Vonggi, Cikal Bakal Peradaban Lembah Palu
Vonggi, situs kampung tua yang menjadi cikal bakal sejarah peradaban di lembah Palu, kini tidak lagi terdengar kisahnya. Hanya masyarakat Suku Kaili Tara yang mendiami kaki Bulu (Gunung) Masomba, seperti di Poboya, Kawatuna, Lasoani, Tanamodindi, Bale, dan Vatutela (Tondo), yang sedikit mengetahui kisah kampung tua ini.
Dalam literatur sejarah Sulawesi Tengah, Vonggi disebut sebagai kampung halaman Raja Palu pertama, Pue Nggari. Penginjil berkebangsaan belanda, Albert Christian Kruyt, lewat bukunya, De West Toradjas op Midden Celebes, menyebut Wonggi (Vonggi) adalah sebuah kampung di pegunungan sebelah timur lembah Palu. Lebih spesifik ia menyebut Vonggi berada di kawasan perbukitan Marima, yang diidentifikasi dengan banyaknya tumbuhan Volovatu (Bambu Batu) dan sebuah makam tua yang dinamakan Dayo Mpoluku, yang disebut Kruyt sebagai Madika dari zaman dahulu.
Nama Vonggi juga disebutkan oleh budayawan Sulteng, Masyhudin Masyhuda, dalam bukunya, palu Meniti Zaman, yang menyebutkan, Vonggi adalah kampung Topotara, yang merupakan tempat asal Pue Nggari.
Berdasarkan data tersebut, tim Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST) melakukan penelusuran untuk mencari tahu lebih dalam tentang keberadaan Vonggi, Kamis (11/5/2017). Penelusuran dilakukan di sekitar kawasan situs Dayo Mpoluku, merujuk pada tulisan Kruyt. Situs Dayo Mpoluku sendiri merupakan situs makam tua dari seorang tokoh yang dikeramatkan oleh masyarakat Suku Kaili Tara, yaitu Mantikulore.
Situs Dayo Mpoluku terletak di perbatasan antara Kelurahan Lasoani dan Kelurahan Poboya, di Kecamatan Mantikulore. Situs ini terletak di kawasan perbukitan, yang di sekelilingnya terdapat benteng alam menyerupai pondasi batu. Di sekitar situs Dayo Mpoluku terdapat ratusan makam tua bernisan batu alam yang belum berukir.
Situs Dayo Mpoluku sendiri, di dalamnya terdapat dua kompleks makam yang ditutupi kelambu kuning. Di pintu gerbang makam, terdapat empat simbol naga. Di dalam kompleks makam ini terdapat dua pohon kamoja, yang diperkirakan berusia ratusan tahun. Kompleks makam pertama yang berada di sisi kiri pintu gerbang, memiliki nisan batu alam, berbentuk seperti kepala ular, dengan balutan kain kuning di nisannya. Di sisi nisan bagian kepala, terdapat sebuah papan nama dari kayu eboni bertuliskan Dewangga. Berdasarkan hasil penelusuran KHST, diketahui Dewangga adalah Tadulako Vonggi.
Di kompleks makam lainnya yang juga diselubungi oleh kelambu kuning, terdapat dua makam. Satu makam dengan nisan batu alam berbentuk seperti kepala ular, dengan payung kuning di kedua sisi nisannya. Makam tersebut merupakan makam tokoh bernama Mantikulore, yang menurut penelusuran KHST, memiliki nama asli Pajoe Gadera, yang merupakan paman dari Lawegasi Bulava (Pue Nggari).
Dalam De West Toradjas op Midden Celebes, disebutkan Pajoe Gadera merupakan anak dari Sandilana dan seorang pangeran dari tanah Mandar (To Mene). Sandilana sendiri merupakan anak dari Sogo Moloemba, kakek buyut Pue Nggari. Pajoe Gadera memiliki dua orang saudara yaitu Tondalabua dan Soedoe Bulava, yang merupakan ibu dari Pue Nggari.
Jika di De West Toradjas op Midden Celebes, Kruyt menyebutkan Pue Nggari adalah “pangeran” dari Vonggi, yang memutuskan untuk hijrah ke dataran yang lebih rendah yaitu lembah Palu, dapat ditarik asumsi, saat itu kepemimpinan di Vonggi dipegang oleh Pajoe Gadera, pamannya. Dalam buku tersebut, tidak disebutkan apakah Pajoe Gadera menikah dan memiliki keturunan.
Kondisi bekas kampung tua Vonggi, kini hanya dapat dilihat dari benteng alam yang terdiri dari susunan batu menyerupai pondasi di sekelilingnya, dan sejumlah makam dengan nisan batu alam. Sebagian makam ada yang menghadap utara-selatan yang merupakan ciri makam Islam dan sebagian menghadap timur-barat, menandakan belum memeluk Islam. Disinyalir, sebagian penduduk Vonggi yang memeluk Islam, disebabkan karena pengaruh To Mene (Mandar), yang menjalin kontak dengan kampung tua tersebut. Asumsi berikutnya, sebagian pemeluk Islam di Vonggi, merupakan pengungsi korban penyerangan To Mene (Mandar) di Tamatumpu (Dolo), yang merupakan daerah asal istri Pue Nggari, yaitu Pue Puti.
Penyerangan tersebut dipicu oleh peristiwa Gau Goa, di mana seorang pria dari Tamatumpu bernama Sampoegi, membunuh kerbau bertanduk panjang milik Magau Palu (Vonggi?). Matinya kerbau yang berasal dari Goa (Gowa) tersebut, memicu kemarahan pihak Palu (Vonggi?) yang kemudian mendatangi Tamatumpu, namun dipukul balik oleh Tamatumpu. Palu (Vonggi?) pun kemudian meminta bantuan kepada To Mene (Mandar) untuk menyerang Tamatumpu.
Diketahui, Pitu Babana Binanga, yang menjadi bagian dari Kerajaan Mandar, terkenal sebagai armada laut dalam perang Gowa-Bone di abad ke 17. Fakta ini menguatkan asumsi bahwa To Mene membantu Palu (Vonggi?) menyerang Tamatumpu, karena hubungan antara Goa (Gowa) dan Palu (Vonggi?), yang disimbolkan lewat seekor kerbau pemberian tersebut. Dengan kata lain, Palu (Vonggi?) saat itu, juga sudah mulai menjalin kontak dengan Gowa.
Jika melihat perkembangan Kerajaan Mandar, yang merupakan penyatuan dari Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga pada akhir abad 16 atau awal abad 17, disinyalir kontak antara Mandar dan Vonggi tersebut, terjadi di antara 1600an hingga 1700an.
Keberadan situs kampung tua Vonggi ini, sudah seharusnya menjadi perhatian Pemerintah Kota Palu. Jangan sampai, beberapa tahun kedepan, lokasi ini dialihfungsikan oleh developer menjadi perumahan, seperti gejala yang tengah marak di sekitar kawasan tersebut. Dengan adanya situs Dayo Mpoluku di kawasan tersebut, tentunya juga dapat menjadi nilai tambah untuk menjadikan kawasan tersebut ebagai salah satu kawasan wisata sejarah.