You are viewing a single comment's thread from:
RE: There's No Such Wonder Woman in Aceh : Subaltern Story
Saya heran, perempuan Aceh di masa lalu sepertinya kuat dan tangguh, kenapa sekarang seperti melemah? Mulai dari soal mahar saja, buat saya sudah aneh, sebab Nabi pun tidak mau memberatkan mahar bagi pernikahan putrinya. Ini justru membuat lemah kaum perempuan Aceh, yang sepertinya jadi "terukur" oleh materi, oleh mayam, apalagi ditambah dengan perubahan persepsi peremluan yang menggunakan dalil "keislaman" yang bagi saya hanya bersifat di kulit, bukan lagi mendalam seperti Aceh di masa lalu, sangat meresahkan pikiran saya. Contoh, perempuan tidak boleh mengangkang saat naik motor, yang kotor pikirannya apakah perempuan itu atau orang yang melihatnya? Itu kan melecehkan sekali.
Ya... Ada banyak problem patriarkal dan akhirnya perempuan memyempit di ruang publik. Salah satu indikator, dr hasil riset saya beberapa tahun lalu di sebuah kabupaten di Aceh, dari 700 kampung gak ada satupun Geuchiek atau kepala kampung yang perempuan. Jangan bilang bahwa Geuchiek adalah posisi laki-laki. Demikian pula di Aceh Utara, dari 45 anggota DPRK nya, hanya ada satu perempuan. Kita bisa menilai posisi publik untuk perempuan. Perlu ada banyak affirmative action untuk ini. Kerja masih panjang.
saya beberapa kali menulis di majalah Potret di Aceh, mengenai masalah perempuan ini... dan jujur, saya gemas banget! hahaha...