BERTANYA TENTANG KEBUDAYAAN KEPAHIANG

in #writing7 years ago

136b2099-d2ed-43e0-875c-b3156e50520c.jpg
Situs Batu Pejemuran, Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang - Bengkulu. Walaupun telah diregistrasi di Sistem Registrasi Cagar Budaya Nasional belum diteliti secara khusus. Masih berupa asumsi-asumsi mengenai fungsi dan kalanya

Dalam sebuah obrolan berdua dengan Bapak Hidayattullah Sjahid, Bupati Kepahiang saat ini, suatu sore di rumah dinas beliau, saat membicarakan tentang rencana penulisan sejarah Kepahiang, penulis mengemukakan sebuah pernyataan “pancingan”, bahwa jika banyak hal dari mengurus kebudayaan hanya membuang uang, tidak begitu banyak berhasil dalam menghasilkan apa yang biasa disebut dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk Kabupaten Kepahiang.
Sungguh, penulis mendapatkan sebuah jawaban yang sangat menyenangkan. Beliau menjawab, paradigma demikian tidak boleh terjadi di Kabupaten Kepahiang, bahwa tidak semua hasil pembangunan sedikit-sedikit harus diukur dengan uang. Hal-hal yang menyangkut dewasanya manusia, cerdasnya kehidupan bangsa, kenalnya masyarakat dengan identitas mereka dan tingginya nilai kesantunan adalah juga hasil pembangunan yang sering nilainya lebih dari material.
Dan, penulis sangat yakin, bahwa itu adalah sebuah jawaban yang begitu tulus.


IMG_20170408_130119.jpg
Menhir Keris, Desa Keban Agung, Kabupaten Kepahiang - Bengkulu, disalahtanggapi oleh masyarakat sebagai nisan sebuah makam tua

Ketika ada pertanyaan “apa” itu Bengkulu, maka mungkin akan segera mendapat jawaban. Bengkulu itu adalah Benteng Marlborough, Bengkulu itu adalah Tabot, Bengkulu itu adalah Pantai Panjang, Bengkulu itu bagar hiu, Bengkulu itu adalah ikan Pais. Namun, ketika pertanyaan ontologis itu kita ajukan ke negeri kita yang tercinta ini, Kepahiang, apakah jawabannya akan semudah itu juga?

Pentingkah itu untuk dijawab? Sementara pernah ada pernyataan yang mengatakan jika Bahasa Rejang jika telah keluar Kepahiang, maka tidak akan berharga lagi bahasa itu. Untuk apa menyelamatkan situs lokasi gugurnya Letnan Kolonel Santoso, jika keberdirian sebuah obyek ekonomi lebih menjawab kepentingan pembangunan?

Namun, tidak bisa cepat menjawab penting atau tidak itu, sebelum kita menjawab dulu sebuah pertanyaan, kita mau atau tidak peduli dengan kebudayaan kita sendiri.

Teori mengatakan, bahwa budaya itu melunakkan hati, memberikan citra romantisme. Citra inilah yang kemudian menuntut kita memerlukan sebuah identitas atau jati diri. Identitas yang kemudian secara ideal akan semakin membangkitkan kecintaan terhadap daerahnya, lalu memberikan motivasi andil dalam pembangunan kemajuan daerah.

Itu kata teori, namun kenyataannya, memang keinginan manusia untuk tampil dan hadir di dunia atau universum, tidak hanya sekedar ada. Diperlukan persiapan untuk manusia melaksanakannya, agar kehadirannya memiliki makna, baik bagi dirinya maupun orang lain. Situasi estetis yang diperhitungkan dalam persiapan untuk hadir memungkinan makna ini akan dapat dimunculkan. Mengapa menyambut tamu tak cukup hanya dengan sekedar berjabat tangan saja, tetapi akan ada sejumlah adegan “bertele-tele”, dari tariannya, pencak silatnya, lalu ada petatah-petitih, hingga makan sirih.

Ya, “bertele-tele”. Namun, inilah bagian identitas, yang sangat ingin ditampakkan sebagai kehalusan dan kesopanan prilaku kita dalam bertata krama! Sebuah rangkaian upacara diatur untuk memperlihatkan jika kita beradab.
‘Ada’-nya manusia ditandai dengan dinamikanya. Dalam dinamika ini, aktivitas manusia tidak hanya sekedar untuk menunjukkan dia hidup dan ada, tetapi lebih jauh lagi bagaimana cara manusia itu tidak sekedar hadir, yang mengarahkan manusia sebagai eksistensi. Manusia lalu menciptakan irama dalam hidupnya. Ini pangkal estetika pada manusia. Estetika telah menjadi bagian dari dinamika manusia.

Dengan adanya estetika manusia manusia mengaktifkan dirinya dan menciptakan bentuk-bentuk dalam kehidupannya, dimana pada saatnya bentuk-bentuknya akan menjadi kebudayaan bagi manusia. Estetika yang berangkat dari karsa, rasa dan cipta manusia membuat hidup manusia menjadi berirama. Ketiadaan estetika membuat hidup manusia kering, rutinitas dan tidak ada up and down. Dengan demikian, estetika merupakan eksistensi manusia itu sendiri, yang ‘ada’ (being) dalam tiap produk budaya manusia, yang kemudian membuat manusia menjadi mahluk yang berperadaban.

Secara umum masyarakat Kepahiang adalah masyarakat rural yang berorientasi urban. Mayoritas masyarakat Kepahiang memang berdiam di wilayah berstruktur pedesaan, namun pesatnya kemajuan teknologi membuat masyarakat pun mulai bersentuhan akrab dengan hasil-hasil peradaban masyarakat kota. Luasnya perkenalan dengan sepeda motor, maka kita tak akan banyak menemukan lagi orang desa pergi ke kebun atau sawah dengan berjalan kaki. Bobot kerbau hanya tinggal kenangan masa lalu. Teriakan-teriakan di ladang dari pondok ke pondok rasanya telah digantikan dengan komunikasi via telepon selular. Gadget pun bukanlah hal yang asing lagi berdampingan dengan bokor sirih nenek-nenek kita di desa.
Dalam kondisi ini, masihkah masyarakat Kepahiang dapat menjawab apa itu kebudayaan mereka, di saat gagasan-gagasan individual yang berorientasi urban mulai perlahan melamurkan gagasan-gagasan kolektif masyarakat Kepahiang terhadap wajahnya sendiri?
Mari secara a priori kita menjawabnya: “mungkin masih!”. Mungkin masih ada jawaban apa makanan khas Kepahiang. Mungkin masih ada jawaban terbata-bata bagaimana bentuk upacara adat yang ada di masyarakat Kepahiang.
Tetapi, permasalahannya sekarang bukanlah dapat menjawab atau tidak, melainkan pertanyaan itu sudah pernahkah ditanyakan atau belum?
Tak dipungkiri, secara fenomenologis kita berhadapan dengan anggapan bahwa kebudayaan adalah urusan “membangkitkan batang terendam”, sekedar mengorek-ngorek masa lalu. Atau yang sedikit fungsional, akan beranggapan bahwa kebudayaan harus memiliki nilai pragmatis. Dalam kerangka materialistik, katanya jika tidak memberikan andil maka kebudayaan-kebudayaan yang telah usang itu dikubur saja. Tarian, musik, upacara atau produk kebudayaan lainnya harus dapat dikapitalisasikan.
Dengan kesadaran kita semua, bahwa rasa, cipta dan karsa yang ada dalam produk-produk itu tidak bisa dijual, karena semuanya itu ada (have) dalam diri pendukung-pendukungnya yang kemudiam bertransendensi menjadi identitas, harga diri dan kearifan pribadi.
Kita percaya, sentimen estetika masyarakat Kepahiang terhadap rasa, cipta dan karsa kehidupannya masih ada dan tersimpan secara imanensial, walau mungkin teramat dalam. Masih ada jawaban tentang siapa kita, identitas kita, yang hampir terlupakan untuk ditanyakan.
Tentu, untuk mendapatkan jawaban atas imanensi itu, maka kita harus bertanya. Siapakah kita? Bagaimana wajah kebudayaan kita?
Namun, lagi-lagi, untuk bertanya itu kita harus mau peduli dulu, karena tanpa kepedulian, kita akan pernah mau tahu rupa peradaban kita.

Sort:  

Kita turut prihatin bang. Bukan saja di daerah abang kejadian ini. Ketidakpedulian pemerintah terhadap pelestarian cagar budaya rupanya telah terjadi pula di berbagai daerah dengan alasan membuang anggaran. Padahal peninggalan cagar budaya adalah salah satu cara untuk memberitahu anak cucu dan generasi selanjutnya akan kehebatan setiap daerah yang ada.

Salam takzim.

Kabupaten Kepahiang baru berusia 14 tahun. Masih gagap dalam menemukan orientasi. Kebudayaan tentu saja jadi urusan belakangan. Kita berharap, kedepan akan ada kebijakan2 yang berpihak kepada kebudayaan.

Salam takzim juga, Mas.

Ayo bang @emong.soewandi gerakkan supaya cagar budaya di daerah kita terus dipelihara jangan sampai hilang dibawa arus zaman.

insyaAllah, Ana. Abang saat ini hampir merampungkan buku sejarah Kabupaten Kepahiang, yang sekaligus juga akan mengoreksi sejarah Rejang umumnya. Doakan agar abang tabah dan kuat.

Bahkan, saya saja baru mendengar nama Kabupaten Kapahiang ini. Tulisan ini memberi informasi baru bagi saya yang masih jauh sekali mengenal lebih dalam budaya kita.

Terima kasih sudah mampir. Kabupaten Kepahiang baru berusia 14 tahun. Sebuah kabupaten baru di wilayah pegunungan Bukit Barisan, 70 km dari Bengkulu, yang mungkin masih gamang mencari bentuk.