To'et ceh gayo
Sumber: buku M. Junus Melalatoa
Pada masa era-globalisasi sekarang banyak di antara regenerasi muda lebih suka budaya luar dari pada budaya tradisional, masalah ini menyebabkan budaya tradisional memudar dan hampir tidak diketahui oleh anak-anak. Dimana anak sebagai regenerasi penerus, lebih suka mendegarkan musik yang bernada musik Rock, musik K-Pop dan musik luar lainnya.
Masalah ini memang tak bisa dihindari, karena perkembangan teknologi yang begitu cepat, yang membuat regenerasi terpegaruh dengan cepat, ditambah lagi minimnya perkenalan orang tua terhadap budaya lokal. Seharusnya budaya tradisional ini diperkenalkan kepada anak-anak. Kita ketahui bahwa budaya lokal amatlah berharga sebagai identitas diri.
Dari masalah di atas, penulis mencoba memperkenalkan kembali penyair dari dataran tinggi Gayo propinsi Aceh bagian tenggah, yang bernama Abdul Kadir yang sering di kenal pada masanya dengan To'et ceh kucak.
Istilah To'et bermula dari karangan puisi beliau yang berjudul Ret Ret Tum yang beliau dendangkan. Beliau adalah seniman yang sangat cerdas dan gigih dalam mempertahankan seni Didong Tradisional Gayo ini, dimana syair yang berbau dakwak, cerita norma, dan menceritakan alam Gayo yang indah, ditulis degan kata-kata yang indah dan penuh filosopi tentang kehidupan masyarakat di dataran tinggi Gayo.
suara To'et yang merdu serta penampilanya yang khas membuat To'et terkenal sejak usia muda degan gelar Ceh kucak(ceh kecil) .
Dalam didong juga terdapat grub yang menjadi personil yang wajib saat penampilan didong, dimana grub ini diibarat alat musik band yang mengiringi, tp dalam didong mempunyai cara yang unik saat mengiringi syair didong yang ditampilkan, dimana didong diiringi dengan cara tepukan tangan dan bantal dengan tempo yang berbeda-beda yang membuat syair didong lebih indah didengar.
To'et mendirikan grub didong dengan nama Siner pagi yang terletak di desa Gelelungi. Perjalanan karir didong To'et juga bukan sekedar di dataran tinggi Gayo saja, beliu juga berdidong di kota besar di Indonesia seperti, Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Bandung dan kota besar lainnya. Ibarat grub band yang manggung di luar kota. To'et berpendapat berseni ibarat darah yang mengalir ke setiap organ tubuh dan tidak mungkin dapat dipisahkan dari kehidupanya (L.K.Ara Medri 2008: 8).
Sebagai muslim yang taat dan darah Gayo yang melekat pada dirinya beliau berpendapat hidup di dunia hayalah tempat persingahan dan sementara, maka dari hasil berdidong sebagain besar uang yang didapatkan disumbangakan sebagai dana pembagunan mesjid, sekolah, jembatan, dan kepentigan umum lainya. Prinsip beliau lebih baik tangan di atas dari pada tangan dibawah.
Dari perjalan hidup To'et kita bisa banyak mengambil pelajaran positif bagi kehidupan To'et, berkarya bukanlah sekedar untuk mencari popularitas dan kesenagan hidup, seperti artis yang sebagian besar kita idolakan. Keiklasan berkaraya lewat syair ke agamaan adalah cara menyadarkan masyarakat ke hal yang berbau keimanan lewat syair puisi tentang ketuhanan. Bukan syair puisi berbau kesesatan lewat syair sigil yang merusak otak, yang membawa jiwa ke hal yang negatif.
Musik Rock, K-Kop dan budaya luar lainnya bukanlah budaya kita, tak usah bangga jika hapal syair setiap katanya romantis dan bersyair semagat, tapi malulah kita tak tau budaya sendiri dan jati diri.
Terimakasih atas waktu membacanya, maaf jika banyak menyinggung rasa hati dan pikiran saat membaca, ambil saja hal yang positif dari cerita penulis.
Salam, vote and follback ya thanks
Salam juga @irenabazlina