Pelajaran dari Selembar Brosur

in #writing7 years ago

Dear all Blessed Steemian, apa kabarnya?? Kali ini saya ingin berbagi pengalaman. Selamat membaca☺️

Sabtu sore kemarin saya dan seorang teman bertugas membagikan brosur sebagai bentuk promosi acara kegiatan kami, yaitu English-Chinese Exchange. Suatu acara pertukaran bahasa sebagai sarana latihan berbicara Inggris dan Mandarin. Supaya lebih efektif, saya dan teman saya memutuskan untuk menyasar kaum muda. Jadilah kami berdua berangkat ke Shida Night Market yang memang selalu ramai di malam hari, terutama di malam minggu.

Kami berdua berdiri berseberangan di tepi jalan, dan mulai beraksi. Aku mulai menyapa setiap orang yang lewat sambil mebgulurkan brosur. Saat membagikan brosur tersebut, banyak hal terlintas di pikiranku. Terutama apabila mereka sama sekali tidak merespon senyum dan sapaanku yang disertai dengan brosur yang terulur. Banyak orang yang mengabaikan begitu saja. Banyak juga yang tersenyum sopan dan menolak. Dan banyak yang memberikan kode dengan tangannya tanda menolak dan lebih banyak yang menghindar.

Awalnya aku sempat kesal karena aku pikir kegiatan itu sangat bermanfaat bagi mereka dan mungkin saja mereka sedang membutuhkannya, namun mereka langsung menolak tanpa tahu apa isi brosur tersebut. Aku bahkan sempat singgah ke toko elektronik yang berada tempat di belakangku berdiri saat itu dan membeli kabel charger hp. Lalu aku berpikir dan mengingat-ingat, mungkin aku juga sering melakukan hal yang sama. Aku juga teringat dengan buku Mimpi Sejuta Dollar-nya Merry Riana. Di buku itu Merry Riana juga bercerita pengalamannya membagi-bagi brosur saat kuliah di Singapur dan bagaimana dia memikirkan strategi terbaik untuk membagi brosur. Pikiran itu menolongku untuk memulai lagi dengan semangat dan tersenyum.

Dulu saat awal kuliah di Taiwan, aku memiliki pengalaman membagi-bagikan brosur di salah satu toko elektronik di under ground-nya Taipei Main Station. Saat itu aku harus berdiri seharian dan pengalaman sehari dan pertamakali itu cukup berat buatku. Di tambah lagi malam harinya saat akan pulang dan menerima gaji, sang Laoban menegurku. Katanya saat membagi brosur tidak perlu mengikuti orangnya kalau mereka sudah menolak, itu membuat reputasi toko menurun dan orang tersebut mungkin tidak suka.

Berbekal pengalaman itu dan cerita Merry Riana, akupun mulai mengubah strategi. Jika Merry Riana sengaja memilih membagikan brosur di depan escalator, aku memutuskan untuk tidak asal menyapa dan mengulurkan brosur. Aku mulai memperhatikan lebih seksama. Aku mengamati mereka yang lewat dan mencoba kontak mata dengan mereka. Aku mulai memilih. Mereka yang menghindar dan mengabaikan kontak mata, saya biarkan saja lewat. Sama halnya dengan mereka yang berjalan buru-buru dan ramai-ramai. Aku juga mulai memperhatikan penampilan mereka, ini mungkin terdengar kurang baik karena orang bilang don't judge a book by its cover, tapi yah dalam hal ini cukup menolongku dan bisa mengurangi rasa kecewa akibat penolakan bertubi-tubi😉. Hasilnya brosur di tanganku akhirnya habis. Melihat hal brosurku habis, teman yang berdiri di seberang jalan menghampiriku dan memberiku sebagian brosurnya. Akupun mulai beraksi untuk sesi kedua.

1526358963585_1.jpg
Contoh brosur yang kami bagi-bagi

Saat aku sibuk memperhatikan dan memilih orang-orang yang akan kuberi brosur, seorang pria dan wanita berhenti di depanku. Akupun memperhatikan mereka karena mereka yang pertama sengaja berhenti di depanku. Pria dan wanita tersebut kira-kira berumur 40-an dan si pria, dari pengamatanku, memiliki kemampuan dan mental istimewa atau sering disebut autis. Sementara yang wanita mungkin saja penjaganya. Wanita tersebut membujuk si pria pergi dengan lembut, tapi si pria menolak dan tetap berdiri di depanku. Aku tentu saja kebingungan karena mereka berdiri di depanku sampai hampir 5 menit. Wanita tersebut memberiku tatapan minta maaf dan aku tersenyum. Aku mengamati wajah pria tersebut dan melihat matanya sesekali melirik brosur di tanganku. Akhirnya, akupun paham, dia juga ingin diberi brosur. Aku memberikan brosur kepadanya sambil tersenyum dan mengatakan xie-xie. Pria tersebut menerimanya dengan senyum cerah dan langsung melangkah girang. Saat mereka pergi, wanita tersebut menoleh padaku dan tersenyum.

Begitulah, selembar brosur yang sebenarnya kami tujukan untuk kaum muda yang berminat pertukaran bahasa Inggris dan Mandarin, ternyata diingini oleh seorang pria yang secara isi tidak membutuhkannya. Tapi dia melihatku memberi brosur itu kepada orang lain yang lewat dan ingin diberi juga. Dia ingin masuk hitungan, dan tak ingin berlalu begitu saja. Ketika aku sibuk mengamati dan memilih, dia menyodorkan dirinya. Dia yang dalam pandanganku tidak masuk golongan orang-orang yang butuh. Dia yang dalam pandanganku tidak masuk sasaran penerima brosur justru, mungkin saja, adalah orang yang paling membutuhkannya. Bukan secara isi, tapi secara perlakuan. Orang-orang yang menurutku masuk kriteria target acara, justru menghindar, menolak, ataupun mengabaikanku.

Bukankah dalam keseharian hidup, mungkin saja, kita terlalu sering begitu?

IMG-20180406-WA0011.jpg

Sort:  

Aq tengah membayangkannya hhhh, mungkin sama sama cerewet nya atau senyum nya, Merry dan Bety 😁😁😁

Mana ada orang cerewet bagi brosur, yang ada ramah gak ketulungan.

Hhhhhh iya deh iyaaaa mba betty ramah bangeeeet, 😊😊😊

Perjuangan mbak @bethnao aku sering bepergian dengan laopaniang naik mobil, di jalan lampu merah ada yang membagi brosur tapi tak satupun pengendara yang mau menerima. Padahal panas duhh perjuangan banget

Iya, kadang nyesek banget, mbak.

Begitulah orang yang haus belajar. Tak mengenal umur

Salute akan kegigihan Mba @betty😍