Empat Penunggang Kuda dan Kalam Atheisme Baru
Polemik mengenai saintisme, filsafat, dan agama, yang dipicu oleh debat antara Goenawan Mohamad dan A. S. Laksana, telah berkembang ke mana-mana hingga perkara sains dan atheisme baru. Saya hendak urun rembuk dalam polemik ini dengan menguraikan sejarah kelahiran atheisme, lalu melihat perbedaan pandangan atheisme baru ini dalam konteks sejarah tersebut.
*Source: Pixabay*
Dalam 250 tahun terakhir, demikian disimpulkan Graham Oppy (2017), pandangan atheistik terus "laku di pasar" Barat. Fenomena mutakhir adalah larisnya buku-buku karya penganut atheisme baru yang sering disebut sebagai "empat penunggang kuda": Richard Dawkins, Sam Harris, Daniel Dennett, dan Christopher Hitchens. Pemikiran mereka dapat ditengok dalam sejumlah karya: Dawkins dengan The God Delusion (2006), Harris The End of Faith: Religion, Terror and the Future of Reason (2004), Dennett Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (2006), dan Hitchens God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (2007). Istilah "empat penunggang kuda" ini dipungut kisah Empat Penunggang Kuda Hari Kiamat dalam Kitab Wahyu yang melambangkan datangnya iblis di akhir masa. Tentu ada sejumlah tokoh lain tapi jarang diperbincangkan, seperti dua muslim yang menjadi atheis, Ibn Warraq dan Ayaan Hirsi Ali. Orang seperti Jim Holt dan Alan Lightman kadang mengkritik para atheis baru lain tapi lebih pada penekanannya ketimbang substansinya.
Apa sebenarnya atheisme baru itu? Sebenarnya tak ada definisi atau manifesto yang eksplisit mengenai hal ini. Atheisme pun tidak mudah didefinisikan. Michael Martin menunjukkan dalam "Atheism Defined and Contrasted" (1990) luasnya cakupan istilah "atheisme" karena gagasannya dekat dengan skeptisisme, agnotisme, naturalisme, rasionalisme, positivisme, dan humanisme. Batasan sederhana David Fate Norton dalam "Hume, Atheism, and the Autonomy of Morals" (1991) untuk sementara dapat kita gunakan.
Norton merumuskan atheisme sebagai pandangan orang yang mempertahankan kebenaran (atau mungkin hanya kemungkinan) dari salah satu dari proposisi berikut:
- Tidak ada Tuhan, tidak ada penyebab pertama dari alam semesta.
- Ada atau mungkin ada Tuhan tetapi dia tidak tertarik pada urusan alam semesta; ada atau mungkin Tuhan, tetapi tidak ada Takdir Ilahi yang membimbing urusan manusia.
- Manusia tidak memiliki jiwa yang abadi dan karenanya tidak ada pahala dan hukuman eternal atau ilahi; jiwa manusia, akibatnya, bebas dari hukuman.
Atheisme bukan hal yang baru dalam peradaban manusia. Saya ringkaskan di sini paparan Oppy yang meninjau atheisme secara historis.
Pada abad ke-16 dan ke-17, dakwaan terhadap atheisme adalah masalah serius. Beberapa orang dieksekusi karena menjadi "atheis", seperti Etienne Dolet, Lucilio Vanini, dan Christopher Marlowe. Ada pula yang dipersekusi karena pandangan atheisnya. Berjatuhannya para martir ini tampaknya telah menyuburkan pandangan muram bahwa agama--dalam hal ini gereja--bertentangan dengan sains, sesuatu yang menjadi alasan pentingnya atheisme.
Namun, cap "atheis" ini sering bercampur aduk dengan deisme, yang banyak dianut intelektual Barat di zaman tersebut. Deisme percaya kepada eksistensi ada yang tertinggi (supreme being) berdasarkan analisa rasional tapi menolak campur tangannya dalam kehidupan manusia. Bagi sebagian penganutnya, deisme adalah versi Kristen yang "dimurnikan"--menghapus keajaiban, wahyu, dan semua aspek dari kenabian Kristus. Bagi sebagian lain, deisme bukan sejenis Kristen tapi ajaran hidup dan moral Yesus tetap dipertahankan. Namun, sebagian yang lain menolak Kristen seluruhnya.
Voltaire adalah deis tapi masih menjalani berbagai peribadatan Kristen. Adapun pengikutnya, Diderot, jelas atheis dan menjadi musuh Kristen. Namun, di tengah tekanan sosial politik, Diderot toh menahan diri untuk mempublikasikan kepercayaannya. Hal serupa dialami David Hume, yang tidak menerbitkan Dialogues Concerning Natural Religion (1779) selama hidupnya dan buku itu baru terbit dua tahun setelah dia wafat.
Keadaan berubah setelah Paul-Henri Holbach menerbitkan Christianity Unveiled (1766), salah satu karya atheistik dan irrelegius yang terbuka. Sejak itu bahaya bagi atheis dan irrelegionis untuk mempublikasikan gagasannya semakin kurang. Perubahan signifikan terjadi saat Revolusi Prancis dan khususnya aktivisme Jacques Herbert dan Pierre Gaspard Chaumette dengan gerakan Cult of Reason. Chaumette mendeklarasikan: "kaum Kristen adalah musuh akal, gagasan mereka konyol...." Thomas Paine lalu memungut ide deisme dan memperkenalkannya untuk pembaca awam dalam The Age of Reason (1794), buku laris pada masanya.
Di abad ke-19 dan selanjutnya, muncul banyak akademisi terkenal yang menyumbang dalam pembahasan mengenai atheisme dan irreligion, seperti Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Engels, Charles Darwin, Friedrich Nietzsche, Emile Durkheim, Jean Paul Sartre, dan seterusnya.
Para intelektual yang terlibat dalam perbincangan atheisme di atas kita sebut saja sebagai "atheisme lama". Dalam dekade terakhir, muncul apa yang kini disebut "atheisme baru". Tokohnya banyak dan di antara yang terkenal adalah "empat penunggang kuda": Richard Dawkins, Sam Harris, Daniel Dennett, dan Christopher Hitchens. Argumennya kebanyakan mengulang apa yang telah diajukan pada abad-abad sebelumnya. Bedanya, mereka kini punya banyak stok pengetahuan, dari fisika, biologi, arkeologi, teks-teks kuno, dan seterusnya. Namun, apakah atheis baru ini sungguh-sungguh berbeda dari atheis lama?
Oppy mencoba memaparkan setidaknya empat ciri umum penganut atheisme baru: atheis, naturalis, dan irrelegionis. Sebagai atheis, mereka tak percaya pada keberadaan tuhan, daya atau sesuatu yang supernatural yang memiliki kuasa atas dunia tanpa dirinya sendiri dikuasai oleh sesuatu yang lain. Sebagai naturalis, mereka percaya bahwa hanya ada entitas kausal alam yang tak memiliki apa pun kecuali kekuatan kausal alam, seperti hukum alam. Sebagai irrelegionis, mereka menolak semua bentuk agama, yang sering mereka rujuk sebagai social evil--ini lebih dekat dengan makna "penderitaan sosial". Social evil dipandang bukan sebagai penderitaan alamiah tapi akibat pilihan bebas manusia.
Brian Davies OP, dalam "The New Atheism: Its Virtues and its Vices" (2010), menyimpulkan tiga hal yang membedakan para atheis baru ini. Pertama-tama, Tidak seperti atheis lama, atheis baru cenderung untuk menekankan sains sebagai penyangkalan terhadap apa yang dipercaya agama. Atheis lama, seperti Bertrand Russell, cenderung pada mempersoalkan rasionalitas agama. "Argumen-argumen yang membela adanya Tuhan hanyalah argumen yang buruk; maka kita tak punya alasan untuk percaya pada Tuhan," kata Russell. Atheis baru, sebaliknya, cenderung untuk menilai bahwa siapa yang percaya pada Tuhan mutlak bisa ditolak oleh argumen ilmiah--yang berdasarkan pada evolusi.
Kedua, atheisme baru juga punya dimensi politik, yang tak banyak muncul dalam kalam para atheis lama. Bagi Davies, atheis lama pada dasarnya adalah orang-orang yang kita bayangkan sebagai "filsuf yang duduk di kursi". Mereka cenderung cukup bahagia saat berpendapat bahwa Tuhan tidak ada dan kemudian mengesampingkan masalah itu. Sebaliknya, atheis baru mendorong kita meninggalkan kursi dan mengubah cara kita berpikir dan bertindak. Biasanya mereka ingin kita menghapus kepercayaan religius kita, khususnya kepercayaan terhadap Tuhan, dan menjadi anggota aktif dari apa yang disebut sebagai "gerakan pembebasan atheis" yang bertujuan untuk menghapus agama, yang setara dengan gerakan yang mempromosikan persamaan ras dan feminisme. "Agama meracuni segalanya," kata Hitchens, sehingga perlu kampanye aktif melawannya.
Ketiga, eksponen atheisme baru menulis secara luas dengan sedikit rujukan pada sejarah theologi. Mereka sering berbicara tentang sesuatu yang disebut "agama" dan, khusus pada Dawkins dan Hitchens, "kepercayaan pada Tuhan". Namun, apa itu agama dan apa itu Tuhan masih kabur dalam paparan mereka.
Saya ingin menambahkan ciri keempat, yang dipaparkan oleh Wayne Glausser dalam "The Rhetoric of New Atheism" (2016), mengenai "magisteria yang tak-berhimpitan" (non-overlapping
magisteria) atau NOMA yang digagas ahli biologi evolusioner dan paleontolog Stephen Jay Gould pada 1997. Intinya, menurut Gould, sains atau ilmu pengetahuan dan agama berada di wilayah penyelidikan yang berbeda, fakta versus nilai, sehingga keduanya mempunyai perbedaan "jaringan" yang memiliki magisterium atau domain otoritas pengajaran yang sah masing-masing yang tidak dapat saling tumpang tindih. Ini semacam bentuk kompromi dalam mendudukkan posisi sains dan agama. Atheis baru, seperti Dawkins, menolak kompromi NOMA karena, bagi mereka, penalaran ilmiah berhimpitan dengan ajaran agama, apa yang ditemukan sains berdampak pada kepercayaan keagamaan.
Ciri-ciri ini menunjukkan posisi atheisme baru dalam sejarah atheisme sekaligus kelemahan argumen-argumen mereka. Pandangan mereka lemah secara epistemologis dan ontologis. Kritik terhadap atheisme baru sudah banyak bermunculan. Tinjauan dari berbagai pendekatan dapat dibaca, misalnya, dalam Religion and the New Atheism: a Critical Appraisal (2010) yang disunting oleh Amarnath Amarasingam.
Kelemahan dasar dari atheisme baru adalah argumen-argumen mereka yang lebih banyak dipenuhi dengan retorika ketimbang bangun pemikiran yang kukuh. Wayne Glausser, dalam "The Rhetoric of New Atheism" (2016), misalnya, Glausser menemukan sejumlah permainan retorika dalam kalam para atheisme baru ini, seperti bentuk apodioksis, aporia, dan paralepsis.
Para atheis baru ini tak dapat menjawab atau menghindari pertanyaan kosmologi paling dasar: mengapa dunia ada atau mengapa ada sesuatu daripada tidak sama sekali? Harris membahas masalah ini secara singkat lalu meninggalkannya dengan menyebutnya sebagai "misteri absolut" yang selamanya kabur bagi penyelidikan rasional.
Jim Holt membahasnya dalam Why Does the World Exist? An Existential Detective Story, yang berisi hasil wawancaranya dengan ilmuwan, filsuf, dan theolog. Namun, bukunya berakhir dengan aporia ketimbang upaya seorang detektif untuk memecahkan misteri tersebut. Holt misalnya mewawancarai David Deutsch, fisikawan Oxford. Dia bertanya: mengapa ada sesuatu daripada tidak sama sekali?
Deutsch berkata: "Saya tidak percaya bahwa penjelasan ultim tentang realitas itu mungkin. Tapi tak berarti bahwa ada batas untuk apa yang manusia bisa jelaskan. Kita tak pernah berlari menabrak tembok bata yang mengatakan 'Tak ada penjelasan di balik titik ini'. Di pihak lain, saya tidak berpikir bahwa kita akan menemukan sebuah tembok bata yang mengatakan 'Inilah penjelasan ultim untuk segala sesuatu'. Pada kenyataannya, dua tembok bata ini hampir sama. Jika, qua kemustahilan, kamu mencapai penjelasan ultim, itu artinya masalah filsafat tentang mengapa ada penjelasan yang benar--mengapa realitas ada dengan cara ini dan tidak dengan cara lain--akan selamanya tak terpecahkan."
Deutsch menggunakan aporia dengan metafor "tembok bata" yang tak dapat ditembus. Dia pada mulanya tidak percaya ada tembok bata tapi kemudian berpendapat bahwa tembok bata itu mungkin ada jika melampaui tembok berarti menemukan jawaban terhadap mengapa kita berada di dunia seperti sekarang.
Retorika lain adalah paralepsis, yakni mengesampingkan sesuatu sebagai hal yang tak layak dibahas. Salah satu atheis baru yang menggunakan retorika ini adalah Alain de Botton. Dalam Religion for Atheists, dia terang-terangan menolak semua argumen untuk atau menentang eksistensi Tuhan. "Pertanyaan paling membosankan dan tak produktif yang orang dari agama mana pun ajukan adalah apakah hal ini (eksistensi Tuhan) benar atau tidak", katanya dan lalu menyimpulkan, "Untuk menghemat waktu, ..., mari kita katakan terus terang bahwa tentu saja tak ada agama yang benar dalam setiap makna pemberian Tuhan."
Cara lain adalah menggunakan apodioksis, menolak argumen lawan sebagai hal yang jelas tak masuk akal atau absurd. Christopher Hitchens adalah juaranya di kalangan atheis baru. Dia sering menolak argumen berbasis kepercayaan dengan cara seperti ini:
"Seseorang harus menyatakannya dengan jelas. Agama berasal dari periode prasejarah manusia ketika tidak seorang pun--bahkan Demokritos yang perkasa yang menyimpulkan bahwa semua materi terbuat dari atom--memiliki gagasan terkecil tentang apa yang sedang terjadi. Itu berasal dari masa dini spesies kita yang meratap dan menakutkan, dan merupakan upaya kekanak-kanakan untuk memenuhi keingintahuan kita yang tak terhindarkan (juga untuk kenyamanan, kepastian, dan kebutuhan masa kanak-kanak lainnya). Kini, anak-anak saya yang paling tidak berpendidikan pun tahu lebih banyak tentang tatanan alam daripada pendiri agama mana pun, dan orang ingin berpikir... bahwa itulah sebabnya mereka tampak tidak begitu tertarik untuk mengirim rekan-rekannya ke neraka."
Dengan berargumen seperti itu, sebenarnya sulit membawa polemik tentang atheisme baru ke ranah filsafat, agama, atau sains. Mereka berkhidmat pada sains tapi sebetulnya tak menerapkan metode ilmiah yang memadai ketika mempersoalkan eksistensi Tuhan dan agama. Dalam banyak hal, mereka tak menyumbang apa pun dalam perbincangan mengenai Tuhan, alam, dan manusia dalam kosmologi, ontologi, maupun etika.
Bogor, 6 Juli 2020
#blogiwankwriting #jakarta #indonesia #steemitbudaya #steem #steemit #budaya #life #culture #writing #story #literature #literary #book #filsafat #philosophy
I hope you like my work. Please upvote and resteem this post and follow @blogiwank if you support me.
As a follower of @followforupvotes this post has been randomly selected and upvoted! Enjoy your upvote and have a great day!