LELA RENTAKA REJANG
Lela Rentaka Kabupaten Kepahiang (Bengkulu), ukuran 25 cm, berat 17 kg. Tersia-sia, tersimpan di gudang bersama alat-alat pertanian di sebuah rumah penduduk.
Penemuan lela rentaka di Kabupaten Kepahiang merupakan surprise tersendiri. Di negeri yang hampir kabur kesejarahan dan kebudayaan ini ternyata masih (secara tidak sengaja) ditemukan.
Dalam kisah lisan, diceritakan bahwa sebuah lela rentaka yang disulut dari Dusun Temedak, ledakannya akan terdengar hingga ke Dusun Limbur, yang jika ditarik garis lurus kedua dusun itu mencapai jarak kurang lebih 13 km
Rejang merupakan suku bangsa terbesar di Provinsi Bengkulu. Dengan bahasa yang khas (tidak termasuk keluarga bahasa Melayu), suku ini juga merupakan salah satu suku bangsa tertua di Sumatera. Di Provinsi Bengkulu, masyarakat Rejang berdomisili di Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Bengkulu Utara.
Pada masa-masa lampau, orang-orang Rejang tidak pernah tunduk kepada raja-raja di pesisir, seperti Sungai Serut (Bengkulu hari ini), sebaliknya lebih dekat kepada Kesultanan Palembang. Untuk kepentingan itulah, Sultan Palembang secara rutin mengutus utusannya yang disebut Jenang ke wilayah Rejang.
Dalam menjalankan tugasnya, jenang-jenang utusan Sultan Palembang biasanya membawa beberapa pengawal bersenjata senapan dan disertai beberapa orang budak. Budak-budak itu bertugas untuk membawa panji-panji kesultanan, bekal makanan, hadiah-hadiah dari sultan, sebagai pembawa payung dan senapan, sebagai juru tulis dan pembawa lela rentaka.
Lela rentaka adalah sebuah meriam kecil yang berdaya ledak tinggi. Secara umum lela rentaka tidak berfungsi sebagai senjata, namun lebih berfungsi sebagai simbol kekuasaan.
Terbuat dari besi curah padat, yang walaupun kecil namun lela rentaka sangat berat, hingga ada yang mencapai 17-100 kg. Suara ledakan lela rentaka ini akan menggema di hutan-hutan hingga mencapai pemukiman-pemukiman masyarakat yang saling berjauhan. Dengan terdengarnya suara lela rentaka itu menjadi pertanda adanya kedatangan jenang bagi masyarakat ke wilayahnya, untuk kemudian masyarakat atau kepada dusun datang menuju sumber suara. Lela rentaka juga diberikan oleh Sultan Palembang kepada pasirah-pasirah di Rejang Musi-Tengah, selain sebagai tanda restu dan hadiah, fungsi sosialnya pun sama halnya dengan jenang, yakni sebagai alat untuk mengumpulkan masyarakat.
Lela rentaka memiliki suara yang berbeda-beda, sehingga dengan kekhasan suara ledakannya itu membuat rakyat tahu jenang atau pasirah siapa yang membunyikannya. Diyakini bahwa lela rentaka-lela rentaka yang diberikan Sultan Palembang adalah buatan Portugis. Lela rentaka juga akan dibunyikan jika ada peristiwa-peristiwa istimewa yang menimpa dusun, ada warga yang meninggal atau bencana alam. Hingga hari ini pun, lela rentaka dipercaya akan berbunyi sendiri jika ada peristiwa-peristiwa istimewa yang melanda desa.
Orang setempat yang ditunjuk untuk menjadi wakil jenang juga diberikan sebuah lela rentaka, atau mungkin dipinjami oleh jenang. Lela rentaka dengan ukuran 25 cm, yang dimiliki oleh Bapak Syarifudin diperoleh dari ibunya, Rahuna binti Mad Sen (istri kedua Pasirah Sedin bin Jelian), yang merupakan cucu dari Geti Alam, wakil jenang Kesultanan Palembang untuk wilayah Marga Merigi. Diperkirakan Geti Alam menjadi wakil jenang pada tahun 1810-an.
Lela rentaka lainnya yang ada di Kabupaten Kepahiang. Berada di Desa Kelobak, yang saat ini telah diregistrasi sebagai cagar budaya. Dari penelusuran lebih lanjut juga, lela rentaka yang berada di Kelobak bukan berasal dari masa kolonial Belanda, namun sangat mungkin sekali berasal dari masa yang lebih awal lagi. Kuat dugaan, lela rentaka Kelobak juga merupakan simbol kekuasaan seorang penguasa atau pasirah Merigi (Kelobak merupakan pusat Petulai/Marga Merigi), yang juga diberikan oleh Sultan Palembang.
Lela Rentaka Kabupaten Kepahiang, ukuran 126 cm, berat 63 kg. Sekarang telah diregister sebagai cagar budaya.
Pada masa-masa berikutnya, lela rentaka sebagai alat mengumpulkan masyarakat dan sebagai simbol kekuasaan telah menjadi benda yang dikeramatkan, termasuk menjadi benda yang dipakai untuk sumpah kelamuan, sebagaimana lela rentaka yang ada di Kelobak. Beberapa lela rentaka yang ada pada masa sekarang dibungkus kain putih dan ditempatkan pada tempat yang tidak memungkinkan benda itu terlangkahi kaki manusia. Selain di Suro dan Kelobak, lela rentaka juga ditemukan di Desa Temedak, Kecamatan Tebat Karai.
MESIU TRADISIONAL
Mesiu merupakan bahan penting dalam peperangan. Tanpa mesiu, senapan atau pun meriam tidak akan ada gunanya. Pengawal-pengawal Jenang biasanya membawa senapan, bahkan pada beberapa pasirah, pengawal-pengawalnya telah dibekali senapan. Saat perang melawan Jepang atau Belanda, banyak orang-orang Rejang juga masih menggunakan senapan lontak (musket), meriam sundut dan beberapa lela rentaka. Senjata-senjata ini menggunakan amunisi yang dibuat secara tradisional. Termasuk ranjau darat (bom tarik, landmine) yang dipergunakan pada masa agresi militer masih ada yang menggunakan mesiu tradisional.
Bahan-bahan tradisional yang dikenal masyarakat Rejang untuk membuat mesiu (di sini tanpa disertai komposisi):
- Guano (kotoran kelelawar) basah.
- Kotoran kambing basah yang telah dipendam kurang lebih dua minggu sebelumnya dalam tanah. Pada masa-masa agresi militer bahan ini mulai digantikan oleh garam inggris (magnesium sulfat).
- Belerang
- Perasan air batang unji (kecombrang, honje) (Etingera elatior)
- Arang batang cabai (Capsicum)
- Cara pembuatan:
- Arang dari batang cabai ditumbuk hingga menjadi halus, menyerupai tepung.
- Guano dicampur dengan kotoran kambing kemudian diaduk rata dan dimasak (Adonan I).
- Adonan I, belerang dan perasan air batang unji dicampur lalu diaduk hingga menjadi sebuah adonan (Adonan II).
- Adonan II dimasak dalam sebuah belanga tanah. Selama pemasakan harus terus diaduk, hingga berbentuk bubur yang kental.
- Setelah menjadi bubur, tepung arang dimasukkan secara perlahan sambil terus diaduk juga secara perlahan untuk menjadi bubur mesiu. Api untuk memasak pada bagian ini tidak boleh besar. Pengadukan juga harus dilakukan dengan bahan yang terbuat dari kayu.
- Bubur mesiu panas yang telah kental dengan menggunakan daun pisang dijemur di terik matahari. Selama penjemuran, harus dijaga jauh dari api.
- Setelah bubur mesiu kering dan menjadi padat, secara perlahan ditumbuk hingga menjadi tepung. Tepung mesiu ini kemudian ditempatkan dalam tabung-tabung bambu, harus dijaga dari kelembaban, serta dijaga juga jauh dari api.
- Bahan siap dipergunakan.
Jika tepung mesiu lembab harus dijemur kembali. Namun, jika basah, tepung mesiu menjadi rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Tepung atau bubuk mesiu itu akan dimasukkan ke dalam senapan atau meriam melalui larasnya. Kemudian dengan sebatang tongkat kayu, bubuk itu ditumbuk-tumbuk agar padat. Selanjutnya sumbu, umumnya terbuat dari sabut kelapa, yang dipasang ke dalam tabung senjata melalui lubang kecil di pangkal laras disulutkan api. Api pada sumbu itu akan menjalar masuk, mengakibatkan bubuk mesiu pun terbakar dan menghasilkan sebuah ledakan.
Sebagai proyektil atau peluru, untuk senapan lontak adalah besi dalam bentuk bulatan-bulatan kecil yang dimasukkan setelah mesiu. Sedangkan untuk meriam, umum proyektil yang dipergunakan adalah potongan-potongan logam, bahkan duri-duri bambu atau juga bambu yang dipotong kecil-kecil dan diruncingkan
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://subekocesexojibixi.cf/5246b0b12a-download-lagu-ketika-tangan-dan-kaki-berkata-geng-halilintar-e5821ed
wrong!
wah robot kali ini ngawur. biasanya dia kasih tahu tulisan kita yang sama di tempat lain (baik tulian kita maupun tlisan orang) atau mirip dengan tulisan kita.
iya, Mas, barusan juga aku membaca2 tentang che***. ini keknya ngawur robot ini, dibawanya ke web yang ngga jelas