You are viewing a single comment's thread from:

RE: JAPAKEH XX: Expedition to Mt. Buntul Gading (Day -3)

in STEEM FOR BETTERLIFE7 months ago

Selalu menarik membaca suatu ekspedisi, dikarenakan tidak semua orang mampu untuk itu. Selain pengetahuan dasar survival, kematangan emosi juga sangat menentukan. Terbayang waktu kuliah di jogja dulu, kebanyakan para mahasiswa menghabiskan malam minggu di gunung, hanya sekedar melihat sun rise.

Walaupun gunung di jawa rata-rata diatas 2000 mdpl namun tingkat kesulitan masih kategori rendah, kecuali gunung Slamet yang masih ada hutannya. Namun tingkat mistiknya yang harus saya akui itu tinggi.

Terkadang tidak masuk akal dengan jalur yang sudah sangat jelas tapi masih bisa tersesat. Apalagi leader seorang mapala ditambah dengan beberapa orang yang sudah biasa naik tapi masih juga tersesat. Konyolnya lagi itu dari awal pendakian, sampai akhirnya harus tidur diatas akar pohon yang dibawahnya jurang tanpa tau itu adalah jurang. Pengalaman yang tak terlupakan.

Sort:  
 7 months ago 

Menariknya, pendakian dan bangun di samping jurang ini terdengar dan terasa berbeda. Setiap langkah diperhitungkan, begitu juga dengan kehilangan waktu, tidak ada setetes air pun yang boleh tumpah. Ini adalah proses menyerap dan mencoba menyatu dengan alam dan mengetahui bahwa bahaya mengintai di mana-mana. Bukan ular atau binatang buas, tapi batu terkecil pun bisa menjatuhkan seseorang - belum lagi kekurangan air, beratnya barang bawaan, dan keharusan untuk tetap berpegang teguh pada rencana. 85% aman tergantung pada keterampilan dan keberuntungan. 🤔

 7 months ago 

Saya merasa beruntung bisa selamat, jika saya tidak salah waktu itu kami tersesat dan berputar-putar pada area yang menurut saya sudah pernah kami lewati. Sepertinya itu lereng jurang hanya saja mata saya melihat itu jalan biasa. Akhrinya setelah tersesat selama 3 jam kami memutuskan untuk beristirahat dan saya benar-benar tertidur karena kelelahan yang luar biasa. Ketika mata hari bersinar dan melihat sekeliling ternyata posisi kami masih jauh dari puncak gunung dan jalannya sangat jelas terlihat dan sangat mudah. Aneh tapi nyata.

 7 months ago 

Anda lebih kaya akan pengalaman, van ceritakan tentang hal itu. Apakah Anda mencapai puncak?

 7 months ago 

Itu pengalaman pertama saya mendaki gunung dan gagal mencapai puncak, tapi minggu depannya lagi saya ulangi bersama kelompok yang lebih kecil, hanya 3 orang dan berhasil sampai puncak. Ketika kita melakukan pendakian tentu semua sudah dipersiapkan dengan baik namun kadang kala ada hal-hal yang tidak bisa kita perkirakan dapat terjadi. Di gunung kita bisa tau bagaimana karakter teman kita karena saat lelah dalam pendakian maka emosi jadi susah untuk dikendalikan.

Pertanyaannya apa yang dicari dari pendakian?, apa cuma sekedar menikmati mata hari terbit, bagaimana jika cuaca sedang hujan dan berkabut sehingga kita tidak bisa melihat matahari. Apakah bahaya yang mengancam tidak menjadi pertimbangan?. Jawabannya sederhana, itulah panggilan dari gunung.

 7 months ago 

Itu adalah komentar yang menarik: apa yang kita kecuali.

 7 months ago 

Memang karakteristik pegunungan di jawa jauh sekali berbeda dengan pegunungan di Aceh, namun bahaya selalu ada dimana-mana. Jaur yang terlalu banyak justru menyulitkan pendaki dalam menentukan arah, karena kebanya pendaki di pulau jawa adalah pendaki wisata yang tidak membawa perlengkapan yang memadai. Saya berkali-kali ditertawakan karena saat saya naik gunung disana selalu membawa perlengkapan navigasi dan makanan lebih. Dan memang, di pucak gunung disana itu kebanyak sudah ada warteg (warung kecil) yang menjual makanan bahkan nasi goreng saja tersedia.

Sementara di Aceh, gunung yang bisa dianggap wisata hanya ada 2, yaitu Burni Telong di Takengon dan Gunung Seulawah Agam di Saree Aceh Besar, meski demikian pendakian kesana tetap membutuhkan peralatan navigasi yang memadai.

Saya beberapa kali pernah diskusi dengan para sesepuh pendakian gunung di Indonesia seperti Uwak Jukardi Bongkeng (Wanadri), Pak Mamay S Salim dan Kang Galih Donikora yang merupakan sepepuh pendaki dari Wanadri yang masih aktif hingga sekarang. Mereka merasa miris dengan para pendaki di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera karena cenderung menganggap enteng pendakian dan banyaknya korban yang tidak perlu dalam pendakian wisata seperti itu, dan umumnya para pendaki disana tidak dibekali peralatan dan perbekalan yang memadai dan cenderung menganggap remeh perjalanan mendaki gunung.