. Proses renovasi selesai pada 15 Januari 2008.
Tidak berhenti di situ, Pembangunan dan pengembangan landscape serta infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman kembali dilakukan pada tahun 2015 M yang menghabiskan biaya mencapai Rp 1,1 miliar.
Pembangunan dan pemasangan 12 unit payung elektrik di pelataran masjid ini layaknya seperti yang terdapat di Masjid Nabawi di Madinah, Saudi Arabia. Selain itu, juga dibangun berbagai sarana lain, seperti taman, rumah genset, pusat pengolahan air, drinking water system dan perbaikan beberapa interior bangunan.
Kawasan kompleks masjid ini menjadi pusat beragam aktivitas yang mendukung fungsi masjid sebagai sentral kegiatan umat Islam tertama di Aceh, Indonesia, dan Dunia. Selain itu juga menjadi salah satu destinasi wisata Islami yang akan menarik minat para wisatawan dari dalam maupun luar negeri.